Dua Puluh Satu

.

HeeHoon AU – Part of HHB Festival

School life, Family, Non Baku Conversation, Flaffeh Ball heehoon.

.

.

.

Rangkaian penilaian akhir semester 1 baru saja berakhir.

Sunghoon, siswa kelas 11 IPS 3 yang kini sedang mengacak rambutnya frustasi.

Besok adalah hari ulang tahunnya, tetapi ia masih harus menjalani berbagai ujian remedial yang diberikan oleh guru pengampunya.

“Sunghoon, sejarah ada di jam ke-dua esok hari. Saya dengar kamu juga remidial untuk matematika.” Pak Wonwoo membenahi kacamata bundar milik beliau.

“Iya, Pak.” Sunghoon mengangguk lesu.

“Kapan class meeting akan dimulai?”

Sunghoon memiringkan kepala heran, perasaan tadi sedang membicarakan remidial, “tanggal 10, Pak.”

“Oke.”

Sunghoon mengangguk, mempersilahkan Pak Wonwoo untuk pergi terlebih dulu.

“Oh, Sunghoon.”

“Iya, Pak?”

Pak Wonwoo memberikan kunci motor padanya, “pulang sendiri dulu, nanti Papa pulang bareng ayahmu.”

Sunghoon mengerucutkan bibir, “apaan pasti mau kencan.”

Pak Wonwoo menepuk ujung kepala putranya yang akan beranjak menghabiskan masa remajanya, “ada uang di kantong stnk-nya tuh.”

Sunghoon nyengir, “makasih, Papa.”

“Belajar tapi buat remidial besok, bisa-bisanya ngulang mapel papamu.”

Sunghoon tak menjawab, hanya mengecup pipi papanya dan berlalu pergi.

.

.

“Baru mau pulang, Hoon?”

Sunghoon menoleh setelah menutup pintu lokernya, “eh, iya Kak, tadi pembagian yang buat class meeting.”

Lelaki yang tadi menanyai Sunghoon mengangguk, “hm... mau bareng?”

“Eh...?” Sunghoon menggaruk rambutnya yang tidak gatal, ia mainkan kunci motor di tangannya, “maaf Kak, harus bawa motor papa pulang...” katanya tak enak hati.

“Wah, belum ada kesempatan berarti ya.”

Sunghoon tersenyum canggung.

“Kebagian apa besok class meetingnya?”

Mereka beriringan berjalan menuju parkiran sekolah.

“Badminton sama makan kerupuk, kalo Kak Heeseung?”

Lelaki itu ternyata bernama Heeseung.

“Mayan ya... Aku badminton juga, disuruh sama futsal tapi ngga mau.”

Sejak pertama saling mengenal, mereka menggunakan aku-kamu sebagai kata ganti, tetapi berbeda saat berada di sekitar gengnya, entahlah.

“Wah, ada chance buat lawan satu sama lain kali ya, Kak.”

Heeseung menoleh, “taruhan yuk!” Usulnya tiba-tiba.

Sunghoon mengerutkan kening, “apa?”

“Yang badminton.”

“Oke apa, Kak?”

“Kalo aku menang, kamu antar jemput aku sebulan di semester 2 dan sebaliknya.”

Sunghoon menelengkan kepala, rumah Heeseung, terletak lebih jauh dari sekolah daripada miliknya, ia harus ke barat terlebih dahulu, kemudian kembali ke timur. “Hm... Enak di Kakak donk, ngga perlu puter balik.”

“Kalo gitu, apa?”

“Eh tapi, kalo Kakak menang, aku antar jemput sebulan di semester 2, kalo aku menang...”

“Apa?” Heeseung bertanya karena Sunghoon berhenti.

“Belum kepikiran, Kak.”

Mereka melanjutkan langkah.

“Yaudah, kalo udah kepikiran, bilang.”

Sunghoon mengangguk.

.

.

Hanya tinggal beberapa kendaraan di halaman parkir yang kini mulai kosong. Sunghoon naik ke bagian parkir guru untuk mengambil motor papanya. Sebelumnya, ia mengabari bahwa ia akan mulai berjalan pulang.

“Sunghoon.”

Sunghoon menghentikan laju motornya di samping Heeseung yang ternyata masih berhenti di ujung jalan.

“Apa Kak?”

“Aku di belakang kamu, ayo jalan.”

Dan Sunghoon membiarkan lelaki yang ia taksir sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini mengawalnya.

.

.

“Tadi dianter siapa, Sayang?” Itu ayahnya, membawa satu gelas coklat hangat untuk menemani Sunghoon membaca bukunya.

Sunghoon mengulet sedikit, “ih, Ayah tau dari manaaa?” mengambil gelas dari tangan ayahnya.

“Ayah kan liat.” mendudukkan diri di kasur milik putranya.

“Kenapa ngga jadi kencan sihhh?”

“Besok kamu remidial soalnya.”

“Astaga, besok aku ultah padahal, ini kadonya ujian ulang mapel papa yang ada,” bersungut.

“Haha, ngga lupa kalo besok ultah Kakak. Masih pengen apa?”

Sunghoon menerawang, “beliin motor buat sendiri aja, boleh ngga?”

“Nanti bilang papamu, okay?”

Sunghoon mengangguk, “Yah?”

“Hm?”

“Ayah keberatan ngga kalo Sunghoon sama kak Heeseung?” Sunghoon bertanya pelan.

“Heeseung yang sering kamu ceritain itu ya?” ayahnya menepuk sisi kosong di kasurnya, meminta Sunghoon untuk mendekat.

“Iya... yang nolongin Sunghoon waktu kena bola basket itu.” Sunghoon menempatkan diri di samping ayahnya, meminta bantalan lengan.

“Ayah ngga keberatan.” ujarnya sembari mengusap pucuk kepala Sunghoon.

“Tapi, Yah... Sunghoon kaya serakah banget ngga sih? Udah dapet cinta yang cukup dari papa, ayah, adek... ini Sunghoon masih pengen sama kak Heeseung juga.” merapatkan diri, membiarkan netranya hampir tertutup.

“Cintanya beda, Sayang... nanti kamu bakal tahu, sekarang, yang penting kalau Sunghoon yakin dia rasa buat kamu, ya trabas aja.”

Sunghoon tersenyum, “Ayah bobo sini sama Sunghoon, biarin papa sendirian.”

Ayahnya terkekeh kecil, melanjutkan membelai rambut Sunghoon hingga memastikannya memasuki alam mimpi.

.

.

Remidialnya berjalan lancar, meski beberapa kali papanya melirik Sunghoon.

Yang membuat terkesan hari ini... sebenarnya ada dua, yang pertama, ayah dan papanya memberinya kejutan pagi tadi. Memberinya selamat ulang tahun dan benar-benar diberi hadiah motor. Kemudian, teman-temannya yang juga menghujaninya dengan hadiah, tidak lupa sedikit kejahilan mereka.

Sunghoon menenteng satu kardus berat berisi hadiah miliknya dengan susah payah. Ia hampir saja menabrak seseorang di tikungan menuju tangga, sebelum satu suara menyelamatkannya.

“Hoon.”

Sunghoon berhenti.

“Sini aku bawain, repot banget kayanya.”

Dan siapa Sunghoon mampu menolak, “makasih, Kak.”

“Pulang sendiri?”

Sunghoon membawa bagiannya yang sudah dibagi dua, “sama papa.”

Heeseung mengangguk mengerti, “Hoon.”

“Ya?” ia menapak tangga dengan hati-hati.

“Hadiahnya, nunggu setelah class meeting selesai, ngga papa?”

“Hah? Hadiah apa?”

“Ultah kamu.”

“Haha, ngga usah dipikirin kali, Kak.”

“Ngga dipikirin juga kamu udah menetap kok.”

“Hah?”

“Ngga. Tuh Pak Wonwoo.” Heeseung menunjuk dengan dagunya.

“Iya... makasih, Kak.”

“Sama-sama.” katanya sembari menyalami guru sejarahnya, juga berpamitan undur diri.

.

.

“Oh, itu yang bikin kamu sabotase ayah semalem.”

“Apaan sabotase?” Sunghoon melirik.

“Udah sana naik, ayahmu nitip ke bakery.”

Sunghoon menuruti papanya.

.

.

Class meeting hari ini berlangsung meriah, dibuka dengan apel pagi dan sambutan kepala sekolah, dilanjutkan dengan berbagai lomba untuk diikuti dan disaksikan.

Lomba pertama, memasak antar kelas, lomba ini mengharuskan setiap siswa ikut serta. Karena lomba ini cukup memakan waktu, jadi lomba berikutnya akan diteruskan esok hari.

Lomba ke-dua di hari berikutnya, ada lomba kelompok kecepatan, ketangkasan, dan kecerdasan. Ini seru karena akan ada banyak sekali hal-hal menarik, seperti memasukkan bola ping pong ke dalam galon dengan bambu, melewati gelas kertas dengan mata tertutup, dan cerdas cermat. Banyak sekali suara dan tawa, Sunghoon menikmatinya.

Badmintonnya dilaksanakan di hari ke-tiga. Ia akan melawan 10 IPA 3, di babak pertama.

Lawannya, seimbang, karena cukup tangkas untuk bermain. Menerima servicenya dengan baik, dan gesit. Hampir saja meleset, namun Sunghoon maju ke babak berikutnya.

Di lain tempat di waktu yang sama, ada beberapa lomba lain yang sedang berlangsung, Sunghoon menengok sebentar sambil beristirahat.

Lawan kedua dari kelas 12 IPS 1, lawannya agak mudah karena berkali-kali oleng, Sunghoon sempat membantunya berdiri di akhir permainan.

Kemudian, lawan terakhirnya... Heeseung, 12 IPA 1.

“Siap, Hoon? Udah kepikiran apa yang dimau?”

Sunghoon tersenyum, “nanti aja, Kak.”

Heeseung mengangguk dan mulai pemanasan.

Koin jatuh pada bagian Sunghoon, ia membuat service pertama begitu baik, bergerak gesit mengejar shuttlecock dan meraih skor berkejaran dengan Heeseung.

Hampir, skornya sudah dua puluh, ayo satu lagi.

Tetapi tidak, Sunghoon jatuh terjerembab karena tersandung kakinya sendiri.

Beberapa siswa berhambur menolong. Lututnya berdarah, kakinya terkilir, dan sikunya pun tergores. Segera saja ia dibawa ke UKS untuk mendapat penanganan.

Heeseung muncul setelah lukanya sudah diobati, membawakan air hangat untuknya, “maaf, tadi beresin perlombaan dikit.”

Sunghoon mengangguk, “aku kalah ya, Kak?”

Alis Heeseung naik sebelah, “skornya udah beda 4 angka, dan waktu kamu jatuh, itu masuk kok. Jadi kamu menang, skor kamu dua puluh satu.”

“Ini Kakak ngga ngalah kan?” selidiknya.

“Mana mau aku ngalah, Hoon. Kamu mainnya bagus.”

Sunghoon merasakan wajahnya memanas.

“Terkilir katanya?” Pak Wonwoo masuk setelah mengetuk pintu UKS.

Heeseung menyingkir dari tempatnya berdiri, hampir saja ia keluar.

“Di sini saja, Heeseung. Boleh kan saya minta temani anak saya?”

Heeseung mengangguk kaku.

“Udah baik kakinya?”

Sunghoon mengangguk, “udah, Pa.”

“Papa tinggal ngga papa?”

Seunghoon mengangguk lagi.

“Anak saya, dijagain ya, Heeseung. Asal jangan lupa belajar juga.”

Heeseung mengangguk kaku. Berdiri diam beberapa saat meski Pak Wonwoo sudah hilang dari pandangan.

“Maaf, aku cerita tentang Kakak ke ayah sama papa. Kalau Kakak ngga nyaman, aku bakal bilang sama mereka.”

Heeseung akhirnya mengerjab, “Hoon, coba apa permintaan kamu kalo kamu menang?”

Sunghoon mengambil jari Heeseung yang menganggur, “Kakak jadi pacar Sunghoon.”

“Hah?” Heeseung mengedip cepat, “ngga salah? Bukannya kamu pacaran sama Samuel anak kelas sebelah?”

“Gosip dari mana sih?”

“Ngga penting, tapi, enak aja kamu yang nembak aku. Emang yakin aku suka kamu?”

Sunghoon berjengit pelan, “oh, Kakak udah ada pacar?”

“Udah,” ucapnya tergantung.

Sunghoon menunduk.

“Ini sekarang lagi mainin jari aku.”

Dan Sunghoon mencubit lengan Heeseung. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari kupu-kupu yang beterbangan di perutnya.

.

.

“Anjir, lawan lo Sunghoon. Dah alamat kita ngga dapet kejuaraan di badminton, guys.”

Heeseung mengerling pada Beomgyu, teman sekelasnya.

“Gantinya, lo beneran harus nembak dia, Hee! Awas aja engga.”

.

.

kkeut

@coffielicious