Chamber 5

First Day


Sunghoon as Lintang Temurun Enjang.


Ia berdiri di hadapan sebuah rumah yang asri. Membiarkan koper kecilnya tergeletak di dekat kaki.

Mengeluarkan ponsel untuk mengabari beberapa hal pada rekan.

Ia ambil beberapa potret memasuki galeri.

Kemudian bersiap masuk setelah mendapat balasan pesan.

.

.

“Permisi...” langkahnya pelan menyusuri, ia edarkan pandangan ke kanan dan kiri.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?” seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan pakaian adat.

“Oh, saya Lintang, teman dari Neelae Lazuardi.” Lintang mengulurkan tangannya, menyambut jabatan disertai anggukan.

“Oh, Nak Lintang. Nila sudah bilang, mari saya antar ke ruang Nak Lintang,” bergegas mengambil satu kunci terakhir yang ada di gantungan, “kebetulan ini sedang ramai karena ada rombongan yang akan mendaki, Nak. Jadi Ibu hanya bisa menyiapkan kamar ini. Memang jarang dipakai, tapi kami selalu bersihkan jika sewaktu-waktu diperlukan.”

Lintang menangguk, “ah, iya. Terima kasih.”

Lintang mengikuti beliau dari belakang, menyusuri ruang depan, kemudian lorong yang cukup untuk dua orang dilanjutkan dengan ruang makan, dapur, dan tangga. Di halaman belakangnya, sempat pula Lintang melihat kolam kecil, dilengkapi air mancur mungil.

Rumah ini asri modern yang nyaman untuk ditinggali. Temboknya berwarna broken white secara menyeluruh yang didekorasi dengan navy.

Pintunya sepertinya dari kayu jati yang kokoh dilengkapi handle yang elegan.

Mereka naik menuju lantai 2, yang sepertinya berisi beberapa ruang kamar.

“Nanti kalau Nak Lintang mau memasak, ada dapur mini di bawah tangga. Dan kami juga menyiapkan menu jika Nak Lintang tidak memasak. Bisa juga jalan-jalan ke sekitar homestay.”

Lintang mengangguk, “Ibu tinggal di sini? Maksud saya, menunggu, eh tinggal di rumah ini?” mengatakannya dengan pelan, takut menyinggung.

“Santai saja, Nak. Saya ada di tepat sebelah rumah, saya pulang sekitar jam 5 sore. Ketuk saja pintunya kalau-kalau perlu sesuatu.”

“Oh, baik. Terima kasih.”

“Nah ini ruangan yang akan ditempati Nak Lintang. Kami meminta maaf karena untuk hari ini, hanya kamar ini yang kosong.”

“Tidak apa-apa,” ia edarkan netranya menyeluruh, “ini sudah cukup.”

Ibu penjaga memberinya beberapa informasi kemudian meninggalkan Lintang untuk membersihkan diri.

Kamar ini rapi, dengan dipan, almari, dan satu bilik kamar mandi. Cukup luas untuk ia tempati sendiri dan sangat nyaman.

Ia berjalan menuju pintu kaca kemudian membukanya. Ada halaman luas lengkap berumput hijau dan berbagai bunga di sekelilingnya.

Ia hela napas dalam-dalam dan memejamkan maniknya.

Deru angin menyapa pendengarnya, disusul dengan beberapa cengkerama yang dengan cepat menghilang.

“Segar sekali.”

Dan ia beranjak mandi.

.

.

.

Memutuskan berjalan-jalan tak lama setelah ia membenahi diri. Bertemu dengan ibu penjaga di ruang depan yang sedang berbicara dengan beberapa pendaki.

Sekilas, Lintang mendengar tentang mereka yang akan kembali dua hari lagi.

.

.

.

Ada jalan setapak kecil menuju satu gazebo di halaman samping rumah, Lintang merapatkan mantelnya, menyusuri dengan langkahnya yang ringan.

Perlahan ia sampai di gazebo dan duduk di tempat yang disediakan.

Kolam ikan ada disekitarnya dan air mancur kecil menciptakan gemericik air kecil menambah suara di pendengarannya.

Tidak lama, Lintang kembali beranjak.

Kali ini lebih menyusuri ke sekitar kompleks.

Jika ditilik kembali, rumah itu tidak seperti homestay, lebih condong ke villa keluarga yang dibiarkan sewa perkamar. Namun Lintang tak ingin ambil pusing.

Tungkainya membawanya menuju arah matahari terbit, yang tidak lama setelah ia berjalan, menemukan kedai kopi berseberangan dengan kedai teh.

Lintang mampir untuk membeli secangkir kopi hangat untuk dirinya sendiri.

Ia bawa kembali langkahnya, membiarkan kakinya menuntun jalan untuknya.

Ada sekelompok anak-anak memainkan beberapa permainan tradisional. Engklek? Ah, Lintang lupa apa namanya.

Ia ambil beberapa gambar untuk ia abadikan.

.

.

.

Kerumunan kecil menyita perhatiannya ketika ia sampai di ujung jalan.

Penjual aksesoris rupanya.

Beberapa orang mengerubung, bersahutan bertanya berapa harga dari masing-masing barang yang mereka pegang.

Awalnya, Lintang hanya ingin lewat, tetapi sesuatu seperti membawanya mendekat.

Satu gantungan kunci kecil. Seperti keychain milik hotel, namun antik.

Chamber 5

Wah, kebetulan sekali ia mendapat ruang nomor 5.

“Itu tiga belas ribu.” Penjual itu berkata padanya.

“Ah, iya.” Lintang mengeluarkan uang sejumlah yang disebutkan.

“Boleh pinjam tanganmu?”

Lintang meneleng heran, namun penjual wanita yang hampir renta itu seperti tidak menerima bantahan. Jadi, perlahan Lintang ulurkan tangan kanan miliknya.

“Tidurlah dengan baik, Nak. Bermimpilah sampai batas waktu yang sudah ditentukan.”

Dan Lintang semakin mengerutkan keningnya.

“Ambil uang ini kembali, sebagai gantinya. Hiduplah dengan baik.”

“Tapi,”

Penjual itu menepuk punggung tangannya dua kali.

Lintang mengangguk kemudian, “terima kasih.”

Penjual itu tersenyum, kembali pada kegiatannya melayani pembeli yang lain.

.

.

.

Lintang berbalik untuk melangkah kembali ke homestay.

Ia mainkan gantungan kunci yang secara gratis ia dapatkan.

Bentuknya seperti irisan wajik, berwarna coklat karena bermaterial kayu. Di atasnya terukir tulisan yang tadi ia baca, sesuai dengan ruangannya. Antik, kalau boleh ia bilang.

Seperti ia menemukan aksesoris langka ketika berburu di Malioboro.

Sesuatu yang agak mengganggunya adalah perkataan penjual tadi.

Tapi ia tidak ingin terdistraksi.

Ia simpan keychain ke dalam saku, untuk kemudian kepalanya menyusun rencana kegiatannya.

.

.

@coffielicious 2022