Dakjuk-
Weekend, berarti hari Seungyoun full milik Eunsang. Ini masih hari Sabtu pagi, tetapi tepukan kecil di pipinya mengganggu tidur nyenyaknya.
“Esanya pippi udah bangun.”
Suaranya serak, khas bangun tidur. Mengecupi pipi gembil putranya yang kian memerah ia usak.
Berceloteh riang, membuat Seungyoun tertawa lepas.
Jika bertahun lalu ia mengerang protes jika bangun pagi. Maka, dengan hadirnya Eunsang, membuat Seungyoun lebih rela bangun pagi. Bersyukur karena Eunsang berarti masih ada di sisinya.
Pagi mereka, biasanya akan diawali dengan Seungyoun memasak dan Eunsang yang ia dudukkan di kolam bola-bola. Diteruskan dengan mereka menyantap makan pagi.
- Seungyoun belajar banyak, terutama untuk putranya.
Belajar lebih bisa bangun pagi, membagi waktu, dan beradaptasi.
Sedangkan memasak, untunglah ia memiliki skill sedari dini. Untuk membuat biskuit atau camilan untuk Eunsang pun, Seungyoun rela begadang. -
Setelah makan pagi, Seungyoun hanya akan membiarkan Eunsang bermain dalam jangkauannya. Terkadang, ada Jinhyuk dan Wooseok yang berkunjung, juga mama Cho. Bermain dengan Eunsangnya.
Barulah sekitar pukul 9 pagi mereka beranjak mandi. Bermain dengan bebek karet seukuran kepalan tangan. Saling berciprat air dengan putranya, meski ia belum mengerti. Hanya tawa riang yang mengalun dengan nada yang Seungyoun selalu ingin dengar.
Menonton serial kartun dan mungkin mengajari Eunsang dengan mainan di sekitar mereka adalah kegiatan selanjutnya.
Eunsang sedang suka-sukanya menirukan Pippinya berbicara. Maka, Seungyoun akan bercanda dengan hal itu.
Membunuh waktu dengan Eunsang adalah satu hal, dengan banyak tawa juga canda. Seiring keajaiban yang Eunsang bawa.
Mereka akan rebah lelah di siangnya. Bersisian untuk tertidur, mengarungi alam mimpi yang berbeda untuk sejenak.
.
.
Sabtu sore, berarti jalan-jalan di taman sekitar apartemen. Bersama dengan balita-balita lain.
Eunsang sudah tampan, dengan balutan sweater hangat berwarna abu, senada dengan celananya. Dipakaikannya sepatu, ugh sepatunya mungil sekali. Seungyoun gemas.
Tak lupa beanie rajut membungkus kepala mungilnya, menyembunyikan telinga Eunsang dari suhu yang kian merendah.
Seungyoun membawanya dengan stroller, sembari menyuapkan sup untuk makan sorenya.
Taman sudah ramai, bertegur sapa dengan beberapa tetangga yang sering dilihatnya.
-
Seungyoun tidak tuli, banyak gosip simpang siur di sekitarnya.
Ada yang mengatakan ia bercerai, ada yang mengatakan ia mengangkat anak, ada yang mengatakan ia menghamili anak orang, dan lain-lainnya.
Namun ia memilih acuh. Fokusnya adalah Eunsang kali ini. Masa depannya untuk Eunsang.
Jika ada yang bertanya apakah Seungyoun menyesal? Jawabannya adalah, iya.
Seharusnya ia masih sendiri, menikmati travelling kesana kemari. Menegak panasnya alkohol di tenggorokan. Berdansa menggila di club. Bertolak pergi tak tahu diri.
Itu adalah tahun tahun lalu.
Semakin Eunsang tumbuh dan berkembang.
Menyaksikan tawanya sebagai pengobat dikala lelah dan resah. Menyaksikan setiap langkah yang Eunsang tapakkan. Menyaksikan Eunsang mengerjakan pita suaranya, yang ia dengar sebagai melodi tak tergantikan. Menyaksikan Eunsang terlelap dalam dekap, sebagai penutup hari yang selalu ia tunggu.
Kali ini, ia memilih untuk bersyukur. Sebagaimana Eunsang selalu membawa keajaiban tak terperi.
Tidak apa masa mudanya terenggut, untuk Eunsang segalanya akan Seungyoun kerahkan.
Tetapi, jika boleh memilih. Ia ingin memutar waktu. Ingin mendapatkan Eunsang dengan cara yang lebih baik, dengan dirinya yang siap, dengan seseorang yang mungkin bisa ia dekap.
Namun itu pengandaian.
Sekarang, semuanya sudah menjadi bubur. Seungyoun memilih untuk memberikannya bumbu dan lauk agar bubur itu tak berakhir sia-sia.
Yang bisa Seungyoun lakukan adalah menerimanya dengan lapang dada. Menghadapi segala hal bersama Eunsang semakin menguatkannya.
Pesan yang selalu Seungyoun bisikkan pada Eunsang di setiap malamnya adalah kalimat yang akan ia ingat.
“Pippi dengan Eunsang, bersama, menghadapi dunia.”
'Lucu, anak balita kau bisikkan demikian, Cho,' kata Jinhyuk satu hari. Ia melanjutkan,
'Pippi, Eunsang, paman Jinhyuk, paman Wooseok, dan mama Cho. Nah itu baru benar'
Seungyoun memukul bahu Jinhyuk main-main.
-
Celotehan balita dan banyak orang, masih menjadi latar Seungyoun dan Eunsang di taman.
Seungyoun masih menyuapi Eunsang dengan menunya kali ini bakso dan makaroni.
Eunsang sedang ada di fase dimana ia mau memakan apapun, kecuali buah alpukat. Entahlah.
Seungyoun memutar otak, terkadang alpukatnya bahkan ia jadikan es krim susu, jus, bahkan ia campur dengan buah-buahan lain menjadi sup buah. Tapi tetap saja ia sama sekali tidak mau.
Akhirnya Seungyoun menggantinya dengan menu lain.
Tapi kan, alpukat seenak itu.
Ya sudahlah, mungkin Eunsang memang belum mau.
Baru saja Seungyoun akan menyuapkan sesendok terakhir pada Eunsang, ia menemukan putranya dengan kepala yang terkantuk.
Ia malah diam dan ingin tertawa, astagaaa ngantuknya anak ini.
Meletakkan mangkuk sup ke bangku terdekat, kemudian membenarkan letak kepala Eunsang dalam strollernya. Menyelimutinya dengan kain berbulu lembut nan empuk, seperti pipi Eunsang.
Tak lupa mengoleskan minyak telon untuk menghalau nyamuk bandel yang akan menghisap darah putranya.
Seungyoun membereskan mangkuk yang tadi dibawanya.
Menemukan seseorang lain yang duduk di bangku, sedang memerhatikannya.
Sungyoun menahan napas, memilih untuk duduk di bangku yang sama, dengan jarak yang ingin ia buat selebarnya.
“Masih tinggal di sini?”
Suaranya kentara, tanpa getar. Masih menjadi mimpi berada di radius kurang dari 125 cm dari lelaki yang lainnya.
“Masih, Kak.”
Menemukan suaranya, mencoba untuk tetap tenang. Meletakkan mangkuk pada tatakan stroller milik Eunsang.
“Kamu, sehat?”
“Hum? Sehat lah, ga liat apa gue segagah ini? Lucu banget Kak Woo kalo pake kata 'kamu' hahaha.”
Tawanya sumbang, ia merasakannya sendiri. Ingin mengubur diri, ingin membawa Eunsang menjauh, ingin mendekap Eunsang seerat yang ia mampu.
“Masih suka nge gym?”
“Udah jarang, tapi ya masih. Kakak sama siapa ke sini? Nona Kim mana?”
Ia merasakan tatapan Seungwoo untuknya, ia memilih memainkan gantungan kunci berbentuk rubah di tangannya. Sesekali mengecek Eunsang yang masih tenang dalam lelapnya.
“Sendiri dan Kim udah naik tadi. Kebetulan liat Youn, jadi ya udah, disamperin.”
Seungyoun mengangguk mengerti.
“Ya udah Kak, gue naik dulu deh. Mau beberes.”
Seungwoo memerhatikan balita dalam stroller yang Seungyoun hampir dorong.
“Anak siapa, Youn?”
Seungyoun menoleh, menemukan netra yang masih terlalu teduh menatapnya di bawah langit sore.
“Anak gue Kak, hehe.”
Cubitan kecil ia dapatkan dalam dadanya, 'ini anak kamu, Kak Woo, anak kita' batinnya menjerit keras.
“Lu, nikah?”
“Engga, kenapa?”
“Terus?”
“Terus apa, Kak? Astagaa, gemes.”
Seungyoun beranjak dari duduknya, hampir berpamitan ketika ia mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak diucapkan Seungwoo.
“Anak adopsi?”
Jantungnya luruh, ingin sekali mengangkat tangannya untuk ia bogemkan untuk Seungwoo.
Tapi ia diam, berbalik sejenak.
“Bukan, anak gue kak. Anak kandung, gue ke atas dulu? Kasian digigitin nyamuk.”
“Youn.”
Tubuhnya limbung, seiring tarikan pergelangan tangannya oleh lelaki yang lebih tua.
Menemukan dirinya sendiri berada dalam dekapan Seungwoo, menghirup baunya tanpa ampun.
Mati-matian ia menahan tangis rindu yang ingin ia tumpahkan sebanyak yang ia mau.
“Youn, gue kangen.”
Bendungan air matanya meluruh.
Seungyoun tak ingin sama sekali membalasnya, tidak.
Jemarinya mengusap air mata yang dengan lancang ia turunkan, perlahan melepaskan diri dari dekap yang terlalu menghipnotisnya.
“Keren banget Kak Woo bilang kangen.”
Telapaknya ia angkat untuk menepuk-nepuk lengan atas Seungwoo.
“Gue duluan, Kak.”
“Lu belum jawab pertanyaan gue, Youn.”
Seungyoun tak ingin mendongak, sama sekali tak ingin menunjukkan matanya yang memerah.
“Pertanyaan yang mana?”
Seungyoun merapikan selimut milik Eunsangnya, menahannya dimasuki angin sore yang kian kencang.
“Barusan.”
“Yeee, pernyataan itu mah. Udah ah, gue masih tinggal di unit yang sama. Kapan-kapan ajak nona Kim main.”
Seungyoun hampir menepuk keras jemari Seungwoo yang bertengger di pipi Eunsang. Tapi urung, ia membiarkannya.
“Pipinya gembil banget, kayanya emang dia anak lu deh.”
“Udah dibilang kan, anak kandung gue. Kak, beneran gue balik dulu.”
Tanpa mendengar jawaban Seungwoo, Seungyoun berbalik. Berjalan tergesa, menuju unit miliknya yang terasa begitu jauh.
Sial,
“Bareng aja sih, nih gantungan kuncinya ketinggalan.”
Lift terasa begitu sempit, bau Seungwoo mengudara, seakan memenuhi rongga dadanya.
Ia tak mampu menahannya lagi, ia menangis, mati-matian menahan isak.
Tidak ketika Seungwoo di sampingnya. Tapi ia meluruh, menumpukan kepalanya pada pegangan stroler, kali ini membiarkan Seungwoo mendengar isakan miliknya.
“Youn, hei.”
Seungwoo mengelus kepalanya, pelan sekali, lembut sekali.
Seungyoun menurunkan telapak yang mengelusnya, tak ingin terlena dengan ini.
“Ga papa Kak, sumpah. Gue rada cape aja akhir akhir ini.”
Denting lift berbunyi, melihat masih ada tombol menyala merah ketika ia ingin keluar.
“Gue juga, Kak.”
Dalam satu tarikan napas, memberanikan diri mengatakannya implisit ketika pintu lift sejengkal tertutup sempurna.
Seungyoun mendorong stroller masuk ke dalam unitnya, pelan ia melangkah. Mengusap air yang keluar dari matanya, masih belum ingin berhenti.
.
.
Meletakkan Eunsang di ranjangnya, mengelus pipi Eunsang lembut.
“Esa udah dipegang loh, sama papa. Di pipi pula. Papa bilang, pipi Esa gembil. Esa kangen papa? Sama ya, kita jadinya kangen banget sama papa. Tapi sayang, Esa sama pippi aja di sini. Papa udah punya orang lain buat beliau jaga. Biar Esa di sini, nemenin pippi.”
Menciumi pipi putranya tanpa henti.
“Maafkan Pippi, hm?”
Mengecup kening Eunsang, menyalurkan seluruh cinta yang mampu ia curahkan.
Ini Eunsangnya, putranya, pelitanya, keajaibannya.
Membiarkan Eunsang masih lelap. Juga membiarkan dirinya luruh, menumpahkan asanya yang terlalu lama.
Beringsut memeluk Eunsang dari samping. Menahan kepalanya dalam lipatan lengan kanannya sendiri. Meringkuk, menekuk kedua lutut.
Mencari perlindungan diri sendiri.
Kali ini masih ingin meluruh.
Ia rindu, sangat.
Rindu suara tegasnya, yang melembut ketika mengantar dongeng ke penghujung mimpinya.
Rindu jemarinya. Yang akan mengisi kosong sela sela deriji mungil miliknya.
Rindu baunya yang memenuhi rongga dada, menenangkannya.
Boleh ia menyesap sisa yang tertempel di fabriknya? Boleh ia berharap? Masih bolehkah ia merindukannya?
Degukannya berhenti, terlelap dalam lelah, terlelap dalam rindu yang belum mampu ia utarakan dengan sempurna. Terlelap dalam fana yang bahkan masih terlalu kejam untuknya.
.
.
©coffielicious