겨우
On going -
겨우 (gyeou adv ; barely)
Heehoon AU
TW // nsfw (implicit), mention of suicide, accident, blood, post traumatic accident,
- Friend to lovers to ex to partner to lovers
- Slowburn
- Fluff, Hurt, Comfort
- Domestic, Work life
- Non Baku conversation
- Including some poet
- Slight// hetero couple. Sunghoon and Yulhee, Jake and OC.
- Some slight couples ; jaywon, sunki, soonwoo (as sunoo parents)
- please do tell me if there are some tw left. ;)
Mereka dan masa remaja.
Menemukan satu sama lain, adalah hal yang paling mereka syukuri. Saling berbagi, dan mencintai.
Seluruhnya indah, jauh dari nestapa ketika mereka mengenyam cinta remaja dengan seluruh asa yang ada.
Tawa mereka, menjadi melodi setiap langkah yang mereka jangkah.
Meski tak lupa beberapa tukar kata mereka debatkan, untuk saling memeluk meminta maaf kemudian.
Menjajal segala hal untuk pertama kali, bagi mereka.
Dari kecupan ringan di balik telinga, hingga desah untuk menuju surga dunia.
Semuanya, adalah bahagia.
.
.
Mereka beranjak di kepala-dua.
Masih bersama membunuh suasana, bergandeng jemari yang tak patah.
Bermimpi tentang esok hari yang akan mereka lalui tanpa ilusi.
Mencintai seluruh presensi satu sama lain setiap hari.
Mereka masih, bahagia.
.
.
Satu tahun berlalu tanpa terasa.
Salah satu diantara mereka terjatuh dengan sengaja.
.
.
“Liat, muka kamu jelek banget kalo luka begini.” Heeseung menyeka darah di ujung bibir milik Sunghoon perlahan.
“Maaf,” ia menunduk, namun dagunya kembali terangkat karena Heeseung menahannya.
“Jangan. Mau cerita ngga kamu kenapa?” Heeseung beranjak, mengambil satu gelas susu untuk diberikannya pada Sunghoon.
“I talked to my parents.” Ia meminum susunya seteguk.
“About what?”
“Us, and this is what i got.” tunjuknya pada luka-lukanya.
Heeseung meraih kedua tangan Sunghoon perlahan, hangat, “ngga ada restu buat kita ya, Pumpkin?”
Sunghoon menunduk, “bawa aku pergi ya, kak? Janji bakal nurutin semua mau kakak.” kali ini mendongak, netranya berkaca-kaca. “mau Kakak, mau sama Kakak.“
Jemari Heeseung kini terangkat, mengusap air mata yang mengalir di pipi pualam milik cintanya, senyumnya teduh, “kalau kakak bilang, kakak ngga mau, gimana Pumpkin?”
“Entah,” kediknya, “suicide?” katanya ragu.
“Jahat berarti sama diri sendiri, sama aku, sama keluarga kamu, sama orang orang yang sayang sama kamu.” Heeseung membawanya ke dalam pelukan, “jangan berpikir begitu lagi ya, Pumpkin.”
“Iya,” angguknya dalam pundak yang selalu menjadi sandarannya.
“Kalau gitu, kita sampai di sini?” dengan tenang ia berkata.
Sunghoon menyentak dan berdiri, “Apanya yang sampe di sini!?!” ia murka.
“Kita, Sunghoon.”
“Liat! Bahkan kamu udah ngga panggil aku Pumpkin lagi. Sebenernya kamu cinta aku engga, Kak? Sebenernya aku siapanya kamu selama ini?”
Heeseung tidak menjawab.
“Jawab kenapa sih? Bisa kan Kakak jawab aku!!”
Heeseung kembali membawa Sunghoon mendekat, ia genggam kedua tangannya, ia bawa dalam kecupan yang sama sekali tidak mampu Sunghoon hindari, “kamu,” ia tatap maniknya perlahan, kasihnya yang tak sampai, “kamu mimpiku, Pumpkin. Buat sekarang, aku mau bangun ya, biar kita hadapi realita.”
“Realita bullshit!” Sunghoon menjatuhkan diri ke dalam pelukan Heeseung, tak ingin melepaskan diri.
.
.
Pada akhirnya, Heeseung mengantarnya. Dan ia tidak kembali.
Ia tidak kembali.
“Maaf, cintaku hanya sebesar ini.“
.
.
Diusianya yang menginjak dua puluh dua, ia pergi dalam kelana. Meninggalkan mimpinya, untuk ia lepas bahagia.
Nestapa menghampirinya, di penghujung senja yang pernah mereka lalui bersama.
Langkahnya tegar, memunggungi masa lalu untuk ia kubur bersama sembilu.
Yang ia tahu, ia masih dan akan selalu mencintai lelaki yang kini tak lagi dalam gandengan deriji.
Orang tuanya menepuk pundaknya, menguatkannya, “belajar yang rajin. Papa sama mama kapan-kapan main ke Heeseung, okay my Lil Bambi?”
Heeseung tersenyum kecil dengan panggilan mamanya, “harus ngga sih, Ma? Biar ngga Heeseung yang pulang.” ia bawa wanita hebat yang membesarkannya ke dalam dekapannya.
“Jangan lupa kabari kalau sudah sampai.”
“Siap, Pa!”
Dan pada waktunya, Heeseung beranjak.
Tungkainya ringan, ia bawa langkahnya menjauh dari segala hal yang membuatnya luruh.
Sampai jumpa, masa remaja.
.
.
.
Kehidupannya baik-baik saja. Kuliah sedari pagi sampai siang hari, kemudian ia lanjutkan bekerja part-time hingga tenggelamnya matahari.
Sesekali, ia akan menyewa sepeda untuk berkeliling di waktu senggangnya.
Sesekali pula ia beranjak dari zona nyamannya, berjalan mengitari kota di negara orang yang ia tinggali.
Terkadang ia akan bertemu dengan nenek penjual susu di ujung jalan. Kemudian teman-temannya yang beragam.
Setidaknya tiga tahun ini, ia mampu memejamkan mata untuk beristirahat ketika lelah.
.
.
Heeseung menghentikan sepedanya di trotoar, menikmati pemain violin yang sedang menunjukkan bakatnya di pinggir jalan.
Violinnya merdu, Heeseung teringat satu temannya yang pandai bermain violin. Ia tersenyum, apa kabar ya, mereka...?
.
.
.
Ia menginjak dua puluh lima ketika menggenggam satu undangan. Mengukir dua nama di kain beludrunya yang dengan apik bersandingan.
Park Sunghoon & Seo Yulhee
Ia terduduk di sofa ruangannya, ternyata paket yang tadi ia buka berisi undangan ini. Hela napasnya terdengar lebih lama dari biasanya.
Ia yakin, ia mampu memaafkan, tapi ia tidak pernah mau untuk melupakan.
“Udah jemput bahagia kamu ya, Pumpkin?” senyumnya, tidak sampai di netranya.
.
.
.
“Pesawat aku landing pagi, Ma. Kan mau dijemput Abang, jadi Mama ngga usah ikut dulu. Ketemu di rumah aja, okay?” Heeseung membenahi ponsel di telinga kanannya.
“Udah, ini udah mau masuk, Heeseung tutup dulu ya? See you tomorrow, Ma.”
Ia kantongi telepon genggamnya, untuk bersiap pulang.
Ia pulang.
.
.
Sekembalinya ke tanah kelahiran, Heeseung disambut ramai oleh kerabat dan sahabat-sahabatnya.
Ia menyesuaikan diri secepat mungkin.
Ia rindu, semuanya.
.
.
Tanggal yang tertera di undangan kian dekat. Ia harus mempersiapkan diri.
“Lo tau kan, lo ngga harus dateng.” Jay menoleh dari tempat duduknya.
Mereka bertemu setelah sekian lama, dan hari ini Jay bertandang ke rumahnya.
Meminta oleh-oleh, dalihnya.
“Gue dapet undangan, Jay. Yakali gue ngga dateng.”
“Kalo dateng mau sama siapee?”
“Ya sama lo, kan bisa.”
“Ogah, gue dah ada pacar, cari sono lo.”
“Ah lo mah!” Heeseung mendorong-dorong kursi Jay dengan kakinya.
“Heh, anteng.” Jay beranjak, kini merebah di kasur Heeseung dengan leluasa, “lo beneran masih se-jatuh itu sama dia ya, Bang?”
Heeseung ikut mendaratkan punggungnya, kepalanya ia sangga dengan kedua lengannya, “ini hopeless romantic, tapi dia mimpi gue, Jay.”
Jay tidak menjawab.
“Gue sama dia punya mimpi, tapi dunia punya norma. Seenggaknya, mimpi itu yang bikin gue berani melangkah, dan gue di sini sekarang.” Heeseung menoleh, “lo sendiri gimana, punya dua ayah?”
Jay tersenyum, “seru,” ia terkekeh, “kalo berantem juga seru, tapi gue tau ayah sama papa sama sama sayang.”
“Lo masih kontak Jake ngga sih? Ajak aja jadi plus one lo.”
Heeseung nyengir, “ngga enak ah, udah punya istri bukannya?”
“Belom anjir, baru ge tunangan, Bang.”
“Ya tetep aja.”
“Apa mau cewe? Ada kok cewe yang easy going gitu, beneran dah.”
“Ngga usah, Jay. Gue ajak sepupu gue, udah kongkalikong juga.”
“Sunghoon tau kalo yang lo ajak sepupu lo, Bang?”
”... tau ...”
“Yaelaahhh, makin sedih aja lo gue liat-liat.”
“Apasihhhh!!!! Mending lo enyah dari kamar gue.” Heeseung menendangnya hingga Jay terjerembab ke atas karpet di kamarnya.
“Gila lo, Bang! Sakit ini punggung gue.” aduhnya.
.
.
.
Kembali mematut dirinya sendiri di depan cermin, menepuk pundak kiri jas marun yang ia kenakan.
Ia hela napasnya kesekian kali.
“Sayang udah siap?” itu mamanya.
“Udah, Ma.”
Kemudian beranjak, menyambar satu kotak kecil sebagai kado untuk mempelai.
.
.
Langkahnya terhenti di ujung tangga, ingin rasanya ia kabur dari realita.
Namun ia di sini, sudah rapi, sudah menyiapkan mental sedari pagi.
“Mau pulang aja, Kak?” itu Sunoo, sepupu yang Heeseung ajak untuk menemaninya.
“Ngga Sunoo, sebentar ya.”
Dengan sabar, Sunoo menunggunya hingga ia siap.
“Yuk,” tangan kirinya ia ulurkan.
Mendapat sambutan lebih baik dari Sunoo kemudian. Sunoo mengapit lengannya, dan senyumnya yang merekah, menenangkannya.
.
.
.
Hall hotel tersulap menjadi tempat yang begitu mewah dan anggun. Bunga dimana-mana. Warna dan semerbaknya yang membuatnya mendekat dengan sengaja.
“Apa, Kak?” Sunoo melongokkan kepalanya.
“Bunga peony, sama baby's breath nya bagus.”
Sunoo mengangguk, “cari tempat duduk yuk.”
Heeseung mengikutinya, “kamu sama Riki gimana, Noo?”
“Baik, kami baik, Kak. Kapan-kapan aku ajak main ke tempat kakak deh, kalau boleh.”
“Ya boleh, calon sepupu ipar masa ngga boleh.”
“Ih apasih, Kak.” pipinya bersemu merah, Jeon Sunoo ini, lucu sekali.
“Ayahmu di sini juga ngga sih, Noo?”
“Iya, sama papa. Itu,” tunjukknya pada dua orang lelaki yang bersandingan di meja seberang.
Heeseung mengangguk, kemudian netranya mengedar.
“Heeseung ya?” suaranya lembut, keibuan dan membuat Heeseung menoleh.
“Eh, iya... Tante,” gugupnya.
“Bunda aja, kaya dulu kan?” senyum yang menghiasi bibirnya tak pernah luntur, “apa kabar, Sayang?” kali ini mendudukkan diri di hadapannya.
Masih seperti dulu. Wanita lembut yang mirip dengan mimpinya, masih seperti dulu. Anggun dan bersahaja, penuh kasih dan cinta hangatnya.
Masih seperti dulu.
Heeseung tersenyum, “saya baik, Bunda. Bunda gimana?”
“Baik kok, kamu tambah ganteng ya,” perlahan beliau usap ujung rambut Heeseung dengan kelembutannya.
“Masih kaya dulu kok, Bunda.”
“Anak baik, Bunda ke sana dulu ya, nanti kalau Heeseung ada sedikit waktu, Bunda pengen ngobrol sama Heeseung, boleh?” pamit beliau.
“Heeseung usahakan, Bunda. Makasih nyapa Heeseung di sini.”
“Tapi kalau terburu juga ngga apa. Bunda seneng liat Heeseung lagi, sehat-sehat ya Sayang.” dan wanita itu beranjak.
Beberapa pasang mata memandangnya, Heeseung mengacuhkannya dengan sengaja.
Sunoo masih diam di tempat duduknya, memperhatikan MC yang sedang membacakan susunan acara hari ini.
.
.
Hingga pada saatnya, harus menyalami penggelar resepsi.
“Ngga usah naik yuk, Kak. Mau langsung makan aja.” Sunoo jelas-jelas bersungut yang kemudian disenggol oleh papanya.
“Heh, Kakak.” itu papa Sunoo, yang mengingatkannya, “kalo Sunoo ngga mau sama Paman aja ayo, Kak Hee.”
“Iya, Paman,” Heeseung tersenyum menepuk jari Sunoo di genggamannya, “mau nemenin Kakak naik, ngga?”
Sunoo melirik, Heeseung mencubit pipinya pelan.
“Sakit, Kak! Sukanya nih cubit-cubit!” Cemberutnya masih terasa, “ayo naik, nanti kalo kakak yang di sana macem-macem aku bogem aja.”
“Mana ada,” gelengnya.
“Ya ada, coba siapa yang bikin Kak Hee ngga pernah tidur, liat kantong matanya, hiiiii ngeri.”
“Sok tau kamu, bocil.” Heeseung kembali mencubitnya, sasaran kali ini, hidung mancung Sunoo hingga memerah.
Sunoo membalasnya dengan mencubit pinggang Heeseung hingga ia mengaduh.
.
.
.
Jika digambarkan, mungkin waktu dalam benak Heeseung terasa seperti slow motion. Seakan semua yang terproyeksi dalam netra memudar, terpusat pada satu sosok lelaki terbalut tuksedo hitam dengan gagah.
Senyumnya yang berharga, pipinya yang naik, kelopak maniknya yang menyipit, tak lupa konstelasi yang terbentuk begitu indah dalam pandangnya.
Heeseung melihatnya, melihat mimpinya dengan mata kepalanya.
Empat, hampir lima tahun mereka tak bertukar sapa. Kali ini dipertemukan di antara ratusan manusia.
Halo, bahagiaku.
.
.
.
Sunghoon membeku, genggaman tangan pada gadisnya kian mengerat. Kelerengnya seakan menyengat dengan setelan marun yang dikenakan lelaki yang kini menghampirinya.
“Hey, happy wedding.” suaranya masih semerdu dulu, seperti kicau burung saat pagi hari. Memberinya nostalgia yang menghantamnya begitu kuat.
“Terima kasih, Kak Heeseung kan ya? Makasih nyempetin dateng ya, Kak.” gadisnya mengambil alih suaranya, “baru pulang dari Belanda ya, Kak?”
“Udah sebulanan ini kok. Makasih juga ngirim undangan sampe sana.” Heeseung menyalami keduanya.
Sunghoon terpaku ketika satu lengan melingkari pinggangnya dan satu kalimat menyapa telinganya dengan halus.
“Bahagia ya, Pumpkin. Maaf, cintaku yang cuma sekecil itu buat kamu.” ia tepuk pelan punggung yang dulu selalu menjadi sandarannya, “so i guess it's a good bye to my dream then. Sampai nanti, Mimpiku.”
Setelahnya Sunghoon tidak ingat apapun lagi. Kepalanya riuh rendah, setiap ada kesempatan, obsidiannya ingin mencari lelaki yang tadi mengucap di telinga kiri bagai ilusi. Namun, ada tangan lain yang menyadarkannya. Bahwa ia sudah berbeda.
Semuanya, telah berbeda.
.
.
Jika menilik masa remajanya, Sunghoon adalah lelaki paling bahagia. Ia dengan keluarga harmonisnya, dengan bunda yang selalu mendukungnya, dengan ayah yang selalu menguatkannya, dan bertambah dengan seorang lelaki yang menghidupkan seluruh mimpinya, Lee Heeseung.
Yang kini menjadi kilas baliknya.
.
.
Ia tidak tahu, apa yang merasukinya waktu itu. Ia mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya dengan Heeseung, dan ketika ia mengatakan alasannya, stau tamparan dan satu tonjokan dari ayahnya diterimanya dengan telak.
“Aku mencintai kak Heeseung, Yah...”
Bundanya segera melerai putra dan suaminya, ada bulir mutiara mengalir di pipi pualamnya.
Dengan cepat Sunghoon berdiri dan berlari.
.
.
Ruang tidurnya berantakan, semuanya tidak ada pada tempatnya. pintu lemari yang terbuka, memuntahkan isinya, buku yang terobrak abrik, vas bunga yang pecah, dan tetesan darah.
Sunghoon berteriak, hingga suaranya seakan habis tertelan, kemudian terjatuh menangis, membiarkan otaknya kacau, dan tertidur karena lelah.
.
.
Ia terbangun, merasakan nyeri di tangannya, dan sudah berada di salah satu ranjang rumah sakit. Lengan kirinya diperban, dibebat kencang.
“Sayang, mau minum?”
Sunghoon menoleh, bundanya ada di sampingnya. Membelai kepalanya pelan. Beranjak sejenak untuk membantu Sunghoon meminum air putihnya.
Termenung menatap langit-langit ruangan yang tak berhias.
Biasanya, ia akan menghabiskan malam dengan melihat bintang dan bulan. Ditemani Heeseung yang bernyanyi di sampingnya, yang selanjutkan akan ditegur oleh Mama Lee karena sudah larut dan berisik.
.
Sunghoon masih terjebak, oleh semua yang seharusnya masih bisa ia lakukan, bersama masa depannya.
.
Ketika musim telah berganti, Sunghoon masih menjadi dirinya sendiri, namun dengan tekad yang tak lagi seperti yang pernah ia lalui.
Ia bertemu Yulhee di akhir masa studinya, ia yang kesulian merangkai kata untuk thesisnya. Sangat terbantu dengan bagaimana Yulhee memberinya arahan.
Hingga di musim yang sama setelah mereka bertemu satu tahun lalu, Sunghoon memantapkan hatinya untuk berlabuh. Menjalani kehidupan sebagaimana seperti seharusnya.
Ayahnya menyambut baik. Ada begitu banyak masa diam untuk mereka, namun kini sudah teratasi dengan mudah.
Bundanya tersenyum disatu waktu.
“Kak?”
“Iya, Bunda?” Sunghoon memutar kursi kerjanya, mengangkat alis pada wanita cinta pertamanya.
“Kak Heeseung di Belanda, kalau Kakak mau tau.”
Sunghoon mengangguk, memainkan pulpen di jari-jarinya, memutarkannya, “Kakak tau, Bun. Kenapa?”
“Mau diundang?”
Sunghoon mendongak, “iya, dia masih temen aku juga kan.”
Bundanya membawa kepala Sunghoon untuk ia sembunyikan dalam dekapannya, ia belai surai masainya, “bahagia ya, Kak?”
Sunghoon mengangguk, menyembunyikan kalut yang menghampirinya.
.
.
Hingga saatnya yang tak ia sangka, menemukan lelaki gagah yang dulu selalu menjadi hujan meteornya.
Membisikkan kata demi kata yang membuatnya tahu, ia harus hidup.
Sampai jumpa, Bahagiaku
.
.
.
Pagi harinya selalu damai, meski terkadang ia ribut untuk sekadar mencari aksesorisnya.
“Kaos kaki aku mana ya?”
“Di laci kedua samping lemari putih, Sunghoon!” teriak istrinya dari dapur.
Dan berbagai celotehan lainnya.
Di tahun kedua pernikahan mereka, satu kabar menambah seluruh kadar kegembiraannya.
Di tahun ketiga, satu bayi mungil mengerjabkan mata, hadir ke dalam dunianya.
“Park Seunghee, namanya Park Seunghee.” rekah senyumnya, tak pudar di sepanjang hari itu.
Semuanya, sempurna.
.
.
.
“Nanti jemput di depan kantor kaya biasa?” Yulhee mengecup pipi Sunghoon.
“Iya, hati-hati, jangan ngebut. Bawa Seunghee dan kamu selamat, okay?”
“Roger that, Captain!”
“Hei! Apa-apaan. Hahahahaha.”
Tawa mereka menjadi bahan tontonan putri semata wayang yang kini beranjak empat tahun.
.
.
.
Sunghoon memeluk dirinya sendiri, kedinginan.
Malam kian larut, tetapi istrinya belum sampai di depan kantornya, mungkin macet karena hujan sedari sore yang belum reda.
Ia tunggu istrinya di halte, memandangi lalu lalang yang kian surut.
Gerimis membuat suara di atap halte terasa kian menipis.
Hingga decitan di ujung jalan menyentaknya, disusul dengan runtutan tabrakan lain yang mengekorinya.
Kini jalanan ramai, ada banyak body mobil beterbangan, isi truk yang tumpah ruah, kemudian anyir darah.
Sunghoon berlari cepat, ia gemetar, menemukan satu mobil putih terguling tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sirene ambulan dan polisi datang tak lama kemudian.
Keadaan kacau, seseorang menghampirinya, mengaku sebagai wartawan, meminta berbicara sebagai seorang saksi.
Sunghoon tidak menggubris, ia dobrak pintu mobilnya, menemukan istrinya berlumur merah di kursi kemudi, dan putrinya yang terjepit di belakang.
Sunghoon berteriak meminta pertolongan, seluruh badannya dingin, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri.
Ia bawa istrinya dalam dekapannya, “Yulhee, Sayang, kamu di sana?” air matanya ia tahan, ia tak ingin melihat istrinya menangis.
“Kamu nunggu lama ya, Hoon?” terbata, istrinya mengucapnya dengan terbata, satu napas tergantung dalam tenggoroknya, “hidup ya, kamu harus bahagia.” dan tangan yang mengusap pipinya terkulai lemas tidak berdaya.
Ia bereriak, meraung memanggil Yulhee yang kini tiada.
Dunianya lebur.
.
.
“Istirahat, Sunghoon. Seunghee udah baik-baik aja. Liat kantong mata kamu.” Dokter Wonwoo menepuk pundaknya, kemudian berlalu.
“Dokter, apa... apa saya boleh menengok istri saya?” Sunghoon menunduk, memainkan jemarinya yang membeku.
“Kalau saya bilang ngga boleh gimana?” dokter Wonwoo mendekat, “kami sudah menyetujui agar tidak diapa-apakan, Sunghoon. Besok, setelah Seunghee sudah lebih baik, saya akan menemani Sunghoon menggelar pemakaman. Besok ya Sunghoon, untuk terakhir kali.”
Dan Sunghoon jatuh terduduk, kembali menangis.
.
.
Kembali, kebahagiannya terenggut kembali.
.
.
Sunghoon menggenggam jemari mungil dalam tangannya, menyaksikan bagaimana istrinya tertutup peti kemudian menghilang tertelan bumi. Pakaian hitamnya menambah kesan suram dalam benaknya.
“Pa, Mama kok hilang?”
“Ngga, Sayan. Mama ama tidur panjang dulu.”
“Kapan mama bangun, Pa?” kepala mungilnya mendongak, manik mungil polosnya menatapnya, meminta jawab akan pertanyaannya.
“Kita pulang ya, Seunghee.”
“Mama ngga ikut?”
“Ngga, Sayang. Mulai hari ini, kita berdua ya.” Sunghoon berlutut, menyamakan tingginya dengan malaikatnya, mengusap pipi gembilnya yang memerah, “Papa boleh peluk Seunghee?”
Seunghee mengangguk, menyusupkan kedua lengan kecil di pundak papanya, “iya Papa, kita berdua aja. Biar Mama ngomel engga diajak.”
Sunghoon menahan deru napasnya, mencegah matanya yang kian basah. she's not coming back, Love, never.
Degukannya pelan, dan ia tak kuasa menangis ketika ia rasakan tepukan kecil di punggungnya.
“Papa, nanti, kalo Seunghee kangen mama, kita boleh ke sini lagi kan?”
Sunghoon mengangguk, mempererat pelukannya. Meluruhkan seluruh kesedihannya agar mampu menghadapi esok harinya yang entah akan seperti apa.
.
.
.
Kembali terbangun karena Seunghee berteriak gelisah dalam tidurnya. Sunghoon menenangkannya, menepuk-nepuk punggung sempit milik putrinya, kemudian mendekapnya, “ssssttt, ngga ada Sayang, ngga ada truk di depan mobil, okay.”
Isakan putrinya kini mereda, perlahan, Seunghee kembali ke alam mimpinya.
Setelah memastikan Seunghee tertidur, Sunghoon beranjak, membenahi selimutnya dan melangkah keluar ruangan.
Mencari pendingin kepalanya.
.
.
.
“Ada, tapi di luar kota.”
“Ngga tiap hari juga kan Dok, terapinya?”
“Ya engga, Sunghoon. Nanti diomongin aja sama psikiaternya.”
“Oke, makasih Dokter.”
“Sunghoon.”
“Ya?”
“Engga,” berjeda, kemudian diteruskan oleh dokter Wonwoo, “saya masih paman kamu, jangan sungkan ya.”
Sunghoon tersenyum, “padahal aku sama kak Heeseung udah ngga tau kabar masing-masing.”
Wonwoo tersenyum, “apa mau tau kabar Heeseung? Terakhir liat di nikahan kamu kan?”
“Ngga deh Dok, liat Dokter senyum gini, bikin saya tambah merana aja.”
“Paman, Sunghoon.”
“Iya, Paman Wonwoo.”
“Good.* Masih suka tiramisu?”
“Masih.”
“Oke, nanti pulang bareng saya.”
“Saya bawa motor, Paman.”
“Yaudah kalo gitu kamu boncengin saya.”
“Kok gitu?”
“Saya mau nebeng ini, mau mampir beli kue sekalian buat orang rumah.”
“Saya ngga dibeliin? Tadi tanya tiramisu buat apa?”
“Ya sekalian sama itu.”
Sunghoon hanya menggeleng tak habis pikir.
Paman Wonwoo itu, kerabat dekat Heeseung, yang kebetulan mengurus Seunghee setelah kecelakaan yang terjadi tempo hari lalu.
Sedikit banyak, Sunghoon terbantu oleh beliau.
Dulu, saat ia masih bersama Heeseung, beliau terkadang membawa mereka jalan-jalan. Memberi Sunghoon banyak wejangan, dan hal lain. Membuat Sunghoon nyaman dan dekat dengan keluarga Jeon.
Dan iya, Sunghoon amat mengenal Sunoo yang dibawa Heeseung menghadiri pernikahannya. Putra adopsi Wonwoo, yang kebetulan mirip beliau dengan suaminya.
Sunghoon mengenyahkan pikiran berkelananya, ia menunggu Wonwoo di ruang tunggu depan rumah sakit.
.
.
“Jadi sekarang ada nanny di rumah?” Wonwoo mengeluarkan dompet untuk membayar kue-kuenya.
“Iya, tapi ngga nginep, Paman. Pulang jam 7 malem, atau kadang ya sepulangnya saya sampe rumah.”
“Seunghee gimana tapi? Dia oke?”
“Awalnya masih perlu penyesuaian, tapi cepet kok. Anaknya mau adaptasi.”
“She's a good girl.” Wonwoo menyerahkan satu kantong kertas padanya, “dimakan sama Seunghee ya, Paman udah dijemput.”
“Lho, saya ngga anter Paman sampai rumah?”
Wonwoo tersenyum, “ngga usah. Tuh udah ada yang nungguin.” menunjuk keluar dengan dagunya.
Sunghoon menghampiri lelaki yang menunggu paman Wonwoo, “Bapak Soonyoung?”
“Udah beli kuenya?” yang dipanggil bapak Soonyoung menoleh.
“Udah, Pak.” Sunghoon menunduk sopan.
“Udah dikasih tiramisu kan sama suami saya?”
“Iya, Pak.”
“Makasih ya Sunghoon, direpotin deh kamu sama Wonwoo.”
“Eh, engga kok Pak. Justru saya yang ngerepotin banyak hal ke Paman Wonwoo.”
“Aihh ngga adil amat ini suami saya kamu panggil paman. Saya dipanggil bapak.”
Sunghoon meringis.
“Paman juga dong, Sunghoon. Kaya dulu ituuu, biasanya kan Paman Sunyong ini, Paman Sunyong itu.”
“Hehe, iya.”
“Iya apa?” Soonyoung menepuk pundak Sunghoon.
“Iya, Paman Soonyoung.”
“Nah cakep. Kapan-kapan main ke rumah, udah lama juga kan ngga ketemu sepupu-sepupu kamu?”
“Iya Paman, saya usahakan.”
“Kalo ada apa-apa bilang ya, Sunghoon. Kita selalu open buat kamu ke rumah atau sekadar komunikasi lewat surel. Jangan sungkan, kita masih paman kamu.”
Sunghoon mengangguk, “makasih Paman.”
Setelahnya, mereka berdua berpamitan, meninggalkan Sunghoon dengan satu kantong kertas dalam jinjingan dan banyak hal dalam benak.
.
.
.
Makan siangnya hambar, ia paksa masuk untuk kesehatannya sendiri. Kemudian mengeluarkan ponsel untuk berkomunikasi dengan putrinya. Setidaknya, ia perlu sedikit tawa.
.
.
“Kak Sunghoon, tadi dipanggil bapak ke ruangan beliau.”
Sunghoon mendongak dari kegiatannya melipat kain lengan, “oh, makasih Jihan.”
“Sama-sama, Kak. Jihan duluan yaa.”
Sunghoon mengangguk, kemudian bertolak ke ruang direksi.
Ia buka perlahan pintu kaca dihadapannya setelah dipersilakan masuk, “maaf, Bapak panggil saya?”
“Oh, udah dateng. Iya, sini duduk Sunghoon.”
.
.
.
.
“Jadi sekarang apa?” Wonwoo meletakkan satu cup kopi di hadapan Sunghoon.
“Diminta pindah kantor, Paman.” Sunghoon mengangguk berterima kasih pada Wonwoo.
“Apa yang dipikirin?”
“Banyak, yang paling krusial, Seunghee.” ucapnya perlahan.
“Lebih deket sama tempat konsul dan terapi Seunghee bukannya?”
“Iya, Paman. Cuma nanti nannynya gimana?”
Wonwoo tidak langsung menjawab, memakan satu sumpit nasi dari piringnya, “coba dibicarain dulu sama nannynya Seunghee. Kira-kira kalo pindah ke luar kota, apa bisa? Kalo ngga ya, cari orang lagi, Sunghoon.”
“Iya sih, perlu adaptasi lagi ya.”
“Ya semoga aja nannynya mau ikut. Pindah kantornya sekalian naik jabatan ngga?”
“Iya, Paman. Dipromosiin, ngga aku sendiri, ada orang lain juga. Soalnya ini jadi PA.”
“Wow, lumayan juga itu. Tapi jam terbangnya tinggi bukannya?”
“Iya, Paman. Masih mikir-mikir juga. Udah bilang sama bunda, tinggal sama ibu mertua yang belum.”
“Tanggapan bunda Sunghoon gimana?”
“Baik, demi Seunghee juga.”
“As expected sih ya tanggapan bunda kamu.”
Sunghoon mengangguk, kali ini ia gigit burger yang sedari tadi ia anggurkan, “eh ini ganggu istirahat Paman banget, maaf.”
“Telat amat, haha. Santai, bentar lagi jam kerja saya habis. Nanti hati-hati pulangnya, Seunghee kapan-kapan dibawa ke sini juga, Sunghoon.”
“Iya, sekalian pamitan deh sama Paman.”
.
.
.
Kembali membenahi kemejanya, memastikan untuk rapi, kemudian melangkah setelah helaan napasnya yang lumayan panjang.
Menemui resepsionist di lobby depan untuk diarahkan menuju ruangan yang lain.
“Park Sunghoon, benar?”
Seorang laki-laki, mungil, namun berwibawa, membawa satu pulpen dan book notes, berpenampilan menarik dengan setelan kerjanya.
“Ya, saya Park Sunghoon.” angguknya.
“Baik, mari ikut saya.”
Ruangannya tidak luas namun tidak sempit juga, cukup untuk delapan kepala untuk memenuhi kursi yang ada.
“Jadi ada dua kandidat yang dikirim dari cabang kemari, salah satunya anda dan rekan anda. Sebelumnya, tolong duduk di sini.”
“Iya, Pak.”
“Saya belum setua itu sih, panggil Jungwon saja.”
“Jungwon.”
“Ow, that's better.”
.
.
.
Sunghoon memijat kedua pundaknya, menerangkan kepada dirinya sendiri, “you've done a good job, Sunghoon.*
Menghela napasnya untuk yang kesekian kali. Interviewnya berjalan lancar. Ia bersyukur untuk itu.
Halte masih sepi, karena belum waktu pulang kerja.
Sunghoon menoleh ke kanan dan kiri. Hari mulai sore, ia buka ponselnya untuk tahu bagaimana kabar putrinya.
.
.
.
Sudah setengah jam, busnya belum juga tiba. Ia rapatkan cardigan yang menaunginya. Netranya masih berputar menelisik pemandangan yang tersaji dalam jaraknya.
Kemudian pandangnya terpaku.
Seorang lelaki, setelan broken white membungkus tubuh proposionalnya. Berdiri sejauh 5 meter dari tempatnya menahan napas.
Dunianya seakan berhenti, mengerucut padanya, yang juga mematung menatapnya.
Kali ini Sunghoon berdiri, perlahan, ia cari manik yang menatapnya tanpa berkedip. Turun pada bahu tegap yang salah satunya membawa beban, beralih pada lengan yang terkulai dimasing-masing sisi. Berakhir pada tungkai jenjang yang tak melangkah.
Sunghoon menunduk, memainkan tali tas dengan tangannya. Kembali melihat lurus hanya untuk ia tak mampu berpaling dari kelereng jelaganya.
Terlalu jauh.
Jarak mereka terlalu jauh.
Satu suara klakson menyadarkannya pada realita.
Busnya tiba, dan Sunghoon memutus kontak netra mereka.
.
.
.
Ia tak mampu berbalik pada masa lalunya.
.
.
.
Usianya memasuki kepala tiga, bertambah dua.
Dan hari ini, dipertemukan dengan masa lalu mereka.
.
.
.
“Jadi gimana, Pak?” Jungwon mengulangi pertanyaannya, “Pak?”
“Oh, Jungwon. Apa?”
Ada hela napas yang terlalu keras dihembuskan oleh Jungwon, “Bapak salah makan? Tadi jadi beli kopi di depan kantor kan? Sendirian?”
“Engga salah makan dan iya jadi beli kopi sendirian.”
“Sekarang, kopi Bapak mana?”
“Hah?”
Ingin rasanya Jungwon mengubur diri.
Inhale
Exhale
“Kopi yang Bapak beli, di mana? Sudah habis?” kali ini, pelan-pelan ia bertanya.
“Saya taro di meja kamu.”
“Buat saya?” Jungwon mengangkat alis.
“Iya, biasanya minum yang latte kan?”
“Saya ngga minum kopi, Pak.” Jungwon bergerak mendekati atasannya, “Bapak sudah tidak ada jadwal, setelah ini saya antar pulang deh ya.”
“Lho ngga mampir nonton dulu?”
Jungwon makin jengah, “Bapak mau jujur ngga, tadi ketemu siapa di luar kantor?”
Heeseung tidak langsung menjawab, ia duduk di sofa ruangannya, matanya jatuh jauh kedepan, dengan tanpa sadar ia menangis.
Jungwon bergerak panik mencari tisu, “Pak, ya ampun,” menyekanya pelan, “maaf Pak...”
“Ngga, Jungwon. Saya yang minta maaf,” ia ambil tisu dari Jungwon, “makasih ya,” senyumnya.
“Saya antar pulang ya, Pak?”
Heeseung mengangguk tanpa memandangnya.
.
.
Untuk pertama kalinya, Jungwon menyaksikan pundak itu luruh.
.
.
Rekan kerjanya sudah mulai bekerja sedari dua hari lalu. Menjadi pendamping Jungwon, membantunya mengurus berkas atasannya.
“Kak Sunghoon, kantin yuk!”
Sunghoon mendongak dadi kegiatannya mengetik, “oh, udah masuk istirahat ya?”
“Iya, nanti rame banget Jungwon ngga kebagian makan.”
Sunghoon terkekeh kecil, “oke.”
.
.
Ada dua nampan di meja mereka, menyamankan diri untuk duduk, kemudian memakan makanan mereka dalam diam.
“Eh, anaknya Kak Sunghoon kalo ditinggal kerja begini sama siapa di rumah?”
Sunghoon meneguk air putihnya, “ada nanny di rumah, nanti pulang kalo aku udah kelar kerja.”
Jungwon mengangguk paham, “belum berniat cari mama ya? Buat anaknya? Aduh siapa Kak namanya?”
“Seunghee, namanya Seunghee. Dan belum berniat cari, Jungwon.” Memainkan sendok dalam genggamannya, “Jungwon udah berapa lama deh kerja sama Pak Heeseung?”
“Dari awal tuh, sekitar tujuh tahun lalu deh kayanya.”
“Udah kenal banget ya, ini aku masih belajar, jadi dikasih tau apa aja ya, Jungwon.”
“Iya, Kak. Kalo itu sih pasti.”
“Hari ini saya pulang awal, bawa berkas proposal ke rumah setelah jam 8.” Seorang lelaki, menghampiri meja mereka, berkata langsung tanpa jeda.
“Oh, iya Pak.” Bergegas menyeka bibirnya yang berminyak, Jungwon mengangguk.
Sunghoon menunduk, menghembuskan napas, menatap sepatu milik lelaki yang berdiri tegap berbalut jas navy di samping tempat duduknya.
“Dan Sunghoon, antar saya ke kantor cabang sebelum pulang.”
Sunghoon mengangguk, “baik, Pak.”
Kemudian lelaki itu pergi, Sunghoon menghembuskan napas yang tak sengaja ia tahan.
“Kak? Ngga papa kan nganter bapak? Kak Sunghoon keburu pulang ngga nanti?” Jungwon berujar khawatir.
“Kan tadi bapak bilang pulang awal, kayanya bisa kok Jungwon.”
“Lagian kan bapak tau kalo Kakak punya anak ya, harusnya ngga usah lembur.”
“Ngga papa, Jungwon. Kan dibayar.”
“Yeeeee, itu mah harus.”
.
.
.
Sunghoon sudah bersiap di kursi kemudi, setelah memastikan Heeseung duduk dengan nyaman di kursi belakang.
“Ngapain di sana?”
“Hah?” Sunghoon menoleh bingung.
“Udah ada sopir, kamu di samping saya, Sunghoon. Bawa berkas kan?”
Sunghoon mengerjab, “bawa Pak.”
“Turun, pindah di kursi belakang.”
Dan Sunghoon bergerak untuk menurut.
Berada di samping Heeseung berarti bersiap dengan seluruh aroma yang akan ia hirup kian merasuk.
Berada di samping Heeseung berarti bersiap dengan jantungnya yang tak tahu malu bertalu menusuk deru.
Berada di samping Heeseung, adalah impiannya yang pernah singgah namun tak mau menjadi nyata.
.
.
Heesung mengantarnya sampai ke depan rumahnya, menyaksikan Sunghoon turun dari mobilnya, disambut oleh malaikat kecil berkuncir dua yang bermain di terasnya.
“Siapa namanya?”
Sunghoon berdiri di samping jendela mobil yang terbuka, menatap lurus, melewatkan netra jelaganya, “Park Seunghee,” tersenyum kecil dan melanjutkan, “terima kasih, Pak. Hati-hati di jalan pulang.”
Heeseung mengangguk, menutup jendela mobil.
Yang tidak disangka, pintunya terbuka, “boleh mampir sebentar?”
Sunghoon menahan napas, sebelum ia berbicara, satu tubrukan terasa di kakinya.
“Papa!” Suaranya jernih dan ceria.
“Hei, Love.”
Malaikat kecilnya mendongak, mata besarnya berbinar melihat satu boneka unicorn kecil yang digoyangkan oleh lelaki di hadapan Sunghoon.
“Hey, you want this?”
Gadisnya mengangguk antusias, “may i, Pa?” Menoleh pada papanya yang kini menggandeng jemari mungilnya.
“Tadi saya beli di dekat kantor cabang, Sunghoon. Kalau tidak boleh, tidak apa-apa.” Heeseung menurunkan bonekanya.
“Sayang mau?”
“Mau, Papa.”
“Boleh.”
Dan Heeseung memberikannya pada putrinya.
“Terima kasih, Pak.”
Heeseung hanya tersenyum dan kembali ke dalam mobilnya setelah mengusak dua kunciran milik putrinya.
Hingga mobil tak lagi terlihat, Sunghoon masih berdiri di depan pagar rumah, bersama putrinya dalam gendongannya.
.
.
Mereka bertingkah seakan tak mengenal satu sama lain hingga terasa memuakkan.
Mereka bertingkah seakan segalanya sudah berakhir, namun nyatanya tidak.
Mereka bertingkah seakan tak pernah ada bahagia dalam impian mereka.
Mereka bertingkah terlalu pengecut.