Again

.

Soonwoo Fall AU Part 1

.

.

Daun berguguran memenuhi trotoar yang Wonwoo lewati, membenahi lengan sweaternya agar tangannya tertutup sempurna, kemudian memasukkan ke dalam saku jaket miliknya. Kembali meneruskan perjalanannya menuju perpustakaan kota. Angin masih berhembus terlalu kencang, Wonwoo tidak mau mengambil resiko dengan mengendarai sepeda miliknya, ia memilih untuk berjalan kaki kali ini.

Wonwoo menghentikan perjalannya sejenak, menoleh ke arah kerumunan yang melingkar, seperti menonton sesuatu. Ah~ dance battle di pinggir jalan. Wonwoo berhenti sejenak, memperhatikan seluruh gerakan yang mampu terlampaui dengan sempurna oleh sang street dancer. Ia mengenakan setelan hitam pas badan, meliukkan badannya diirama yang tepat, juga sorak sorai penonton riuh rendah.

Satu kerjapan dikerjakan oleh netra Wonwoo, menyadari bahwa musik telah berhenti, namun street dancer itu menangkap obsidiannya dalam satu kuncian yang tidak Wonwoo sadari. Wonwoo terhuyung ke kanan, ketika tanpa sengaja ada orang menabraknya. Wonwoo hanya mengangguk pelan dan kembali berbalik menemukan street dancer masih di tempatnya, kali ini tersenyum yang mampu membuat Wonwoo menahan napas.

Wonwoo memutus kinerja kelereng mereka yang terlalu lama bersua. Mengikuti kakinya, melangkah ke tujuan awal. Wonwoo memegangi dadanya yang berdebar terlalu kencang tak tahu malu, namun satu senyuman kecil tersemat di bibirnya.

.

.

.

Tangannya meraih salah satu buku di rak perpustakaan yang menjadi tujuannya, membawanya ke meja baca untuk menelaah isinya.

Tiga jam berlalu tanpa terasa, Wonwoo memiringkan lehernya ke kiri di balas suara kretekan dari tulang-tulang yang mengeluh lelah. Membawa beberapa buku di hadapannya untuk ia kembalikan ke tempat semula.

.

.

.

Wonwoo berhenti di depan mesin minuman otomatis, mencari green tea latte untuk menemani perjalanan pulangnya. Sendi putar lehernya memaksa Wonwoo menoleh ke sisi kirinya, menemukan pemuda street dancer yang tadi disaksikannya sebelum Wonwoo mendekam di perpustakaan.

“Hei! Kau yang tadi melihatku menari di sana bukan?”

Pemuda dengan masih terbanjir peluh, menepuk bahunya main-main. Wonwoo mengangguk.

“Kenalkan, aku Kwon Soonyoung.”

Pemuda di hadapannya memberikan tangan kanannya yang perlu Wonwoo jabat tangani. Ia hanya melihatnya dan Wonwoo memilih memberikan salah satu botol pada jabatan tangan di hadapannya. Wonwoo tersenyum dan beranjak pergi.

.

.

.

Soonyoung mengacak surainya frustasi, menegak air yang terasa seperti rumput di atas lidahnya hingga tandas. Jelas-jelas pemuda tadi memandangnya hingga tak berkedip, dan di ajak berkenalan, malah pergi. Soonyoung kesal, sangat kesal.

.

.

.

Wonwoo memasuki ruangan yang disewanya selama tinggal di kota ini. Mencopot sepatu, mencuci tangannya, mengambil handphone dan membalas pesan yang bertengger manis di ruang chat nya. Beranjak ke dapur, menemukan bungkusan tempat makan lengkap dengan isinya dan notes mungil di atasnya.

'Dimakan Wonwoo! Jangan hanya kau pandangi!'

Dari Jihoon, mengenal tulisan kelewat kiyowo di atas tempat makan. Memilih untuk membawanya ke depan televisi untuk menyantap makan siang semi sore nya. Televisi yang menyala diabaikan oleh Wonwoo, tempat makannya sudah bersih, pikirannya sedang memproyeksikan pemuda yang begitu atraktif saat meliukkan badannya.

Kwon Soonyoung,

Wonwoo ingat, mengingat nama itu terlalu baik. Menekan dada kirinya yang mendebum terlampau keras.

.

.

.

Masih terlalu banyak daun gugur, Wonwoo kasihan pada pohon yang rela mencopot satu semi satu pelindung tubuhnya, tetapi itu lah siklus yang akan dilaluinya. Kali ini Wonwoo berjalan ke toko buku, mencari sebuah dua buah dongeng untuk anak-anak les privatnya. Membenahi tudung kepala yang masih mampu menangkap angin agar lebih merapatkan diri padanya.

Memasuki toko berwarna peach lembut dengan dinding dinding yang mengelupas dimakan usia, tetapi tidak mengurangi keinginan Wonwoo untuk selalu di sana, buku adalah dunia miliknya.

Membawa empat buku di lengannya, dua untuk anak-anak dan dua untuk dirinya.

“Bukumu yang dua hari lalu kau beli sudah selesai kau baca Won-ah?”

Wonwoo tersenyum dan mengangguk. Menyerahkan sejumlah uang pas pada pemilik toko buku yang kebetulan membawahi langsung usahanya. Wonwoo pamit undur diri, pukul 2 nanti anak-anak nya mendatangi gazebo tempat di mana Wonwoo memberikan privat.

“Ah, Wonwoo… aku hampir lupa.”

Wonwoo berbalik dari langkahnya, baru saja ia akan membuka pintu. Alisnya naik, seperti bertanya ada apa.

“Tentang tawaran menjaga toko ini, masih berlaku. Dan kalau Wonwoo mau, datanglah menjaga toko esok hari.”

Wonwoo mengangguk dan tersenyum, kemudian beranjak pergi.

.

.

.

Langkah kakinya terpaksa harus menghentikan diri karena lengan miliknya tercengkeram halus oleh genggaman seorang pemuda.

Kalian tidak salah, ya, itu Kwon Soonyoung.

“Tunggu, kau membelikanku minuman yang seperti rumput kemarin, sekarang biar aku mengganti apa yang harus aku ganti.”

Wonwoo memandangi pohon di atasnya, masih menggugurkan daunnya, dan suatu saat nanti akan berganti dengan daun yang baru.

Pelan, Wonwoo melepaskan genggaman pemuda yang kini berada tepat di hadapannya. Wonwoo menggeleng, memilih memberikan satu buku fantasy untuk Soonyoung, menyusrukkannya ke dadanya. Wonwoo melangkah pergi ketika Soonyoung terhuyung ke belakang tanpa mengatakan apapun.

Soonyoung mengejarnya, memilih mensejajarkan langkah mereka.

“Tidakkah kau ingin mengenalkan dirimu padaku, hei Tuan Pembawa Buku?”

Wonwoo melirik, tersemat lengkungan kecil di ujung-ujung bibirnya dan menggeleng.

“Kau membutuhkan warm up, huh?”

Wonwoo memberikan gestur bertanya.

“Kau adalah si introvert yang susah sekali berteman, kau adalah pemilik dunia mu sendiri dalam buku, jadi kau perlu pemanasan dalam berkenalan?”

Soonyoung bermain dengan alisnya, meminta persetujuan. Wonwoo masih mengatupkan kedua belah bibirnya, enggan membuka.

“Kau tak ingin mengucapkan apapun padaku?”

Soonyoung masih tetap pada pendiriannya. Dada kiri Wonwoo mendebum keras, kali ini lebih tak tahu malu lagi, karena di hadapan pemuda yang belum ada satu kali dua puluh empat jam bertemu dengannya.

“Wonwoo-ssi, anda dari toko buku?”

Seorang ibu paruh baya mendekatinya, tersenyum ramah, mampu sejenak menghentikan debuman keras di dada kirinya menjadi sedikit normal.

“Maaf Wonwoo-ssi karena saya akan pergi pukul 1 nanti, bisakah putra saya, saya titipkan pada anda sembari perjalanan saya pergi?”

Wonwoo tersenyum ramah, mengangguk.

“Baiklah, biar saya mengantar putra saya ke ruangan anda. Terima kasih Wonwoo-ssi.” Pamitnya undur diri.

“Ah~ jadi Wonwoo? Namamu bahkan tampan sekali.”

Tanpa menyahut apapun, Wonwoo melangkah pergi. Kali ini tanpa pemuda itu mengikutinya, yang di balas keengganan dari dada kirinya.

.

.

.

“Kak, kau mengenal Wonwoo?”

Soonyoung bertanya di tengah-tengah mereka bermain monopoli. Seungcheol mengangguk, alisnya terangkat penasaran.

“Kau tahu Wonwoo dari mana, Soon?” Seungcheol memutar dadu di tangannya hingga menggelinding ke dekat kakinya.

“Kemarin, saat aku menari, aku melihatnya, setelah beberapa jam, aku menemukannya di mesin minuman otomatis, ia memberiku minuman rumput, ditambah lagi tadi aku melihatnya keluar dari toko buku milik orang tua Kim Mingyu dan yaa aku mengajaknya mengobrol, tetapi malah aku seperti radio.”

Seungcheol memberhentikan kinerja mulutnya yang sedang menyedot yogurt.

“Ia guru privat adikku, Soonyoungie.”

Seungcheol melangkah, pergi meninggalkan pertanyaan di dalam kepala Soonyoung.

“Adik kak Seungcheol?”

Soonyoung mengerjab, menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu secepat kilat. Berlari keluar apartemennya untuk pergi ke gazebo di pinggiran sungai dekat rumahnya.

.

.

.

Soonyoung menunduk, melemahkan respirasi sel-sel, sistem pernapasan, dan sistem gerak miliknya. Mendongakkan kepalanya ketika seluruhnya bekerja normal kembali. Menemukan pemuda yang diketahuinya bernama Wonwoo, sedang menceritakan buku dongeng yang tadi dibawanya.

Soonyoung memilih untuk mendudukkan dirinya di bangku tak jauh dari gazebo, masih mampu memproyeksikan visual Wonwoo dengan sempurna. Meremas kedua tangannya dan dengan pikiran yang melanglang buana.

Dengan cepat Soonyoung menyusul Wonwoo sebelum ia pergi.

“Wonwoo-ssi.”

Wonwoo menoleh, dalam genggaman kanannya menggenggam tangan lain yang lebih kecil, mungkin putra dari ibu yang menitipkannya tadi.

Wonwoo mengangguk, pamit undur diri, tetapi pemuda yang memanggilnya adalah pemilik kepala batu. Soonyoung mengikutinya di belakang Wonwoo, mengambil alih paperbag di genggaman kiri Wonwoo.

“Biar aku saja yang membawanya, aku ingin berbicara denganmu setelah ini.”

Wonwoo melangkah dengan masih menggenggam anak kecil di tangan kanannya. Mengantarkannya pulang.

.

.

.

Netra mereka memproyeksikan matahari yang akan kembali ke peraduannya di salah satu pinggiran sungai. Lembayung senja, angin yang masih melangkah tak tahu arah, dan jarak duduk yang terlampau jauh untuk bangku yang tak terlalu panjang yang mereka duduki.

Soonyoung mengusap belakang lehernya, canggung.

“Sejak kapan Jeon Wonwoo?”

Soonyoung menahan napasnya, memindai pemuda di sampingnya dengan tajam.

“Sejak kapan kau seperti ini!?” suaranya naik, air matanya menggenang di salah satu sudut kerlingnya.

Wonwoo beringsut mendekat, menggeleng, menyentuhkan telapak tangannya pada pipi lelaki di hadapannya dengan hati-hati

“Sejak kapan Jeon Wonwoo!” Soonyoung menyentak, “aku mengabulkan seluruh permintaanmu! Tidak menghubungi, tidak lagi mengenal, dan tidak mencari, bahkan hanya terlewat surel yang kau kirimkan terlalu singkat.”

Wonwoo semakin mendekat, kali ini mengusap air asin yang masih tak ingin berhenti. Memeluk Soonyoung yang mendeguk.

“Aku merindukan mu Jeon Wonwoo, aku mencarimu, sejak 5 tahun lalu. Jeon Wonwoo, Wonwoo ya.”

Wonwoo mengelus surai sehitam jelaga di samping kepalanya kemudian dilepaskannya. Mengambil pena dan kertas untuk menuliskan kalimatnya.

'Aku bukan yang dulu lagi, Kwon. Aku tidak pantas bersamamu. Pergilah, jangan cari aku lagi, lakukanlah seperti dulu sebelum aku dan kau saling mengenal. Aku sama sekali tidak merindukanmu, pergilah!”

Tangan Wonwoo gemetar ketika menulisnya, menyerahkannya pada Soonyoung dan berlari pergi.

Tak tinggal diam, Soonyoung mengejarnya. Membawa Wonwoo dalam pelukannya, tak ingin melepasnya.

“Aku tidak peduli! Kau bukan yang dulu lagi atau tidak, aku tak peduli. Yang aku tahu kau berjanji menjagaku, Jeon. Aku menagih janjimu kali ini. Aku tidak pernah mengenal Wonwoo yang ingkar janji. Penuhi janjimu, Jeon. Jaga aku dalam rengkuhanmu. Tidak peduli kau tidak bisa berbicara, jaga aku di sampingmu Jeon Wonwoo. Jangan biarkan aku pergi dari sampingmu, ikat aku dalam janjimu Jeon Wonwoo.”

Soonyoung merengkuh Wonwoo semakin erat, “ikat aku dalam janjimu, Jeon Wonwoo.”

“Bawa aku pulang...”

.

.

.

Di temaram lampu gang sempit menuju apartemen Wonwoo, mereka berjalan beriringan, bergandengan tangan, mencoba berdamai dengan masa lalu yang seharusnya mampu mereka maafkan.

.

.

.

.

.

.

.

To be continue..

.

.

Hello, wawa’s here…

Tulisan ini pernah aku publish tahun 2018/2019 lalu di salah satu platform, dan karena aku lupa password, I want to share it again… here, dengan beberapa perubahan. Ada tambahan kata-kata dan juga aku benahi di bagian PUEBI, hehe.

Jadi kalo ada ngerasa pernah baca tulisan ini, itu punyakuu yaaa… hohoho

Anyway, its gonna be threeshots. See you soon! Thank you for passing by! Have a good day!! @coffielicious