A Puppy
.
Sejun x Subin AU
.
Bangku tua menjadi korban dari tendangan kakinya.
“Sial!”
Dan masih ada umpatan lain yang keluar dari belah bibirnya. Jangan tertipu dengan fisiknya yang bisa dibilang seperti bayi. Ia bisa mambantingmu kapan saja kau membuat ulah padanya.
Baru saja ia akan menendang tumpukan kertas, oh seperti perkamen. Ia berjongkok, menemukan goresan cat air yang berpadu sempurna. Bagus untuk seukurannya yang sama sekali tak mengerti tentang art atau apalah itu. Di sudut perkamennya ia menemukan inisial S.J.
“Hm? Sejin? Sungjoo?” Ia mengedikkan bahu, mendudukan diri dengan membawa tumpukan perkamen yang diperiksanya satu persatu.
Goresan yang terlampau indah. Bulan purnama ia temukan dalam salah satunya. Berhias kerlip juga seluruh sudut yang terisi sempurna. Lengkap, suasana sendu dengan satu pohon yang menyendiri dengan sedih.
Anak lelaki itu, Jung Subin. Duduk di salah satu kelas yang memaksanya untuk berkutat dengan angka. Memboloskan diri untuk sekadar pergi dari rutinitas yang biasanya.
Mengotak-atik ponselnya untuk memakai aplikasi kamera. Memotretnya sesekali.
“Bagus.”
Bel berbunyi menginterupsi kegiatannya. Waktunya kelas sore, tetapi ia terlalu malas untuk mengikutinya. Memilih beranjak mengambil ranselnya. Berjalan pulang dalam sore yang kian petang.
Ponselnya masih menampilkan salah satu lukisan sederhana yang memukaunya. Masih mencari jawaban siapa yang bisa menggoreskan kuas seindah itu.
.
Ribut di salah satu gang tidak ia hiraukan. Tetapi, saat salah satu penyerang membawa kayu. Subin sontak berteriak “POLISI!” Ia terlalu malas untuk mengotori tangannya dengan ikut menghajar satu-persatu.
Dan mereka kabur tunggang langgang. Menyisakan satu lelaki berambut ungu cerah yang hampir pudar. Meringkuk memegangi perutnya. Apakah ia pingsan?
Subin mendekatinya perlahan, “hey, you okay?”
Satu netra menyapanya. Subin mendudukan diri di sampingnya, menariknya pelan untuk ia seret dari gang kumuh, menemukan satu bangku.
“Kak Sejun?” Sapanya ragu. Mengajaknya duduk.
“Hm.”
Subin menegak ludahnya, “biar saya obati, Kak,” mengeluarkan P3K dari dalam tasnya.
Tak lama, ia mendengar kekehan dari yang lainnya. Sejenak, Subin terpesona. Kakak kelasnya ini terkenal dengan keonarannya. Gap year membuatnya agak semena-mena. Berbanding terbalik dengan otak encernya yang terkenal seantero sekolah. Ia juga pandai membuat ulah dengan banyak preman. Dengar-dengar ia akan dikeluarkan jika bukan karena prestasinya.
Untuk kali ini, Subin berada tepat di depannya. Menyaksikan dengan segala keindahan tawa juga satu lesung yang membuatnya menahan napas. Pelan, ia coba mengeluarkan suaranya, “ada apa, Kak.”
“Ga papa, lucu. Bawa P3K kemana aja.”
“Buat jaga-jaga, Kak,” Subin membasahi kapas dengan revanol. Membersihkan darah di sudut bibir Sejun. Ringisan pelan ia terima, “maaf, Kak.”
“No need to, gue yang makasih,” katanya setelah Subin menyelesaikan menempelkan plester olaf di ujung hidungnya.
“Ya! Kenapa olaf?”
Subin terjenggit, “ugh, adanya itu, Kak.”
Sejun mendengus, “makasih deh.”
Subin membiarkan Sejun yang berjalan menjauh, tertatih dengan ransel di salah satu pundaknya.
Subin mengedik, kembali meneruskan perjalanan pulangnya.
.
.
Kelas ricuh, tidak ada guru membuat siswanya bertindak semau mereka. Subin beranjak.
“Mau kemana?”
“Atap,” jawabnya sambil lalu.
.
Ia berdiri terpana, goresan sayap kupu-kupu berwarna sebiru beledu dengan ungu muda yang menyatu. Simetris, apik, dan terlalu indah. Tetapi pupilnya berubah saat menilik salah satu sayapnya.
Mungkin sebuah gambaran ketidak sempurnaan. Ia tergores dalam hitam yang kelam. Tak ada cerah yang tergambar. Robek dengan menyedihkan. Sayap yang malang.
Kembali, ia menemukan inisial yang tidak asing.
S.J
Gawainya ia keluarkan memotretnya dalam landscape yang sempurna.
Menghiraukan langit yang datang dengan gemuruh, ia mengambil beberapa gambar semampunya. Meneduh ketika air hujan mulai luruh.
.
Petang kembali menyapa, kali ini ia menemukan Sejun dalam keadaan yang tidak jauh menyedihkan. Lebam di salah satu sudut pipi. Darah yang mengalir dari ujung pelipis.
“Hai,” Sejun menyapanya canggung.
“Apa lagi, Kak?” Subin mengerucutkan bibirnya.
“Gue nyelametin dia, btw.”
Subin memundurkan diri ketika Sejun membuka retsliting jaketnya, “apa, Kak.”
Dan salah satu makhluk mungil menyembul di sela-selanya.
“Mereka memukulinya, jadi yaa...” Ia menggaruk belakang lehernya, canggung.
Subin maju, menangkup anak anjing yang meringkuk dalam dekapan Sejun, terlihat ketakutan. Subin membelainya, beralih menatap Sejun di depannya, “Kak, ayo ikut!”
Subin membawanya ke klinik terdekat, membiarkan Sejun diurus oleh ahlinya. Subin masih membawa puppy dalam dekapannya.
.
Hari beranjak malam ketika mereka berjalan pulang.
“Makasih btw.”
Subin tersenyum, “Kak Sejun ini, sebenernya baik. Iya, kan?”
“Ngga juga, kan sukanya bikin onar,” Sejun membenarkan letak ransel di salah satu pundaknya.
“Tapi nyelametin puppy. Yang kapan hari, kakak nyelametin apa?”
Subin berhenti sejenak di kedai tteokbokki.
“Kucing,” Sejun menukikkan alisnya ketika Subin menggandeng tangannya. Memaksanya masuk ke kedai. Memesan dua porsi tteokbokki pedas.
“Tuh kan. Kak Sejun tuh baik,” meletakkan puppy di atas pangkuannya.
“Terserah deh, Subin.”
“Kakak tau nama aku?”
Sejun menunjuk name tag di dada Subin dengan dagunya.
“Lha iya, lupa.”
Tak ada pembicaraan setelah itu, sampai tteokbokki mereka habis pun, masih diam. Hanya Subin yang kepedasan. Meminta air mineral tak henti-henti.
“Makanya jangan sok jago makan pedes,” ejek Sejun sekenanya.
“Enak, Kak. Sekarang, puppy-nya mau taro di mana?”
“Biar sama gue.”
“Apa ga papa, Kak?”
“Ya ga papa, gue tinggal sendiri ini. Biar gue ada temennya.”
Subin tertegun, melihat Sejun yang mengelus anak anjing di pangkuannya sayang.
Ia menepis jauh-jauh rumor yang berkaitan dengan Sejun. Tentang ia yang kejam. Tentang ia yang terlalu onar. Dan lain sebagainya.
“Mereka salah,” tak sengaja, Subin menyuarakan pikirannya.
“Apa?”
“Mereka salah kalo bilang Kak Sejun jahat. Buktinya Kakak rela babak belur demi nyelametin kucing sama anak anjing.”
Subin terkesiap ketika telapak tangan Sejun mengusak surainya.
“Lucu banget, Bin. Ayo pulang.”
Subin berdiri terburu, menyusul Sejun yang hampir jauh ke depan.
Bolehkah ia mengenal Sejun lebih jauh?
“Tunggu, Kak!”
.
.
Sekali waktu, mereka berjalan pulang bersama. Awalnya saat Subin baru saja akan membuka payungnya. Melirik pos satpam yang ternyata ada Sejun di sana.
“Mau pulang bareng ga, Kak?” Tawarnya.
Berakhir mereka berjalan di bawah payung yang sama.
“Bahu kakak kena air hujan,” Subin merapatkan dirinya.
“Ga papa, penting lu ga kena.”
Subin berhenti, “rangkul aku kalo gitu, biar ga makin kena.”
Sejun tertawa, “santai.”
Subin kesal, “ini, bawa!” Menyerahkan gagang payung yang sedari tadi ia pegang. Menyusupkan lengannya pada milik Sejun yang tertekuk, “biar deketan, biar ga makin basah.”
Yang Subin tidak tahu, ada senyum kecil yang terpatri di belah bibir Sejun.
.
“Udah sore, Kak. Ayo pulang!”
Mereka kembali menyantap tteokbokki di kedai yang disambangi kapan hari.
“Lu dapet wallpaper itu dari mana?” Sejun bertanya ketika Subin menyalakan gawainya untuk melihat jam.
“Ngefoto dari tembok yang ada di atap sekolah. Kenapa, Kak?”
“Ga papa, bagus.”
.
.
Subin menghela napasnya lelah. Beranjak meniti tangga terakhir menuju atap sekolah. Ia mengira-ira apa yang akan ia temukan setelah perkamen dan lukisan sayap?
Ia berdiri mendekat, menelisik lebih jauh.
Lelaki berseragam, lengkap dengan jaket hitam tersampir. Membawa seekor anak anjing dalam lengan. Menunduk seakan, akan mencium puppy di dekapnya. Napasnya tercekat ketika menemukan satu nama yang terpeniti apik di dada seragam sebelah kiri.
Jung Subin.
Mengerjabkan kelopak secepat yang ia mampu.
“Subin?”
Setapak kaki ia dengar juga suara di belakangnya yang kini terdengar tak asing.
“Kak Sejun?”
Subin menatap lukisan dan Sejun bergantian. Mengumpulkan dots yang hilang. Ia menyatukannya perlahan.
S.J, perkamen, bulan purnama, dan anak anjing.
“Kak Sejun yang ngelukis ini?”
Satu anggukan, Subin terima. Baru saja Subin akan membuka mulutnya, namun netranya menemukan gores memanjang berdarah di salah satu pipi Sejun.
“Kali ini apa, Kak?”
Subin menekan luka di pipi Sejun agak keras.
“Aww sakit, Bin. Hei.”
“Kali ini apa, coba jawab!”
“Kamu tau?”
Subin memperhatikan Sejun yang kini menerawang jauh, menunggunya meneruskan kalimat yang masih menggantung.
“Ada satu waktu, dimana keingingan kita yang ga selalu terkabul, kan?”
Subin mengangguk, meneruskan mengurus luka Sejun pelan-pelan.
“Luka ini, salah satu hasil dari patahnya mimpi gue. Haha, gue makin ngelantur.”
Subin diam di tempatnya, memenjarakan pupilnya pada obsidian kelam di depannya. Menelisik isinya yang sedalam samudra.
“Kak, gue di sini.”
Sejun tersenyum, maniknya berkaca, “sorry, gue harus pergi.”
“Kak, gue selalu di sini.”
Sejun tak tampak lagi dari hadapannya.
.
.
Lama sekali mereka tidak bertemu setelah kejadian di atap waktu itu. Subin masih sering membolos untuk sekadar memandangi lukisan bergambarkan dirinya lamat-lamat.
Tergores terlampau sempurna. Kusutnya seragam yang memudar, kasih sayang yang mampu memancar.
Membawa tangannya untuk mengusap inisial di sudutnya.
Ia tak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu, ia ingin bertemu Sejun kembali.
.
.
©coffielicious