Alpukat ─
.
Part of Kue beras AU
.
Salju masih berintik turun, Seungwoo menginjak pedal gasnya lambat. Tangan kanannya ia julurkan pada lengan lain di sampingnya. Menemukan jemari untuk ia genggam, “kok dingin?”
“Hehe,” Seungyoun menyengir, menyembunyikan mata sipitnya. Masih menimang Eunsang yang tertidur di pangkuannya.
“Gugup ya? Ga papa, kan ada aku,” Seungwoo meremas jemari mereka.
“Masih lama ga, Kak?”
“Lumayan sih, kenapa?”
“Ga papa, gih nyetir yang bener,” Seungyoun melepaskan genggaman mereka, menaruh kembali tangan kirinya di punggung Eunsang.
“Youn.”
“Ya?” Seungyoun menoleh pada Seungwoo yang masih menatap lurus jalanan di depan.
“Kamu belajar banyak buat ngurus Esa. Kapan-kapan ceritain ya...”
Seungyoun diam, menunduk menatap Eunsang yang bernapas halus di atas dadanya, “masih banyak waktu, Kak.”
“Kamu mau kan, ngasih waktu itu buat Kakak?”
“Kalo aku ga mau, kayanya aku ga bakal di sini sekarang.”
Seungwoo tersenyum tipis, “makasih Youn, makasih banyak. Ingetin aku buat nebus semuanya sedikit demi sedikit.”
“Ga ada yang perlu ditebus sih, Kakak di samping aku sama Esa itu udah cukup.”
Seungwoo menepikan mobilnya, menarik tuas rem. Membiarkan mobilnya kini hening tanpa suara mesin. Perlahan, ia tarik Seungyoun ke dalam peluk. Menyalurkan asa masih bertahta dalam jiwa yang mendera. Mengecup kening lelaki yang lebih muda, “kamu cantik.”
.
Seungyoun tersenyum, ada banyak definisi sayang yang tertera. Tetapi Seungwoo memilih kata cantik untuknya. Pernah sekali Seungyoun protes, namun Seungwoo mengatakan, 'cantik itu universal, genderless, bagi aku kamu cantik.' Ia mengatakannya satu pagi setelah Seungyoun membuatkan secangkir cokelat panas.
Seungyoun menangkap kodenya, sebenarnya. He says he loves me. Hanya karena Seungwoo yang terlalu pemalu di hadapannya, membuatnya seperti remaja yang kembali jatuh cinta. Seungyoun menciumnya pagi itu, mengembalikan dan mengambil apa yang menjadi miliknya.
.
“Iya, aku cantik. Puas?”
Senyuman lebar dan dekik di tengah pipi pemilik jemari panjang menjadi proyeksi matanya.
“Puas banget, Sayang.”
Seungyoun memukul bahu Seungwoo main-main, “Ayo jalan lagi.”
Seungwoo terkekeh, kembali menghidupkan mesin mobil setelah menepuk kepala Eunsang sesekali.
“Esa ada alergi?” Tanya Seungwoo tiba-tiba.
“Ha? Ga ada kayanya, dia suka makan apa aja. Tapi prefer ke yang manis-manis.”
“Iya, soalnya Pippinya juga manis.”
“Kebal banget, Kak udah,” Seungyoun bersungut, kemudian melanjutkan, “emang kenapa?”
“Ga papa, soalnya aku ga suka alpukat.”
“Hah? Yang ga suka alpukat tuh Kakak? Esa ga mau juga, sama sekali. Bukan alergi, cuma bener-bener dia ga mau makan apapun tentang alpukat. Pernah sampe aku bikin jus, sop buah, aku sesepin di buah lain juga dia ga mau. Ternyata Kak Woo yang ga suka, ku kira kenapa.”
Seungwoo tersenyum mendengar Seungyoun yang nyerocos tentang ketidaksukaan Eunsang pada alpukat.
“Padahal alpukat enak banget. Tapi anakku malah ga suka.”
Seungwoo menggelengkan kepala gemas, “kayanya bisa dilatih sih, ntar juga aku belajar makan alpukat deh.”
“Ga! Ga usah!” Seungyoun berkata gusar, “ga perlu dipaksain, sepengen Kakak aja.”
“Ga dipaksa juga sih, Youn. Cuman berlatih, masa kamu bisa belajar lebih baik buat Eunsang, aku engga?”
“Senyaman Kakak aja deh,” Seungyoun memilih mengalah.
“Iya, bantuin ya...”
Anggukan Seungwoo terima, setelahnya mereka membunuh perjalanan dengan senda gurau seadanya. Mengomentari markah jalan, berceletuk tentang pohon-pohon, dan masih banyak lagi.
.
.
Seungyoun mengedarkan pandangannya. Pagar setinggi ujung kepala, pintu menuju jalan setapak, dan pohon di sekeliling. Masih terlalu asri.
“Ayo!” Seungwoo mengulurkan tangannya untuk ia gandeng.
“Duluan aja, Kak. Aku bawa tas punya Esa.”
Seungwoo mengangkat tangan kirinya yang sudah terisi dengan barang milik Eunsang.
Seungyoun akhirnya meraih telapak kanan Seungwoo dalam genggamannya.
Pintu gerbangnya berwarna hitam keemasan, berderit membuka. Disambut paving sejalan, berlapiskan rumput dan taman mungil di ujungnya. Pot-pot berisi sayur dan bunga tersusun rapi.
Terasnya mungil, cat temboknya berwarna perpaduan hijau cerah dengan garis lumut yang sempurna. Lantainya putih kebiruan, merefleksikan bayangnya sesekali.
Seungwoo mengetuk pintu kayu jati yang menjulang, derap kaki dari dalam terdengar.
Sesosok wanita anggun menyambut mereka, senyuman yang serupa dengan Seungwoo menjadi pembukanya.
Seungyoun mengeratkan genggamannya, juga pada Eunsang. Jantungnya bertalu tak tahu malu. Bibirnya terkunci seiring terbukanya kelopak mata Eunsang yang masih di peluknya.
“Ppi.”
Seungyoun membungkuk sejenak, “sebentar, Kak,” ia menarik tangannya dari genggaman Seungwoo, “Esa bangun.”
Seungwoo menoleh, melihat Eunsang yang masih mengucek maniknya dengan jemari mungil miliknya, bibirnya manyun, masih diambang kesadaran. Seungwoo mengulurkan tangannya, “mau ikut Papa?”
Eunsang merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, bersiap tubuhnya diangkat oleh lelaki yang menyapanya.
Seungwoo meletakkan tas yang dibawanya, beralih meraih Eunsang untuk ia gendong. Mengangkatnya setelah Seungyoun melepaskan kain yang membebatnya.
Sejenak melupakan wanita anggun yang masih berdiri di balik pintu.
“Mungkin bisa diajak masuk sekalian, Papa-Pippi.”
Seungwoo tertawa renyah, “maaf, Noona,” membenarkan lengannya yang menyokong Eunsang. Membiarkan Seungyoun mengekor di belakang, “masuk, Sayang.”
“Kak, apaan sih?” Seungyoun agak menepis tangan Seungwoo yang hampir menggandengnya, meletakkan tangan kanannya di punggung Eunsang, “jagain.”
Seungwoo menurut, meletakkan kepala Eunsang di bahu lebarnya. Dadanya beradu dengan tubuh depan Eunsang.
“Tasnya dibawa, Sayang.”
“Iya, bawel,” Seungyoun berkata lirih.
Mereka melangkah masuk.
Bertemu dengan ruang tamu yang lumayan luas.
Sebelah kanan ada sofa empuk dengan penyangga kayu berukir rapi nan indah. Lengkap dengan meja kaca. Di bagian sudut ada rak menjulang dengan buku dan pajangannya dengan apik.
Sebelah kirinya terdapat meja berlapiskan karpet yang terlihat tebal. Ada beberapa mainan berceceran di sana.
Seungwoo membawanya ke arah kiri, duduk di lantai berlapiskan beludru.
“Lesehan aja ya, biar bisa selonjoran.”
Seungyoun mengangguk, “biar Esa minum dulu, Kak.” Ia mengeluarkan satu kotak susu.
“Siniin aja susunya.”
Seungyoun menyerahkannya setelah sedotannya ia pasang dengan baik. “Apa ga ke belakang dulu? Nemuin ayah sama bunda Kakak?”
“Ntar juga ke sini.” Seungwoo duduk bersila, membiarkan Eunsang menempatkan pantatnya pada lipatan kakinya.
“Esa makin nempel sama Kakak, padahal dia jarang bisa deket sama orang kecuali yang udah terbiasa.” Seungyoun menepuk-nepuk kakinya sendiri.
“It's called ikatan batin, Sayang...” Seungwoo memijit pelan paha Seungyoun.
“Ga usah, duh!” menepis tangan Seungwoo yang ada di atas pahanya.
Seungwoo mengedik, “lucu banget, sini cubit.”
Pipi Seungyoun menjadi korban japitan telunjuk dan ibu jari milik Seungwoo.
“Kak!” Seungyoun menangkapnya, “sakit,” manyunnya sembari mengelus-elus sebelah pipinya. “Apa makin gembul?”
Alis Seungwoo naik, “ga usah berpikiran diet. Gimana mau ngasih susu buat Esa kalo diet.”
Mata Seungyoun melebar, kali ini menjepit pinggang Seungwoo dengan cubitannya. “Siapa yang ngasih susu, hah? Bilang lagi!!” katanya geram.
“Iya iya, stop, astaga... sakit, Sayang.”
“Dari tadi manggil sayang udah kubiarin ya, Kak. Sekali lagi berulah aku sama Esa pulang.”
“Hadu, ancamannya. Iya, maaf yaaa mbulnya Kak Esa dan Papa.” Jemari Seungwoo beralih menguyel-uyel pipi milik anaknya.
“Jangan cubit pipi anakku, Kak. Brutal banget tangannya, mau nangis.” Seungyoun menyembunyikan wajah di telapak tangannya.
“Hei, Youn... maaf, udah nih. Ga lagi-lagi,” ringisnya.
Seungyoun menoleh, melihat Eunsang yang sudah menghabiskan satu kotak susu dalam genggamannya, “Esa mau sama Pippi?” tawarnya.
Eunsang menggeleng, “Ppa.”
“Dikasih apa kamu sama Papa, hm?”
“Susu.”
Seungyoun gemas, menoel pipi gembil milik Eunsang, “dari Pippi itu mah. Esa mau main?”
Anggukan antusias tersambut, “main!!”
Seungyoun mengeluarkan beberapa mainan dari dalam tasnya. Membiarkan Eunsang menurunkan diri dari pangkuan papanya, berkutat dengan buku yang bisa mengeluarkan suara. Eunsang memencetnya bersemangat.
“Youn, makasih banyak.”
Seungyoun hanya tersenyum tipis. Matanya kembali mengedar. Kali ini maniknya agak melebar, dengan tergesa ia beranjak berdiri dari duduknya, membungkuk sejenak ketika seorang pria paruh baya menghampiri mereka.
“Nak Seungyoun.” Pria itu menepuk punggungnya, menariknya dalam peluk kebapakan yang terasa.
“Ya, Tuan Han.”
“Tidak perlu, tidak perlu. Panggil Ayah saja, seperti Seungwoo memanggilku.” Kekehan mengakhiri kalimatnya, “kenapa kau ajak duduk di lantai, he? mana cucuku?” Melanjutkannya, beralih pada Seungwoo.
Seungwoo menghampiri Eunsang, “Esa, masih mau bertemu dengan Opa?”
“Opa?” Ia menelengkan kepala mungilnya.
“Iya, opa sama oma. Papa sama pippi udah bilang kan tadi?”
“Huum,” angguknya, “mana?”
Seungwoo menunjuk ayahnya, “itu, Opa.”
“Opa,” Eunsang tersenyum menghampiri pippinya yang kini duduk di samping Tuan Han.
Menghamburkan diri di pelukan Seungyoun, tertawa melihat kumis pria di sampingnya.
“Esa, jangan Sayang.”
Tuan Han mengulurkan tangannya pada Eunsang, yang diraih dengan jemari mungilnya, ia tempelkan pada pipinya. Tuan Han takjub, makhluk mungil di hadapannya terasa tak nyata. Ini cucunya. Perlahan ia ambil Eunsang dalam gendongan. Membopongnya tinggi-tinggi.
Eunsang tertawa gembira, seakan terbang di udara. “Ppi! Telbang!!”
Seungyoun melihatnya terharu, tidak menyangka dengan sambutan sehangat ini.
Kali ini disusul dengan dua nampan penuh berisi minum dan camilan. Dibawakan oleh Kak Sunghwa dan Nyonya Han.
Mereka memeluk Seungyoun bersamaan.
Seungyoun menunduk ketika Nyonya Han mendekapnya. Menepuk kepalanya, mengelus surainya, membisikkan banyak terima kasih karena telah melahirkan Eunsang ke dunia. Seungyoun merasakan satu tetes haru di bahunya.
.
“Seungwoo sering menceritakan kalian pada kami, Seungyoun.” Nyonya Han duduk berhadapan dengannya.
Membiarkan suaminya bermain dengan cucunya yang baru saja datang. Membiarkan Seungwoo yang pergi ke belakang dengan Kakaknya.
“Kamu dan Eunsang mirip sekali. Sewaktu Seungwoo bilang akan membawa kalian berdua kemari, tahu apa yang dikatakan ayahmu?”
Seungyoun menggeleng, segan.
“Kenapa tidak kau nikahi saja sekalian, he? Ayahmu ini sudah tua, saatnya bermain dengan banyak cucu. Begitu katanya, hahaha.”
Seungyoun tertawa melihat Nyonya Han yang memperagakan Tuan Han lengkap dengan suaranya yang direndahkan beberapa oktaf.
“Dengan keluarga ini menerima kami, sudah lebih dari cukup, Nyonya.”
“Bunda, Sayang.” Nyonya Han mendekati Seungyoun, “panggil Bunda, saja.” Nyonya Han mengelus pipi Seungyoun, lembut. Menatapnya dengan kasih yang kentara, “jaga Eunsang dengan lengkap, Youn. Bersama Seungwoo.”
.
.
.
.
@coffielicious