Chamber 5
.
.
cw // non baku conversation.
tw // some Lintang's past trauma. Abusive parent.
“Ngapain?” Lintang sadar ia berada dalam mimpinya lagi. Kali ini, ada Renja menemani.
“Katanya minta ditemenin.”
Lintang yang masih berbaring, hanya memejam, “kemarin ke mana?” menutup mata dengan lengannya.
“Mau nyoba ngga muncul aja di mimpi Lintang.”
“Males banget. Kapan bangun?”
“Nanti.”
Kemudian hening.
“Nanti ya Lintang, kalo semuanya udah selesai.”
Lintang tidak menjawab, hanya bergeser pelan, meletakkan kepalanya di atas paha Renja, “minta puk-puk, biasanya aku langsung bobo.”
“Aku?”
Lintang mendongak, “ngga boleh?”
Renja tersenyum tipis, “boleh. Buat latihan ya.”
“Apa-apaan.”
Renja mengelus pelan sisi kepala Lintang, meletakkannya dengan halus di pangkuannya, “mau cerita ngga harinya Lintang gimana?”
“Harus?” menyamankan diri, membiarkan hidungnya mengusak perut Renja.
“Geli, Lintang. Ngga harus kok, kalo ngga mau, ngga perlu cerita,” membelai rambut Lintang agar kembali tidur.
“Ketemu Renja kan tadi, abis itu nongkrong bentar di café nya kak Jingga, malemnya makan sama keluarga Lazuardi.”
Renja berdehem, “besok?”
Lintang menahan napas, “ketemu bapak.”
Renja menunduk, “boleh cium kepala Lintang ngga?”
“HAH?”
dan dahi mereka bertemu.
“Ouch!” bersamaan, memegang ujung pelipis masing-masing.
“Boleh, tapi puk-puk lagi.” Lintang kembali meletakkan kepalanya, kali ini netranya lurus menatap Renja.
Renja merendahkan badan atasnya, kemudian membiarkan bibirnya menyapa dahi milik lelaki yang lainnya, “tidur nyenyak, Lintang.”
Dan ia menghilang, seiring Lintang kembali memasuki istirahatnya hari ini.
.
.
.
Ketukan di pintu kamar membuatnya terbangun. Sudah pagi, dan Lintang masih terlentang di ujung ranjang.
“Udah bangun, Kak Zua.” menjawab Zura yang masih di depan pintu.
“Oke, Kakak tunggu di bawah ya, Ganteng.”
“Oke, Kak.” seraya beranjak gontai untuk membersihkan diri.
.
.
.
Perjalanan kali ini, disopiri oleh Silvery, di samping kursi kemudi ada Zura menemani. Lintang, masih anteng di bagian tengah mobil. Memainkan ponsel untuk sekadar mengabari Antares dan Jeya.
“Tidur aja lagi kalo masih ngantuk, Nja.” itu Azure.
“Gantian tidurnya sama Kak Zua?”
“Iya, pulangnya biar Kakak yang tidur.”
“Yeeee.” mencebik, “Enja ngga ngantuk, Kak.”
Lintang kembali memainkan handphone, sembari mendengarkan tipis-tipis obrolan kedua kakaknya.
.
.
.
Masih lengang.
Lintang melamun, ia merasa kosong.
“Kalau belum mau ketemu, tunggu di mobil dulu aja ngga papa, Nja.” Zura menggenggam tangannya.
Lintang membalas gandengan mereka, “jangan tinggalin Nja, Kak.”
.
.
Lintang menatap lurus pada laki-laki paruh baya di seberang duduknya yang terhalang meja. Wajahnya mulai memiliki keriput, kelopak matanya yang sayu, dan bibir yang pucat.
“Maaf.” satu kata yang sedari tadi terulang.
Lintang menunduk, memainkan kaitan jemarinya sendiri.
“Maafkan Bapak, Lintang.”
Lintang setengah tidak percaya, namun satu foto masa kecil yang sudah lusuh memberikan satu rasa yang ia tidak pernah tahu, ada.
Fotonya dengan bapak di hadapannya, menggenggam jari mungil Lintang, tersenyum cerah memberinya seikat balon.
Lintang memalingkan muka, “di mana makam ibu?”
“Lintang tumbuh dengan baik, Bapak seneng, Nak. Nanti, bapak kasih alamat makam ibu.” tangan bapak terulur.
Lintang menjauhkannya, kali ini ia letakkan di atas lututnya sendiri.
“Bapak minta maaf, Lintang. Dulu, Bapak tidak berpikir ibu akan tiada.”
Netra Lintang berkaca-kaca, “kalo ngga kepikir ibu bakal ngga ada, kenapa bapak mukul ibu terus-terusan?”
“Waktu itu, waktu itu... Bapak khilaf, Lintang. Bapak pengangguran yang punya banyak hutang. Bapak emosian dan petinju ulung yang bikin ibu Lintang meninggal. Maaf, Lintang.”
“Di mana makam ibu?”
Bapak menyerahkan satu kertas yang berisikan alamat, ada dua. Masing-masing berisi jalan yang berbeda.
“Itu rumah dan makam ibu. Bapak masih punya 7 tahun di sel, Lintang. Bapak ngga minta Lintang maafin Bapak. Tapi boleh ya berharap Lintang mau hidup dengan baik.”
Lintang melipat kertas yang ia ambil.
“Bapak sama ibu cuma punya kamu, Lintang. Kami dulu dari panti asuhan ujung kota. Mungkin Lintang udah lupa. Nanti, kalau Lintang main ke makam, Bapak nitip salam ya, Nak. Dan, nenek yang ngasih nama Lintang sekarang udah engga ada.”
Lintang tidak membiarkan kelopaknya mengerjab.
“Bapak ngga bisa nebus waktu buat Lintang. Bapak minta ampunan Lintang. Dan Bapak mau bilang makasih udah kabur waktu itu, makasih bersedia ketemu bapak di sini. Lintang, Bapak bersyukur kamu hidup dengan baik. Semoga, di kehidupan lainnya, kamu bisa ketemu ibu dengan keluarga yang lebih baik ya, Lintang.”
Lintang beranjak, “udah kelamaan, Lintang mau pulang.”
Bapak hanya mengangguk, “makasih, Lintang.” tak lupa menyalami dua lelaki yang membawa Lintang bertemu dengannya, “terima kasih, saya titip Lintang. Saya tidak bisa membayar apapun, tapi saya pastikan untuk sama sekali tidak mengganggu Lintang.”
Silvery mengangguk, dan bertolak. Menyusul dua orang lain yang sudah keluar ruangan.
.
.
.
“Cari makan yuk?” Zura menepuk punggung Lintang, masih memeluknya, membiarkan isak mengisi pundak kirinya.
“Ke makam dulu boleh?”
Silvery mengelus rambut Lintang pelan, “boleh. Yuk!”
.
.
.
@coffielicious