Chamber 5

.

Third Day

.

.


Sunghoon as Lintang Temurun Enjang Jungwon as Neelae Lazuardi Hoshi as Azure Lazuardi Wonwoo as Silvery Hanggara

And Bunda

Part of Chamber 5 AU

Warning ; non baku conversation.

TW // mention of blood, minor character death, trauma, sleeping pills, and kdrt

Please do inform me if there are some tw left ;)


Netranya mengedar setelah mematikan ponsel dalam genggaman. Ia hirup perlahan oksigen yang tersedia di sekitar.

Segar sekali.

Dari tempat Lintang berdiri, ia mampu melihat 4 gunung di satu tempat.

Hamparan warna hijau kebiruan menyatu dengan matahari yang kini sudah sepenggalah. Membiarkan tubuh depannya tersiram mentari pagi.

Kemudian ia mendudukan diri, menunggu Neelae dan keluarganya untuk menghampirinya.

Ada cerita menarik tentang bagaimana hubungan mereka terbentuk.

.

.

Lintang meningatnya samar-samar mungkin ia masih sekitar 7 tahun saat itu. Ia berlari menyangking sepatunya yang jebol, dilengkapi ujung jari jempolnya yang berdarah karena tersandung.

Ia tak tahu arah, yang ia tahu, ia harus berlari sampai ia lelah. Sampai ia tak ditemukan.

Kemudian ada seorang wanita paruh baya, menggandeng balita di genggamannya, “astaga, ada apa, Nak?”

Dan Lintang akhirnya menangis.

Wanita paruh baya itu membawanya pulang, memberinya makan, mengais informasi yang sekiranya bisa membantu Lintang kembali.

Namun Lintang terus menggeleng, ia tak ingin menjawab apapun, kecuali namanya sendiri.

Wanita paruh baya itu tidak menyerah, beliau membawa Lintang ke kantor polisi terdekat hanya untuk menyaksikan Lintang menangis keras.

Wanita paruh baya itu, pada akhirnya tidak membiarkan Lintang pergi.

Ia merawatnya bersama dua anaknya. Wanita itu kini memiliki tiga putra.

.

.

Setelah sekian tahun Lintang bersama keluarga Lazuardi. Sang ibunda tahu, bagaimana Lintang tersesat di jalanan berhari-hari.

Ia adalah korban kekerasan keluarga yang menewaskan ibunya karena ulah suaminya.

Lintang takut, saat ia kembali, ia akan dipukuli hingga berdarah dan tidak bernapas, seperti ibunya.

Lintang kabur dari rumah ayahnya di malam hari, hanya seutas pakaian, satu jaket, dan sepatu lusuh untuknya bertahan selama beberapa hari.

Kemudian ia menemukan sisa kue di pinggir toko milik keluarga Lazuardi.

.

.

Itu adalah ingatan lamanya. Yang selanjutnya, Lintang memilih hidup sendiri setelah yakin ia mampu.

Ia masih berhubungan baik dengan keluarga angkatnya.

Keluarganya yang memanggilnya 'Enja' dari nama belakangnya, 'Enjang'.

.

.

“Kak Enjaaaaa!”

Teriakan di belakangnya membuatnya menoleh, itu Neelae.

Lintang berdiri, menyambutnya dengan pelukan, mengusak surai Neelae yang melebat, “kangen banget.”

“Nila jugaaa! Kak Enja sih, jarang mainnn!!!” rajuknya mengerucutkab bibir.

“Belum sempet, maaf ya?”

“Dimaafin kalo setelah Kak Enja pulang dari sini, nginep di rumah.”

“Call!” Lintang menyanggupinya, dan maniknya menemukan Kak Azure, “Kak...”

Azure membawanya dalam dekap, dan melepasnya untuk mengusap kelopak miliknya, membuat Lintang memejam, “cape banget kayanya.”

Lintang hanya tersenyum kecil, “kangen Kak Zua.”

“Dikira Kakak engga apa?” Azure menepuk pelan pundaknya, “Kakak mau ngenalin seseorang sekalian deh,” Azure memanggil lelaki yang sedari tadi membawa jaket, sepertinya milik Azure, “ini Silvery, pacar Kakak.”

Lintang menyalaminya, “Lintang, tapi bisa juga dipanggil Enja, Kak.”

Lelaki itu mengangguk, “Silvery, nice to meet you, Enja.”

Lintang tersenyum, “udah bisa liat warna ya Kak, kata Nila?”

Azure melonjak sedikit, “udah, Enja!!! Aku excited banget waktu pertama kali ngalamin, kaya astaga ternyata dunia seberwarna ini ya.”

Lintang menanggapi Azure yang masih mengoceh bagaimana bahagianya ia.

“Halo anak tengah Bunda.”

Dan Lintang berhambur ke dalam dekapan hangatnya, “kangen Bunda.”

“Ya kamu, jarang main. Padahal Bunda sering bikin tiramisu cake buat Enja.”

“Hehe, lain kali Enja mampir deh, Bunda. Lagi lumayan hectic soalnya.”

“Asal jangan lupa jaga kesehatan aja.”

“Iya, Bunda.”

“Buuuunnn, Adek mau ke sana sama Kak Zua yaaa?” Nila mengambil satu minuman yang tersedia di meja.

“Iya, nanti kalau mau pulang bilang.”

“Okeee Bundaaa, dadah Kak Enja.” lambainya manis.

Lintang mengangguk kecil.

Hanya tinggal mereka berdua, bertukar kabar dan menanyakan beberapa hal.

“Jadi gimana? Coba Bunda mau denger dari Enja langsung tentang mimpi-mimpinya Enja.”

Lintang membenahi duduknya, ia hela napas perlahan, “dari malem pertama waktu Enja dateng ke sini, Bunda. Enja yang biasanya tidur harus pake sleeping pills itu engga. Bahkan Enja ketiduran.”

“Wow.”

“Dan Enja mulai mimpinya di malem pertama juga. Waktu itu Enja mendaki gunung, aneh banget. Padahal Enja kan sukanya di ice rink, bukan hiking.”

Bunda terkekeh kecil, “hm, terus?”

“Di pendakian itu, Enja ditemenin sama satu cowo, Bunda. Tapi Enja sama sekali ngga bisa liat dia. Ini mimpinya sampe tiga babak, Enja kan cape.”

“Haha, lucu banget sih Enjaaa, terus-terus?”

“Terus mimpi yang kedua, Enja ketiduran di kebun strawberry.”

“Hah?”

“Iya Bunda, di mimpi itu Enja dikasih jelly, ngga lama, ada yang bangunin Enja, ngasih jelly, persis sama yang dikasih di mimpi Enja.” Lintang menjedanya, meminum teh hangat yang kini mendingin, “oh! Hampir lupa, di mimpi pertama, Enja nyaris jatuh di pendakian, siku Enja kegores ranting, di tolongin sama cowo itu. Dan waktu Enja bangun, udah ada plester di siku Enja.” menunjukkan sikunya yang terluka.

“Aneh ya, Enja.”

“Iya Bunda... Dan semalem, Enja mimpi dia lagi. Nemenin dia main game, Enja dikasih snack abis itu dipuk-puk sampe bobo.”

Bunda terdiam agak lama, “Enja dapet kamar nomor berapa?” tanyanya kemudian.

“Lima, Bunda.”

“Oohh yang lantai dua ya? Bunda tadi lewat sana dan semuanya oke.”

“Hm?”

“Cuma emang kayanya jarang ada yang nempatin aja. Tapi Enja, apa Enja beli atau dapet sesuatu?”

Lintang mengerutkan kening, kemudian teringat dengan gantungan kunci yang ia dapat, “Enja pernah dapet ini, Bun...” ia keluarkan gantungan kunci antik dari dalam sakunya.

Chamber 5?” Bunda mengamati keychain itu saksama, “ada sesuatu yang dibilang sama orang yang ngasih ini?”

Lintang mengingat-ingat, “ada, Bunda. Intinya tentang mimpi sampe waktu yang sudah ditentukan...?”

“Pulang sebentar yuk, Bunda mau liat kamar yang ditempatin Enja.”

Lintang mengangguk, membenahi barang-barangnya kemudian beranjak mengikuti Bunda.

.

.

.

@coffielicious