Cheesecake

.

tw : accident

Part of Kue Beras AU .

Seungwoo kembali merapikan beberapa helai rambut yang mampir di sebelah pipinya. Surainya sudah semakin panjang, mungkin besok ia akan meminta Seungyoun untuk memotongkannya.

Jaket tebalnya ia rapatkan, bersiap melangkah ke dalam café tempat Seungyoun bekerja.

Seungyoun membawa nampan berisi 4 cangkir dan menuntunnya ke lantai atas.

“Hati-hati Kak, pot yang kemarin kita beli belum sempat aku tata, jadi sementara waktu aku biarin di sini.” Seungyoun membawa tungkainya menaiki tangga.

“Kamu yang harusnya hati-hati, ini potnya ada beberapa yang dari batu…” Seungwoo mengambil alih nampan yang dibawa Seungyoun.

“Temen-temen Youn udah dateng?”

“Udah, Kak. Malah kayanya Kakak kenal salah satu dari mereka.”

“Hm, iya?”

“Iya! Jadi ayo ketemu temen-temen Youn!”

Semangat sekali, Seungwoo tidak menahan senyumnya.

Mereka menuju meja lingkar di ujung ruang, Seungwoo melebarkan pupil matanya ketika menemukan sosok Wooseok yang duduk dengan manis di salah satu kursi.

“Hai, Woo.”

“Lho, Seok… bener juga ternyata, Younnie bilang kalo aku kenal salah satu, ternyata lo.” Meletakkan nampannya di atas meja dengan hati-hati. “Yang satu lagi, pacar lo? Ke mana?”

“Lagi di belakang bentar.”

Seungwoo mengangguk mengerti.

Wooseok ini, rekan kerjanya di kantor yang dulu, meski berbeda lantai tetapi mereka pernah berpapasan dan saling menyapa beberapa kali.

“Gimana kerjaan yang sekarang? Lancar? Denger-denger diminta masuk ke perusahaan Tante Cho ya?”

“Lancar-lancar aja sih, syukur. Iya, diminta masuk ke sana, sambil belajar dari awal.”

“Ya, demi restu juga ngga sih?”

Seungwoo hanya tertawa.

“Lha, udah akrab aja ini berdua yaaa…” Seungyoun kembali ke meja dengan membawa cheesecake berukuran sedang. “Jinhyuk mana? Apa masih ada pasien yang harus diurus?”

“Udah kelar, lagi ke belakang aja bentar.” Wooseok menyesap latte miliknya.

“Kak Woo udah ketemu Jinhyuk?”

“Belum juga, kenapa?”

“Ya ngga papa.”

“Esa mana, Youn?”

“Sama neneknya, akhir-akhir ini Esa lagi nempel banget sama mama. Mau aku ajak kerja, tapi mama bilang biar sama mama aja, yaudah. Mayan sih, aku bisa dekor beberapa sudut jadinya, kalo sama Esa diusilin mulu, haha.” Seungyoun memotong cheese cake yang tadi ia bawa untuk mereka makan.

Tak lama, Jinhyuk bergabung ke meja. “Sorry perut gue rada bermasalah.” Menyampirkan jaketnya ke sandaran kursi.

“Ngga minum kopi kan, Hyuk?” Khawatirnya Seungyoun terlalu kentara.

“Ngga lah, bunuh diri itu mah, haha.”

“Eh Hyuk, ini Kak Seungwoo, em…… papanya Esa.”

Jinhyuk hanya mengangguk, dan bergumam.

Sejenak, ada waktu beku diantara mereka. Seungwoo mencoba mencairkannya, tetapi sepertinya usahanya agak gagal.

Jinhyuk melemaskan otot-ototnya dan mulai bersandar ke kursi dengan nyaman.

“Jadi ini, yang ninggalin Seungyoun.” Jinhyuk menelisik figur Seungwoo dengan terang-terangan.

“Hyuk… Kak Woo ngga bermaksud.”

Jinhyuk hanya mengedik dan menghela napas, “gue kayanya balik duluan aja deh,Youn. Ada sesuatu yang harus gue urus. Seok mau di sini dulu apa gimana?”

“Hyuk…” Wooseok menahan lengan Jinhyuk, “Duduk dulu yuk.”

Jinhyuk melepaskan jemari Wooseok pada lengannya, pelan. “Ngga sekarang ya, kupikir aku mau ketemu esa duluan. Younnie, jaga kesehatan ya.”

“Hyuk… yaampun aku bahkan belum ngomong.” Kali ini Seungyoun. Jinhyuk mengusak surai Seungyoun dan tersenyum, “Boleh minta waktu dulu?”

“Tapi Hyuk…”

Jinhyuk menghela napas, “Not now, Younnie. I promise we will take some time to talk, but not now… hmm?”

Seungwoo beranjak dari duduknya. “Kupikir aku saja yang pergi?”

Jinhyuk menoleh, “Tidak perlu, enjoy your time.”

Jinhyuk berjalan menjauh ke arah tangga, ketika mencapai tangga turunan pertama, ada sentakan yang membuatnya menghindar dengan cepat.

Semuanya terjadi seakan dalam sekejap.

Ada lelaki berkemeja putih yang kini tergeletak di bawah tangga, terbentur satu pot yang diletakkan di sekelilingnya.

Perlahan, kemeja itu terlumuri marun, menyebar, dan menggenang di lantai.

Teriakan seisi café menyadarkannya untuk menuruni sisa-sisa anak tangga dengan seluruh tenaganya.

Seungwoo sudah di sana, memangku kepala Seungyoun yang terkulai.

“Hyuk, jangan pulang dulu…” Sisi pipinya sudah merah, dan air matanya mengalir menuruninya.

“Youn! Younnie!” Jinhyuk berteriak sekuat tenaga.

.

.

.

Sudah terlalu larut, Seungwoo membiarkan kepalanya menyender dinding di belakangnya.

Rumah sakit yang sama, dengan keadaan yang lebih dari sebelumnya.

Bajunya masih berlumuran darah, yang lebih dari itu adalah betapa kalutnya perasaannya. Menyaksikan bagaimana Seungyoun terpeleset dan menggelinding juga benturan yang sama sekali tidak halus. Suara lirihnya untuk meminta Jinhyuk tinggal, meminta temannya untuk sekadar mendengarkan.

Seungwoo rasa, seharusnya ia yang tergelincir, seharusnya ia yang terkantuk, seharusnya ia yang sekarang dalam pemeriksaan.

Tetapi, kata seharusnya kini tak berlaku. Yang ia bisa, hanya menunggu.

“Maaf Tuan Han, semoga anda bersedia untuk menanti. Tuan Cho masih tertidur, untuk waktu yang belum bisa kami tentukan. Tolong temani Tuan Cho, tolong beri dia dukungan, dan untuk anda, kami mohon untuk menjaga kesehatan dan bersabar, sampai nanti Tuan Cho terbangun dari komanya.”

.

.

.

.

Ps. Yeah hello, im sorry this take too long, I’ll write next part as soon as possible, thank you for passing by… have a good day @coffielicious