Chamber 5

The Day


Part of Chamber 5

Sunghoon as Lintang Temurun Enjang Heeseung as Laranja Hanggara and Wonwoo as Silvery Hanggara


Hampir pukul setengah sebelas. Masih ada sekitar 2 jam untuk Lintang bersiap-siap.

Lintang sudah menyiapkan baju yang akan ia pakai ke Moon Café untuk bertemu dengan Silvery, pacar kakaknya.

Ada segan tersendiri saat berhadapan dengan Silvery, entah apa, namun Lintang merasa canggung.

Ia hela napas perlahan, kemudian ia merebah sebentar.

.

.

.

Cahaya kamarnya kini berganti menjadi remang. Ah, ia ada di mimpinya lagi.

Lintang beranjak dari duduknya, tempat yang sama, seperti semalam ia bermimpi.

Lorong rumah sakit, namun kali ini tidak ada Renja.

Sepi, hanya bau obat menyeruak.

Lintang melangkah pelan, ia tengok ke dalam bangsal yang berisi beberapa pasien.

Lintang mengerjabkan netranya cepat ketika menangkap seseorang yang ia kenal.

Silvery...?

Tumben sekali ada orang yang Lintang kenal di mimpinya sendiri.

Ia berjalan menghampirinya perlahan.

“Enja, sini!” undang Silvery.

Lintang menengok kanan dan kiri, tidak ada siapapun kecuali dirinya.

“Saya, Kak?”

Silvery mengangguk, mengambil tangan Lintang untuk digenggam.

“Renja udah ngga papa, ngga usah khawatir.”

“Hm...?”

“Jadi beli makan tadi? Kalo ngga kakakmu bawa bekal. Sana makan dulu.”

Lintang mengangguk, “iya, Kak...”

Dan ketika berbelok, Lintang sudah berada di kamarnya lagi.

.

.

“Apa tadi...?”

Ada beberapa lama untuknya sadar. Satu jam sudah ia tertidur.

Lintang akhirnya bangkit dari rebahnya, membersihkan diri dan bersiap.

.

.

.

Bel pintu café berdenting ketika ia memasuki ruangan dengan nuansa terang dilengkapi lampu kemuning hangat.

“Lintang! Di sini!” Jingga memintanya mendekat.

“Hai, Kak.”

“Silvery sama Azure udah di halaman belakang tuh, sana susul. Oh! Sama Lintang mau minum apa?”

“Latte aja, Kak. Lintang susul dulu ya, Kak.”

“Oke, Lintang.”

Lintang berjalan menjauh, menuju halaman belakang café yang sejuk dengan beberapa pohon kecil. Menemukan Silvery dan Azura di salah satu meja kayu.

“Dari tadi, Kak?”

“Lumayan Enja... Nah, karena Enja udah dateng, Kakak mau jemput Nila dulu.”

“Tapi Enja udah bilang Nila kalo Enja mau jemput, Kak...”

“Kamu ngobrol sama Ilve dulu gih.”

Lintang mengangguk, membiarkan Azure berjalan keluar café.

“Hai, Enja.”

Lintang tersenyum, “halo, Kak.”

“Udah pesen kan tadi sama Jingga?”

“Udah, Kak.”

“Enja... Jangan takut gitu, Kakak lho ngga gigit.”

“Hehe... Iya, Kak Silvery.”

“Jadi gimana Enja udah siap mai cerita mimpi-mimpinya Enja?”

Lintang menghela napas pelan, mengambil satu kap air mineral kemudian meminumnya, “Kak Silvery udah denger dari bunda gimana aja?”

“Garis besarnya aja sih, Enja. Tentang mimpi yang didatengin satu orang yang sama dan berulang kali.”

Lintang mengangguk, “tadi ada yang dateng satu orang lagi kak, bedanya kalo ini Enja kenal.”

Silvery dengan sabar menunggu Lintang melanjutkan.

“Tadi, Kak Silvery ada di mimpi Enja. Di lorong rumah sakit.”

Silvery mengerutkan kening, “Enja udah dapet informasi apa aja dari mimpi Enja?”

“Namanya Renja...” pandangan mata Lintang kosong, “ada pendakian, jelly strawberry, tangga jalan, greenhouse, piano, white roses, dan lorong rumah sakit. Itu sejauh ini.”

Silvery mengambil jaketnya tergesa, “ikut Kakak bentar, nanti kita balik lagi.”

“Hah?”

Lintang menyambar tas kecilnya tergesa, menyusul langkah Silvery menuju pintu keluar.

“Sill!!! Mau kemane looo?” Jingga meneriakinya.

“Menentukan hidup adek gue, ntar gue balik ke sini lagi.” jawabnya cepat.

.

.

.

“Kita mau ke mana, Kak?” Lintang meremat sabuk pengamannya.

“Rumah sakit, Enja. Nanti Enja tahu. Tunggu sebentar ya.”

.

.

.

Lima belas menit perjalanan dan terasa begitu lama.

Sol sepatu yang bertemu dengan lantai lorong seakan mendengung di telinga Lintang. Ia ragu, berhenti untuk duduk di salah satu bangku.

“Kak... Siapa Renja?”

Dan Silvery berbalik, berlutut di depan Lintang, “semoga kakak salah ya, Enja.” Silvery menggenggam tangannya lembut.

“Mau lanjut ikut? Atau Enja mau pulang?”

Penasarannya mengalahkan ketakutannya, “ikut, Kak. Jangan tinggalin Enja.”

Never.”

Dan Lintang menelusupkan jemarinya erat.

.

.

Ruang Cendana nomor 5.

Seseorang berbaring di ranjangnya. Memakai piyama rumah sakit, dan banyak selang untuk penopang hidupnya.

“Renja, Laranja Hanggara. Adik gue...” Silvery berkata perlahan, “dia punya greenhouse yang di dalemnya ada piano. Kadang dia juga suka bikin jelly strawberry. Dia kecelakaan setelah mendaki dua tahun lalu, dia menghindar dari anak kecil yang nyebrang. Dan dia selalu punya white roses di vas bunganya dia. Enja... Ini kenapa Kakak ajak Enja ke sini.”

Lintang terpaku di tempatnya berdiri.

“Apa ini Renja yang ada di mimpinya Enja?”

Lintang melepaskan jari Silvery dari genggamannya, mendekat perlahan, dan tanpa sadar ia menangis, “hai... Renja. Gue nemuin lo duluan...”

.

.

.

.

Ada banyak lamunan Lintang di sepanjang jalannya kembali ke Moon Café. Silvery harus menepuknya beberapa kali.

“Kapan Renja bangun, Kak?” rematannya berganti pada ujung bajunya sendiri.

“Doain secepatnya ya, Enja.”

“Enja boleh nengokin Renja?”

Anytime, tapi minta temenin Nila atau Zura ya, Enja.”

“Renja bilang, he used to stargazing everytime he can, he used to meet his brother and mother often, but not now, dia selalu bilang tentang dulu...” Lintang menatap kosong lalu lalang jauh di depannya, “Renja bakal bangun kan, Kak?”

Dan Lintang belum mendapat jawaban.

.

.

.

.

ps. akhirnya hilal hiseng sudah terlihat...

@coffielicious