Jjampong-
Langkahnya tergesa, menekan tombol lift dengan emosi.
“Ish, cepatlah.”
Bibir mungilnya bersumpah serapah. Satu tungkainya mengetuk lantai yang tak bersalah.
Ketika sampai di lantai yang ia tuju. Ia berlari semampunya. Membuka salah satu unit apartemen, mendobraknya tanpa ampun.
“Cho!” Berteriak memutari unit dan menemukan empunya yang sedang berjongkok tak berdaya di depan wastafel.
“Seok,” lemah sekali.
“Esa mana?”
“Tidur.”
“Syukurlah,” Wooseok bergegas meletakkan paper bag yang sedari tadi ia bawa di meja terdekat, memapah Seungyoun kemudian.
“Jinhyuk lagi ada pasien, lu sama gue dulu. Gue beliin bubur.”
Youn mengangguk, bertumpu pada Wooseok sepenuhnya.
“Ngerepotin banget gue tuh.”
“Emang.”
“Jahat, Seok.”
“Kalo gue jahat, gue ga di sini. Mending sekarang lu duduk di ranjang, gue siapin buburnya,” Wooseok hampir beranjak dari kamar Seungyoun, sebelum
“Seok, makasih,” Youn menarik ujung lengannya.
“Santai.”
Seungyoun menunggu Wooseok menyiapkan bubur. Bahkan Wooseok menyuapinya. Dan apa? Seungyoun diomel olehnya habis habisan.
Seungyoun bercerita bahwa ia ingin sekali makan jjampong super pedas dan ia nekat menuruti keinginannya. Berakhir ia terkena diare juga muntah tak berkesudahan.
Wooseok menyuapinya sembari menyukurkannya ditiap suapan. Youn manyun, mulutnya seperti bebek, kalau kata Wooseok.
“Youn,” Wooseok memangilnya ketika selesai berbenah.
“Ya?”
Wooseok mengusap ujung kepalanya, mengusak surainya. Seungyoun mengerjab bingung.
“Kenapa, Seok.”
“Mau tanya, tolong jangan kabur lagi.”
Seungyoun, sedikit banyak meraba apa yang akan ditanyakan.
“Papanya Esa, ya?”
Wooseok mengangguk. Meremas jemari mungil Youn dalam genggamannya.
“Dia udah mau pinter ngomong, gue ga mau lu nanggung beban lu sendiri.”
Youn mengangguk, mengambil satu polaroid dari dalam nakas samping ranjangnya.
-Ia menemukannya saat bebersih unit minggu lalu, sekarang ia memilih untuk kembali menempati unit apartemennya.
Memang menyimpan banyak kenangan, biarkan saja. Youn masih ingin merasakan kehadiran Seungwoo seperti tahun-tahun yang lalu. -
“Tetangga gue, gue ga tau lu kenal apa engga.”
Youn menyodorkan satu potret-Han Seungwoo, pada Wooseok.
Wooseok menerimanya, menelisik.
“Dia awalnya pindah kerja ke sini, gantiin orang katanya sih. Dia ngasih gue kue beras di hari pertama dia pindah. Ternyata kita cocok dan ya banyak kejadian, Seok.”
Wooseok diam, menunggu Seungyoun meneruskan ceritanya.
“Ternyata dia udah ada tunangan. Gue tau setelah gue periksa dan udah ada Esa di gue. Dan lagi dia bilang pernikahannya bentar lagi.”
Youn mengambil napas sejenak, “Awalnya gue mau ngasih tau tentang Esa, Seok. Tapi ya masa dia bilang nikahnya udah deket, gue kasih tau gitu aja. No, Seok, gue ga mau ngerusak planning kak Woo.”
Seungyoun menerawang jauh.
“Gue waktu itu di apartemen dia dan gue ga sanggup, gue pamit pulang. Setelah itu, gue lumayan jaga jarak, gue ga mau ngasih harapan ke gue sendiri. Ada kadang, kepikiran pengen biar Esa pergi aja. Biar Esa ga usah ada di hidup gue. Tapi Jinhyuk ngeyakinin gue buat pertahanin Esa sampe akhir.”
Wooseok mengusap air mata yang mengalir di pipi pualam Seungyoun.
“Esa ngasih gue kekuatan sampe sekarang ini, ada waktu gue nangis kangen, Esa pertama kali nendang di perut gue. Kaya, jangan nangis Pipi, Esa di sini. Ada juga waktu gue ga berani bilang ke mama, tapi kaya ada dorongan biar gue berani.”
Jemari Wooseok beralih pada surai Seungyoun, mengusaknya sayang. Membiarkannya melanjutkan kembali.
“Tambahan lagi kaya sekarang, kerjaan gue malah makin naik. Gue ga tau keajaiban apa lagi yang bakal Esa tunjukkin. Jinhyuk sering bilang makasih ke gue, makasih pertahanin Esa sampe sekarang, makasih mau sayangin Esa. Gue bersyukur banget ada Esa.”
Seungyoun merebah, Wooseok menepuk-nepuknya.
“Dan tentang papa Esa, dia belum tahu, dia ga tau. Gue ga tau bakal ketemu lagi sama dia ato engga. Gue cuma selalu berharap dia sehat dan bahagia. Gue sayang dia, Seok. Sayang banget, tapi gue siapa ya kan?”
Wooseok ingin Youn berhenti, menepuknya agar tertidur.
“Gue sayang banget sama kak Woo, gue boleh ketemu dia kan? Buat sekali aja, ga papa, dia ga perlu tau tentang Esa. Gue cuma pengen bilang gue sayang dia. Gue pengen dia selalu baik baik aja. Seok, tetep jadi sahabat gue ya, bantuin gue sayangin Esa, sampe Esa lupa kalo gue pincang karena ga ada papanya. Seok....”
Air matanya meluruh semakin deras. Membenamkan diri pada bantal yang menjadi sandaran kepalanya. Wooseok membiarkannya, membungkusnya dengan selimut agar Seungyoun semakin hangat.
“Maafin gue buka luka lama lu, Youn. Gue juga selalu berharap lu baik-baik aja. Gue sama Jinhyuk berharap sebisa mungkin ada di samping lu.”
Wooseok mengecup pelipis Seungyoun pelan, membiarkannya terjatuh menuju alam mimpinya, “mimpi yang indah indah aja ya.”
.
.
“Hyuk, ntar kita nginep tempat Youn aja ya, sekalian bawain obat buat Youn. Oh! Jangan lupa beli makan malem, sama camilan atau biskuit buat Esa.”
Wooseok berbicara pada ponselnya.
“Iya, ini udah pada bobo. Ntar hati-hati di jalan ke sininya.”
Wooseok menutup ponselnya, memilih berbenah. Ia berhenti sejenak, itu potret Han Seungwoo, teman kerja Wooseok di luar kota.
Wooseok mengenalnya, sangat.
“Youn, dunia sempit banget emang. Dia punya pandangan kosong sekarang. Dia sering ngelamun waktu kerja. Bahkan setelah dia nikah sama orang pilihannya. Youn... kak Woo lu juga kayanya kangen lu.”
.
.
©coffielicious