Daging Asap

.

Part of Kue Beras AU

.

.

.

Hari-harinya masih sangat sepi, terlampau sepi.

Seungwoo terkadang hanya duduk di balkon, menghabiskan beberapa puntung rokok, kemudian beranjak untuk tidur.

Di dalam istirahatnya yang singkat, saat ia beruntung, mungkin bisa bertemu dengan Seungyoun dalam mimpinya. Melihatnya bermain dengan Eunsangnya, tertawa dengannya.

Setelahnya, ketika ia terbangun, Seungwoo akan bergegas ke kamar mandi mengguyur dirinya sendiri dengan air dingin, mencoba meluluh lantakkan rindu yang kian meranggas dirinya sendiri.

.

.

Makan siang kali ini, ia tidak sendiri. Ada Jinhyuk, Wooseok, yang kini bertambah dengan satu balita di tengah-tengah mereka namanya Jinwoo, ada juga Minseo, mantan istrinya yang sudah menikah dengan kawan Seungyoun, Kim Woosung.

Minseo memberikan satu potong daging asap ke atas piringnya.

“Hm? Apa ini?” Seungwoo mengangkat alis.

“Lo keliatan murung banget, Woo… astaga, coba liat tuh Jinhyuk lagi konyol banget.” Minseo menunjuk Jinhyuk yang membuat taring dengan french friesnya.

Seungwoo tertawa kecil kemudian mulai memakan makanannya.

Percakapan setelahnya hanya percakapan ringan sehari-hari, saling bertanya kabar satu dengan yang lain. Seungwoo menanggapinya sesekali. Pikirannya pergi, mengandai, jika Seungyoun ada di sini, mungkin akan berbeda.

Seungwoo menghela napas, mengambil coat yang ia sampirkan pada senderan kursi, “Gue jemput Esa dulu ya, ngga ada les soalnya hari ini. Jadi pulangnya cepet.”

“Eh gue bareng boleh ngga? Sekalian mau ke café sama Jinwoo, sama laporan bulanan aja sih, Woo… ngga lama kok, sambil jalan kayanya kelar.” Wooseok beranjak untuk bersiap-siap.

“Ngga sama Jinhyuk?”

“Gue mau rapat abis ini, gue titip Wooseok ya, Woo.” Jinhyuk memasukkan botol minum milik putranya ke dalam tas.

“Oke, gue duluan ya, Seo, Woosung.”

“Santai Woo, tiati di jalan yak, salam buat Esa.”

Seungwoo mengangguk, menunggu Wooseok dan Jinwoo untuk mengikutinya.

.

.

.

Wooseok memasangkan seatbelt pada Jinwoo, berpesan agar ia duduk dengan baik di kursinya. Si anak manis itu mengangguk dan sepertinya malah berniat untuk tidur.

“Laporan yang semalem itu udah gue print biar lo ngga ngadep laptop mulu, terus ini proposal yang kapan hari lo minta, sekalian ada karyawan baru yang seminggu kemarin lo rekrut, itu ada di sini semua.” Wooseok menyerahkan satu map biru setelah duduk dengan baik di kursi penumpang.

Seungwoo menerimanya, ia simpan ke dalam tasnya, “thanks, seok. Gue ngga tau gue jadi apa kalo gue urus sendiri, haha. Makasih banyak juga, selalu gue repotin sana sini.”

“Santai aja, yang penting gaji ngalir.” Wooseok berkata main-main.

“Itu mah pasti, kalo ngga ya paling gue digebuk sama Younnie.” Seungwoo tersenyum tipis.

Wooseok diam, ingin bertanya sesuatu, namun ia telan kembali, “Esa biar sama gue aja ke café, gimana?”

“Hah? Emang ngga ngerepotin?”

“Yee, kan lumayan, biar Jinwoo ada yang jagain dan dia juga bisa main, kangen juga gue sama Esa.”

“Ntar deh, kalo anaknya mau ya boleh aja.”

“Oke, abis ini lo ada kerja?”

“Ngga, paling ke rumah sakit aja kaya biasa.”

Wooseok mengangguk, “update me everything, will you?”

Seungwoo tersenyum, “will do, Seok.”

.

.

.

Seungwoo membawa kotak makan yang tadi pagi disiapkannya, ia lupa jika sudah membuatnya.

Langkahnya pelan memasuki ruang rawat. Hela napasnya kini terdengar terlalu keras.

Ada seorang dokter dan dua orang perawat di sana.

“Oh, Tuan Han.”

Seungwoo menghampiri dan menjabat tangan Dokter Wonwoo.

“Senang melihat anda sehat seperti ini. Dan saya ingin memberi tahu keadaan Cho Seungyoun, boleh ikut saya ke ruangan biasanya?”

“Ah, ya…” Seungwoo mengekorinya dengan patuh.

.

.

dr. Jeon Wonwoo, yang selama ini membantu merawat lelakinya, duduk di kursinya, senyuman masih menghiasi bibinya.

“Anda tidak perlu gugup, saya akan menyampaikan kabar baik.”

“A-apa Seungyoun menunjukkan peningkatan?” Seungwoo berkata tak sabar.

Dokter Wonwoo mengangguk, “Ya Tuan Han, ada gerakan kecil yang dibuat oleh Seungyoun, dan dari pemantauan kondisinya semakin baik, namun untuk kesadaran, kita masih mencoba yang terbaik.”

Seungwoo mengangguk, “saya akan selalu berdoa untuk itu.”

“Ngomong-ngomong dimana putra anda?”

“Sedang bersama teman saya, Dokter.”

“Ah… baiklah, terima kasih untuk kesabaran anda, Tuan Han. Saya berharap yang terbaik untuk keluarga anda.”

Seungwoo menyunggingkan senyumnya, “terima kasih kembali, Dokter.”

Kemudian Seungwoo pamit undur diri.

.

.

.

“Hei, Younnie… ada gerakan kecil huh?” Seungwoo menelusuri jemari lelakinya, satu persatu.

“Youn mau kakak nunggin di sini, waktu Youn sadar?” Ia masih bermonolog.

“Eyy, tapi Kakak bisanya ya paling jam segini, Sayang…” Seungwoo mengubah duduknya, kini ia menghadap wajah Seungyoun secara langsung.

Ia singkirkan helai rambutnya, kemudian mulai bercerita tentang kesehariannya.

“Ya udah, jadinya Esa lagi main sama Jinwoo hari ini, kangen café juga dia kayanya… Youn, Kakak mau nunggu kamu sampe kapanpun, tapi apa ngga bisa dipercepat aja mimpi-mimpi kamu?”

“Youn, Sayang…” Seungwoo mengelus pucuk kepala Seungyoun perlahan, kemudian berhenti, pupilnya melebar ketika ia menemukan iris yang terbuka dengan perlahan.

.

.

.

.

@coffielicious