Continue

.

Soonwoo Fall AU Part 3

.

.

Masih terlalu hangat, hingga enggan melepaskan diri dari yang lainnya. Merasakan degupan yang seirama, mengumpulkan cercahan kenangan yang tak mampu melepaskan diri.

“Aku mencarimu, kemanapun, kau tau aku memiliki kepala batu. Jadi pesanmu tidak mempan, Jeon.”

Soonyoung mendongak, menemukan Wonwoo dengan mata yang berair, mengecupi keningnya tanpa henti. Seolah melepaskan rindu dari belenggunya. Soonyoung mengangkat Wonwoo untuk berbaring di peraduannya, memposisikan diri di atas Wonwoo agar leluasa menyelami netra yang menenggelamkannya. Membelai surai yang terlalu tebal terasa dalam jemarinya.

“Kau membuatku hampir gila, aku menanyakanmu pada Jihoon dan juga Jun, mereka bahkan tak memberiku jawaban yang pasti. Aku selalu melacak di mana nomor ponselmu berada, satu waktu aku menemukannya di pusat perbelanjaan, tetapi aku hanya menemukan ahjumma penjual makanan ringan.”

Seperti anak kecil, Soonyoung mengoceh. Wonwoo mengalungkan kedua lengannya pada leher Soonyoung, membawanya mendekat, memutus apapun yang di lakukan Soonyoung dengan bibirnya. Mengambil napas Soonyoung ke dalam pagutannya, ia merindukan Soonyoung, sangat.

Soonyoung terengah, menahan Wonwoo yang akan menciumnya kembali. Berpindah tempat ke samping Wonwoo, meminta lengannya untuk dijadikan bantalan.

Bertukar pandang, senyum, dan kecupan.

“Aku tidak tahu bagaimana kau seperti ini Jeon, yang aku tahu adalah kau kehilangan ayahmu waktu itu. Aku hanya tak menyangka. K-kau harus kehilangan suaramu”

Soonyoung terisak, menahan napasnya yang putus-putus, membelai leher Wonwoo untuk kemudian ia kecup, tak mampu lagi menahan isakan hingga tangisan.

“Aku merindukanmu, aku merindukanmu Wonwoo, sangat merindukanmu Jeon Wonwoo.”

Soonyoung mengucapkannya tiada henti, bagaikan mantra yang menjaganya untuk tetap hidup. Soonyoung masih menelan napasnya mentah-mentah, menggapai bibir Wonwoo dalam keputus asaanya.

“Jangan tinggalkan aku, jangan pergi, jangan lepas tanganku, lindungi aku Jeon Wonwoo, dan sebagai gantinya aku ingin mengabdikan hidupku untukmu.”

Air yang terasa terlalu asin dari pelupuk mata Wonwoo masih tak mau berhenti mengalir. Bertukar degukan, melepaskan seluruh rindu agar terbebas dari belenggu. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, mereka mampu membunuh gelap dengan rengkuhan hangat yang enggan pergi.

.

Wonwoo tersenyum melihat siluet pemuda berada di dapur apartemennya. Membuka lengannya untuk memasukkannya ke dalam pelukan hangat selamat pagi. Soonyoung menghentikan kinerja sistem geraknya, beralih sepenuhnya pada makhluk tuhan yang sedang mendekapnya.

“Kau bekerja?”

Soonyoung merasakan anggukan di bahu kanannya. Menoleh mencari pipi untuk di kecupnya.

“Jam berapa kau berangkat?”

Angka 8 didapat oleh Soonyoung melalui jemari yang melingkar halus di pinggangnya.

“Masih ada dua jam untuk bersiap.”

Memutar tubuhnya, memilih berhadapan dengan makhluk pencuri setengah hatinya. Menggeser apapun di atas meja marmer dapur, mendudukan dirinya di sana, menjadikannya lebih tinggi dari Wonwoo. Masih dengan lengan yang melingkar sempurna di pinggangnya, Wonwoo mengangkat alis.

“Agar aku lebih leluasa memandangmu.”

Wonwoo memberikan kecupan kecil di bibir Soonyoung, mengecap rasa pagi di lidahnya, mengais manis dari dalamnya, menenggak napas dari yang lainnya.

Wonwoo membawanya ke dalam dekapan.

“Aku ingin belajar bahasa isyarat, Wonwoo.”

Wonwoo menangkup pipi pualam di hadapannya, netra yang masih terlalu membengkak karena menangis, fisik indra pembau yang masih terlalu merah, dan indra pengecap telapisi bibir yang menggantung indah, tersempurnakan rahang kokoh yang Wonwoo puja.

Soonyoung menggerakkan bola matanya, menelisik apa yang ada dalam pikiran pemuda yang memeluknya, menyusuri kumpulan rambut penghalang keringat di atas matanya, menghitung bulu yang tumbuh di kelopaknya, menyelami samudra hitam yang mampu menenggelamkan Soonyoung dalam tatapannya, memberikan satu pagutan mungil di bibir depannya.

Soonyoung mengusapkan jarinya pada bibir Wonwoo.

“Ajari aku bahasa isyarat Wonwoo, dan kau harus menceritakan bagaimana seluruh harimu kau habiskan.”

Wonwoo mengangguk, mengambil Soonyoung ke dalam gendongan koala, mengangkatnya ke kamar mandi.

“Ya!”

Soonyoung mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri.

“Kau mau aku menemanimu mandi?”

Soonyoung beralih pada bathup yang terisi air hangat. Terjawab gelengan, mampu membuat Soonyoung mengernyit kembali.

“Aku memandikanmu?”

Wonwoo mengangguk.

.

Soonyoung menjatuhkan air matanya, mengusap bahu Wonwoo dengan hati-hati, ia terluka, Wonwoo terluka. Luka tembakan yang membuat Soonyoung menangis. Mengecupinya pelan, dan kembali tersedu. Wonwoo berbalik mengusap air yang mengalir di pipi yang lainnya, menggeleng mencegah untuk menangis.

Soonyoung merengkuhnya dalam dekapan, kembali menjatuhkan air mata nya untuk ke sekian kali.

“Berhenti pergi, Wonwoo... tetaplah di sini, jangan buat kau pergi, jangan buat aku pergi. Di sini bersamaku Jeon Wonwoo.”

Wonwoo mengusap surai hitam milik lelakinya pelan, menenangkan.

.

Soonyoung selalu menemani Wonwoo mangajar anak-anak privatnya, dari jauh, namun masih mampu memindai visualnya yang terlalu sempurna.

.

Soonyoung membanting pintu kamar Wonwoo, menyerahkan kertas-kertas yang baru saja Soonyoung temukan. Menatap nyalang pada Wonwoo yang sedang menyesap kopi disore harinya.

“Apa lagi maksudmu kali ini, Jeon Wonwoo?! Kau pergi, hah?!”

Soonyoung membanting paspor di depan meja yang Wonwoo tempati, matanya seakan memerah, menyampaikan betapa marah dan kecewanya ia. Air wajahnya tak tertentu, netranya bening mengkilap dengan air mata yang siap dijatuhkan kapan saja.

Wonwoo mengambil tangan Soonyoung untuk ia genggam, berdiri untuk membawa Soonyoung ke dalam pelukan, menyerahkan secarik kertas untuk Soonyoung baca.

'Aku ingin berbicara kembali, melakukan pembicaraan apapun denganmu, tidak hanya mendengarkan, tetapi aku juga ingin kau mendengarku, ingin menjadi menantu yang baik untuk mendiang ayah ibumu. Ingin mendampingimu dengan kesempurnaan, bukan dengan kekuranganku. Aku terlalu takut, dahulu. Karenamu, Kwon Soonyoung, aku ingin pita suaraku bekerja kembali, mampu memberikan kata yang pantas untuk calon suami ku. Hanya sebentar, Kwon. Bukan hanya aku, tapi kita. Aku ingin kau menemaniku. Temani aku hingga nanti aku mampu mengucap kata pertamaku untukmu.'

Bertukar deguk lara yang tak mampu dicegah. Menyelami netra masing masing yang terbanjir. Soonyoung mendekapnya, enggan melepaskan.

“A-aku akan menemanimu, sampai kapanpun.”

.

.

Perjalanan mereka tidak mudah, memerlukan banyak tahap yang Wonwoo lalui, tetapi mereka harus yakin, Wonwoo mampu memperkerjakan pita suaranya kembali.

.

Soonyoung menyuapi Wonwoo dengan bubur buatan rumah sakit.

“Enak?”

Wonwoo menggeleng, Soonyoung mencobanya dalam satu suapan.

“Hambar sekali ternyata, kau tahu? Kau harus sembuh, tagih aku agar aku membelikanmu atau belajar membuatkanmu makanan yang kau sukai.”

Soonyoung membereskan piring-piring kotor yang isinya sudah tandas. Kembali mendudukkan diri di ranjang, tepat di samping Wonwoo.

“Aku ingin kau menyorakiku saat pertama kali aku menampilkan tarianku dipentas nanti, Wonwoo. Kau akan bisa membantahku ketika aku tak sependapat denganmu. Kau akan bisa mendebatku ketika aku menyalahkanmu. Kau akan bisa membalas ucapan cintaku yang tak akan habis ku ucapkan untukmu. Kau akan sembuh, Jeon.”

Soonyoung mengusap air di ujung netra Wonwoo.

“Aku mencintaimu, Jeon Wonwoo.”

Bibir Wonwoo mengeja, mencoba melafalkan betapa ia juga mencintai Soonyoungnya. Yang ia mampu lakukan hanyalah netra mengalirkan air tanpa henti.

.

Lampu ruang operasi yang menyala masih membuat Soonyoung mondar-mandir, kinerja otaknya kosong, tak mampu memproyeksikan apapun. Tangannya menyilang satu sama lain, memohon perlindungan dan keselamatan untuk Wonwoonya. Dada kirinya berdebum tak menentu, kegugupan yang terlalu kentara.

Jun dan Jihoon ada di sana, mencoba menenangkan Soonyoung, apapun yang terjadi. Soonyoung sempat menumpahkan kekesalannya pada mereka dihari-hari yang lalu, ditenangkan dengan dekapan Wonwoo yang mencegahnya untuk mengomel. Kali ini usapan di bahu kanan dan kiri nya belum mampu membuatnya tenang. Soonyoung memilih untuk duduk di lantai, menangkupkan tangannya untuk menjadikannya bantal kening di kursi yang tadi ia duduki.

“Kalian pergilah, cari makan siang, biar aku di sini.”

Soonyoung mendongak, air mata menggenang di pelupuknya. Jihoon diam di tempatnya, mengusap mata Soonyoung yang hampir menjatuhkan airnya.

“Wonwoo akan baik, dia kuat, kau tahu itu, Kwon.”

Soonyoung mengangguk, kembali menenggelamkan diri di lipatan tangannya.

“Tunggu Soonyoung di sini, Hoon! Biar aku mencari makan.”

Langkah kaki Jun terdengar menggema.

.

Sudah hampir 4 jam dan lampu operasi masih betah untuk tetap menyala. Sedetik kemudian, lampu mereka menggelap, tersusul dua pintu yang menjeplak terbuka, mengeluarkan tandu dengan belahan jiwanya di atasnya.

“Tuan Jeon sedang beristirahat.”

Dokter berkata pada Soonyoung yang mendekat.

“Anda boleh menemaninya di kamar Tuan Jeon.”

.

Sudah dua hari Wonwoo tertidur. Soonyoung sama sekali tak mampu menggelapkan dunianya.

Satu waktu dipertengahan jam makan siang dan sore. Soonyoung membacakan buku untuk Wonwoo yang masih berbaring. Jemari Wonwoo bergerak dalam genggamannya. Netra Soonyoung melebar, memencet tombol di sampingnya.

.

Dadanya berdebum hingga mungkin tulang-tulangnya bergetar, menanti satu kata yang mungkin keluar dari belah bibir Wonwoo.

Soonyoung menelan ludahnya pasrah.

Bibir itu mencoba membuka dan mengatup, mencoba mempekerjakan pita suaranya kembali. Menemukan separuh hatinya berdiri gugup di sampingnya. Bibirnya melengkung indah,

“Kwon Soonyoung.”

Soonyoung luruh, merosot ke lantai dengan masih dalam genggaman Wonwoo, menangis meluapkan emosinya, senang, sedih, rindu, dan terharu.

Jihoon dan Jun masih di sana, berserta dokter dan perawatnya yang menatap takjub, meneteskan air mata haru.

“Hai, Kwon! Aku kembali untukmu.”

Soonyoung menelan ludahnya, mengusap air yang masih tak mau berhenti mengalir, memeluk Wonwoo dengan seluruh asa miliknya.

“Untuk 3 hari ke depan, kami akan memantau Tuan Jeon, mohon bantuannya.”

Soonyoung membungkuk, mengucapkan terima kasih dengan begitu banyak.

.

Soonyoung masih duduk di ranjang, sebelah Wonwoo, menatap takjub makhluk tuhan di depannya. Matanya berkaca, menyampaikan rindu yang tersenggak di pita suaranya. Mengusap pipi tirus, membawai rahang tegas disusul bibir pucatnya.

“Aku merindukanmu.” Soonyoung menatap netra sehitam jelaga di hadapannya, mengeluarkan apa yang tergantung dipita suaranya. Wonwoo tersenyum, mengambil jemari yang membelai wajahnya, mengecupnya.

“Jangan diam saja, Jeon!” Soonyoung berujar panik.

“Aku juga merindukanmu, Kwon.”

Soonyoung menghambur memeluknya, menyebarkan asa pada tubuh di dekapannya. Wonwoo menemukan Jihoon dan Jun di depan mereka, mengulurkan tangan untuk mereka genggam.

“Kami senang kau kembali, Wonwoo.”

Wonwoo mengangguk.

“Terima kasih sudah menjaga Soonyoung untukku.”

Jun mengangkat alisnya, “lain kali, kau harus menjaganya sendiri, Wonwoo. Kami kewalahan menjaga hamster liar sepertinya.”

Berujar main-main dihadiahi lirikan dari Soonyoung yang baru saja melepaskan pelukannya dengan Wonwoo.

“Itu salah kalian, menyembunyikan Wonwoo dariku.”

Jihoon memukul bahu Soonyoung keras, “jaga dia, jangan kau tinggal!”

Soonyoung melengkungkan bibirnya, “terima kasih menjaga Wonwoo, Jihoonnie. Aku, tidak tahu lagi harus berterimakasih dengan apa.”

“Hanya kalian saling menjaga satu sama lain, kami sudah puas.”

.

Mereka pulang bersama, mengukir kenangan yang lebih indah yang akan mereka pahat kembali.

.

Kelas 9 mereka bertemu.

.

Kelas 10 mereka mulai mengenal satu sama lain.

.

Kelas 11 Wonwoo meminta Soonyoung untuk menjaganya.

.

Kelas 12 Wonwoo berjanji selalu merengkuh Soonyoung dalam dekapannya.

.

5 tahun terombang-ambing saling mencari.

.

Di tahun ke sembilan mereka kembali bersama.

.

Di tahun ke sepuluh mereka mengikat janji untuk bersama.

“Aku mengikatmu dalam janjiku.”

Saling memeluk di bawah pohon meranggas, di lembayung senja yang menyilaukan mata, kembali mengulang ciuman pertama yang mereka bagi.

.

.

.

.

.

.

so its gonna be a really long author's note :

cerita ini aku tulis di akhir tahun 2018 sampai awal tahun 2019 untuk merayakan hari jadi snwu yang ke-9 waktu itu. aku benahi di beberapa tempat aja, hehe. aku tulis ulang karena aku lupa password, haha how stupid i am...

dan cerita ini beralur campur, maju dan mundur. mungkin banyak hal yang perlu aku jelasin, karena banyak yang tersirat dalam cerita ini.

yang aku maksud, ugh... really, im sorry, iam really bad when telling some stories, but please bear with me.

jadi, snwu ketemu di akhir smp mereka, dan sma nya juga bareng. wonwoo piatu, ortunya punya toko bunga dan satu hari ada perampok di toko depan mereka. fatalnya, ayah wonwoo tertembak dan meninggal, wonwoo juga, dia ketembak di bahunya. kenapa wonwoo bisu? dia terlalu shock sama semua kejadian hari itu. kenapa wonwoo pergi? he won't soonyoung feel sad, dia juga ngga mau soonyoung punya pasangan kaya dia yang bisu. jadi dia pergi, pindah-pindah selama lima tahun

akhirnya di tahun ke-lima dia nyerah, dia pergi, nyari soonyoung dengan bantuan jun sama jihoon yang emang jelas2 tahu gimana keadaan wonwoo dan soonyoung sendiri. i feel bad for soonyoung, he just don't know anything.. huhuhu

wonwoo tahu kalo seungcheol masih saudara sama soonyoung, dia udah bertekad, apapun nanti hasilnya, dia pengen kembali sama soonyoung. tapi, waktu dia nemu soonyoung lagi (ini di part pertama) dia kayanya cukup, buat liat soonyoung dari jauh aja.

tapi, it's a fiction and i don't like them being saparate for longer time, and yeah...

they came along together. wonwoo akhirnya berani memutuskan untuk operasi pita suara dengan soonyoung di sisinya :))

well, and the end... they will write new story of their own...

ini panjang sekali, aku tahu, dan aku merangkum ceritanya di sini. ini klise banget aku tahu banget, tapi aku masih pengen berbagi aja...

aku makasih banget sama yang udah merelakan waktunya untuk membaca cuap-cuapku ini, hohoho

thank you for passing by... happy b'day carat, even its really late...

thank you for being born... see you in a while!! :))

anyway, kindly give me some comments, maybe? @coffielicious