Americano

.

Part of Kue Beras AU

.

.

Wooseok mengambil duduk tepat di samping Jinhyuk, tak mengatakan apapun, matanya memerah.

“Gimana keadaannya?” suara Jinhyuk terlampau pelan di malam sunyi, di sudut ruangan miliknya.

Membiarkan jendelanya terbuka, semilir angin yang kian dingin, ia bebaskan melingkupinya. Ia beranjak, mengambil jaket dan disampirkannya pada Wooseok.

“Cidera kepala, dia koma, Hyuk…” Wooseok ingin marah, namun tak ada tenaga. Ia rasakan jemari lain menggenggam tangannya.

“Maaf.” Dan Jinhyuk menangis.

.

.

.

Pandangan Seungwoo kosong, tangannya membawa segelas americano yang sudah mendingin. Merelakan pikirannya melanglang tak tahu arah.

“Papa…”

Suara itu membawanya kembali.

“Ya, Sayang?” Seungwoo meletakkan gelas kopinya, beralih membawa Eunsang dalam pangkuan.

“Apa Pippi masih tidur?” Kerling beningnya mengerjab halus.

“Ya, Pippi sedang bermimpi sepertinya. Ada apa?” Ia elus tengkuk putranya, mencoba meyakinkan diri, Eunsang benar-benar ada di hadapannya, di dekapnya.

“Mimpi? Apa Esa boleh ikut di mimpi Pippi?” Kepalanya meneleng, ingin tahu.

“Pasti boleh, karena Pippi sayang Esa. Tapi untuk sekarang, Esa sama Papa dulu yaa, Anak Baik?”

“Begitu?” Ia mungkin masih penasaran, tetapi putra kecil Han itu patuh mengangguk.

“Iya, Sayang. Esa mau ketemu Pippi?”

“Boleh?” Kelerengnya melebar bahagia.

Seungwoo mengangguk, “tentu.”

.

.

Hari-hari milik Seungwoo berbeda.

Tanpa Seungyoun di sisinya.

Bulan pertamanya, adalah bulan dimana seluruh harinya ia habiskan untuk merutuk, untuk segala hal yang terjadi padanya. Pernah, satu hari, di kursi tepat di samping Seungyounnya berbaring, ia mengatakan ingin menyusulnya. Namun Eunsang datang, menamparnya dengan keberadaannya.

Jinhyuk datang ke ruang rawat Seungyoun dan Seungwoo memberinya satu lebam di pipi. Jinhyuk menerimanya dengan suka rela.

Bulan ke-dua, Seungwoo mulai menata dirinya sendiri. Membenahi banyak hal. Bekerja, mengurus Eunsang, dan pergi ke rumah sakit.

Bulan ke-tiga, ia memutuskan menyerahkan café untuk diurus Wooseok sementara waktu.

Bulan ke-empat, ia masih menunggu.

Bahkan, kini, dibulan ke-dua belas.

.

.

Ia menyaksikan Eunsang tumbuh dan berkembang, masih bertanya kapan Pippi akan bangun, dan Seungwoo dengan sabar menjawab. “Pippi masih ingin bermimpi, kita doakan agar mimpi Pippi cepat selesai ya…” pintanya.

Eunsang akan mengangguk, pipi gembilnya bergoyang dan memerah. Umurnya sudah lebih dari tiga, ia bahkan sudah pintar mengeja.

.

.

“Younnie, tau ngga? Esa hari ini mulai sekolah?” dengan hati-hati, seungwoo menggenggam jemari pucat milik lelakinya. “Kamu harus tahu, dia ganteng banget pake baju sekolahnya.” Suaranya mulai terputus, bahu tegapnya bergetar pelan. “Youn, Sayang… aku rindu.”

Dan pecah.

Netranya basah, ia tak mampu meneruskan semua kalimatnya, tak ingin lagi bercerita. Ia menunduk, membiarkan tangisnya beradu dengan seluruh suara mesin yang mengisi ruang rawat milik separuh hidupnya.

.

.

Seungwoo membawa satu buket bunga hydrangea kali ini berwarna biru dengan bungkus berwarna abu. Ia buka pelan pintu ruang rawat, menemukan Jinhyuk yang berdiri tegak.

“O-oh, aku akan pergi.”

“Tinggallah.” Seungwoo melirik pada Jinhyuk, masih di sana. Kemudian mengambil vas bunga, mengisinya dengan air sprite, menata bunganya dengan hati-hati. “Kita belum pernah benar-benar berbicara, anda sedang istirahat, Dokter Jinhyuk?”

Hati-hati, Jinhyuk menanggapinya. “Ya, sedang waktu istirahat, dan Jinhyuk saja.”

“Baiklah, Jinhyuk,” Seungwoo mengulurkan tangannya, “saya Seungwoo.”

Jinhyuk menjabatnya sejenak.

Kemudian hening.

“Maaf.”

Seungwoo diam, memilih meletakkan vasnya dengan perlahan di atas nakas.

“Maaf untuk semuanya, Seungwoo.” Jinhyuk melirih.

“Esa pernah bilang, anda yang menjaganya ketika Seungyoun sakit.”

Jinhyuk diam, memilih mengikuti alur milik Seungwoo.

“Terkadang, saya berpikir, seharusnya saya yang mengejar anda, seharusnya saya yang tergelincir kemudian jatuh, seharusnya saya yang berbaring di sini.” Seungwoo duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang.

Jemarinya, ia biarkan menggenggam deriji mungil yang kian mengurus. “tetapi, semakin lama, kata seharusnya akan menjadi boomerang bagi saya pribadi.” Ia mengambil satu potongan kuku, dan mulai memotong kuku Seungyoun dengan telaten.

“Mungkin, ini juga bisa menjadi hukuman bagi saya. Meninggalkan Seungyoun bertahun-tahun, berjuang sendirian, bahkan setelah bertemu pun, saya masih membuatnya sakit.” Mengumpulkan kuku-kuku milik Seungyoun ke dalam tisu yang ia sudah sediakan.

“Seungyoun sering bercerita tentang anda, juga Wooseok. Kalian membantunya, memberikan kekuatan untuknya. Bahkan anda yang ada di samping Seungyoun di titik terlemahnya.” Seungwoo beranjak, menyimpan tisu berisi kuku ke dalam kotak kecil.

“Terima kasih dan maaf, Dokter Jinhyuk. Itu yang ingin saya dan Seungyoun sampaikan setahun lebih yang lalu.” Kali ini Seungwoo berdiri, berhadapan dengan Jinhyuk.

Jinhyuk menunduk, “Saya yang seharusnya meminta maaf. Tidak mau duduk sejenak, bahkan mendengar penjelasan kalian.”

Seungwoo membiarkan Jinhyuk meneruskan.

“Saya terlalu pengecut untuk tidak berani menemui anda setahun kebelakang. Bahkan saya akan menyelinap ke ruangan ini selagi anda bekerja. Saya meminta maaf untuk semuanya, Han Seungwoo.”

“Terima kasih menjaga Seungyoun dan Esa. Untuk kali ini, apa Jinhyuk mau menerima saya sebagai Papa Esa dan mungkin, jika nanti Seungyoun bangun, saya mencalonkan diri untuk menjadi teman hidupnya?”

Jinhyuk menelan seluruh kalimatnya. Lelaki di hadapannya ini, mengapa seperti ini? Mana hinaan yang diekspektasi Jinhyuk? Mana dorongan kasar mengusir Jinhyuk?

Mengapa yang Jinhyuk dapat seperti ini?

“Sekali lagi Han Seungwoo, saya meminta maaf atas tindakan saya, dan ya… tolong temani Seungyoun hingga akhir hidupnya.” Jinhyuk mendekat, menepuk punggung Seungwoo, “Terima kasih.”

Senyuman Seungwoo menjawabnya.

.

.

.

“Sayang, belum cukup Kakak nunggu kamunya ya?” Seungwoo menunduk, mengecup tangan Seungyoun perlahan.

Sepeninggal Jinhyuk, ia hanya merenung, kemudian bercerita bagaimana sehari-harinya. Menggerakkan beberapa sendi yang bisa ia rawat.

“Kalo gitu, Kakak masih harus nunggu agak lebih lama lagi?” Kali ini memposisikan diri merebahkan kepalanya.

Kelopaknya perlahan menutup, seiring harapan yang Seungwoo pupuk, “See you soon, love.”

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ps. See you!!  @coffielicious