Kelana ─
.
Kim Woosung x Cho Seungyoun Canon Compliant
.
.
Mereka bertemu sekitar 2 tahun lalu. Menghadiri acara yang sama kemudian bertukar nomor ponsel.
.
Salahkan ketertarikan mereka pada musik, karena membuat keduanya dekat.
Di satu hari yang berbeda, Woosung membawa Seungyoun ke kampung halamannya, California.
Seungyoun yang memang pembawaannya easy going. He went along with Sammy everywhere he takes.
Mereka kabur dari rutinitas yang biasa. Sekitar tiga hari mereka berjalan-jalan menikmati waktu berdua.
Ada pertanyaan yang menggantung di benak Seungyoun, namun ia menelannya bulat-bulat.
Ponsel mereka penuh dengan notifikasi dari manager dan member masing-masing, tetapi mereka acuh. Memilih mencari distraksi dengan bersama-sama.
Terlalu bahagia dengan 24 jam bersama.
Di hari terakhir mereka akan pulang, Woosung mengejutkan Seungyoun dengan kalimatnya. ‘Youn, kakak suka sama kamu. Ayo pacaran!’ He said that, along with a bouquet full of hydrangea.
And Seungyoun said yes, after five minutes of silence.
So that’s how the relationship sets.
.
Tidak banyak yang tahu mereka berpacaran. Mungkin sekitaran bandmates Woosung dan juga teman se grup Seungyoun.
Untuk orang tua masing-masing? Mereka tahu, jelas. Karena yah, insting orang tua itu tajam, kan?
Jadi, begini. Satu saat mereka berkunjung ke rumah masing-masing. Orang tua mereka memberi senyum yang berbeda. Memandang genggaman tangan mereka dengan senyum simpul. Membiarkan mereka mengeksplor dunia mereka tanpa batas. Dengan catatan-catatan yang ditinggalkan.
.
Mereka bahagia, dengan cara mereka sendiri.
Curian waktu disela kesibukan mereka untuk berkencan. Memakai atribut yang tidak mencolok. Bergandengan tangan berkeliling kota. Mencari gantungan kunci lucu-lucu untuk mereka koleksi. Membeli magnet kulkas antik hingga menarik. Berakhir membeli jajanan pasar untuk mereka cemil di perjalanan pulang mereka.
Ada pula satu hari, Seungyoun menunggu Woosung di backstage. Membawa buket bunga mawar berbagai macam warna.
“Congratz on your comeback, Kak.”
Woosung mematung, menerima buket bunga dengan tangan gemetar, “So, thanks, Love.”
Membawa Seungyoun dalam pelukan, membisikkan satu kalimat membuat Seungyoun berdesir bahagia.
“I love you, so bad,” he said while hug Seungyoun tight, fit in his arms. Too warm to feel.
Seungyoun said so.
Mereka mengambil sisa hari itu untuk menghabiskan waktu bersama. Bandmates mereka maklum.
Menjalin hubungan di industri hiburan apalagi pasangan seperti mereka adalah masih sangat tabu. Juga banyak resiko menyertai. Tetapi mereka mampu berdiri. Untuk mereka sendiri.
.
.
Ini hari yang sangat panjang, mungkin satu hari yang sangat tidak ingin diingat oleh mereka. Oh, tetapi apakah mereka juga sebenarnya ingin mengingatnya dalam kotak ‘bittersweet memory?’
Hari yang sangat chaos, terlalu berantakan.
Seungyoun ingin berhenti, sangat ingin berhenti.
Seluruh dunia hiburan gempar.
Tulisan bercetak tebal tertera hampir di setiap platform media pemberi informasi yang mereka temui.
Seluruhnya berisikan hal yang memojokkan mereka.
Dengan setiap judul mengandung kata kunci; Seungyoun, Woosung, dan Gay.
Seungyoun menangis, ia sama sekali tak mau keluar studio tiga hari penuh.
Woosung mencoba sekadar menenangkan diri juga menenangkan Seungyounnya.
Menelpon ratusan kali, meminta tolong pada teman se-grupnya agar menengoknya sesekali.
Meminta maaf pada setiap keluarga masing-masing. Orang tua mereka mendukung mereka dengan penuh, pun dengan bandmates mereka. Mencoba memberi dukungan moril adalah hal yang sangat mereka berdua butuhkan.
Masih banyak caci maki yang mengalir di setiap artikel juga media social mereka.
Di hari ke tiga, Woosung mendobrak pintu studio Seungyoun. Menemukannya tertidur di sofa dengan snack berserakan. Setidaknya Seungyoun masih mengingat camilan.
Woosung berlutut, mengelus surai Seungyoun yang berantakan, “Sayang, ayo mandi.”
Netranya berkaca, melihat Seungyoun hancur seperti ini bukanlah sesuatu yang ada dalam benaknya, sekalipun. Dan hari ini ia menyaksikannya secara langsung.
Jemarinya masih menata surai milik lelakinya, netranya meminum seluruh pemandangan di depannya dengan penuh. Tak ingin melewatkan seinchipun perubahannya.
Dahinya yang berkerut, maniknya yang kosong, hidungnya yang mampat, bibirnya yang pucat, dan pipi yang semakin menirus.
Lengannya lunglai, kakinya ia biarkan menggantung setengahnya.
Perlahan, Woosung mencium keningnya. Memeluknya semampu yang ia bisa.
Mengangkat tubuhya yang semakin ringkih.
Membawanya untuk membersihkannya tanpa cela.
Sembari memandikannya, Woosung menangis meminta maaf. Akan lancangnya ia membawa Seungyoun dalam kehidupan yang berat.
Woosung membersihkannya hati-hati, mengelap setiap sudut Seungyoun dengan pelan.
Membawanya dalam dekapan ketika selesai. Membopongnya dalam gendongan untuk ia rebahkan pada pelukan.
Menjadikan lengannya sebagai bantalan. Seungyoun masih belum ingin membuka mulutnya sama sekali. Hanya pandangan kosong yang masih terproyeksi.
Woosung mencoba untuk mengajaknya berbicara.
“Sayang, kau tau Tannie menyalak padaku tadi,” membelai surainya yang masih basah, mengusaknya.
Mengecup keningnya lama.
“Maaf.”
Satu kata dan mampu membuat Woosung berjengit. Memandang wajah pias di depannya hati-hati.
“Maaf membuat semuanya kacau. Ngga seharusnya aku ngajak kencan kakak kaya kemarin-kemarin. Harusnya aku nahan diri biar ga nyium kakak di tempat umum. Kak Woo, maafin Youn. Kak Woo ga boleh nyerah sama mimpi Kakak tentang jadi penyanyi. Biar Youn yang udahan. Tolong terusin mimpi Kakak. Maaf, Kak. Maafin Youn.”
Woosung masih memeluknya dalam senyum yang tak luntur.
.
Memang semuanya kacau, comebacknya tertunda. Banyak komentar benci yang mereka terima. Pun juga berdampak pada keluarga dan bandmates mereka. Woosung sudah berlutut pada mereka semua, atas namanya juga atas nama Seungyoun.
Orang tua dan bandmatesnya menerimanya kembali tanpa syarat. Siap mendukung segala hal yang akan Woosung dan Seungyoun putuskan.
Hanya kali ini, Woosung perlu meyakinkan Seungyounnya untuk tetap berdiri bergandengan tangan bersamanya.
Woosung ingin Seungyoun percaya, masa bodoh dengan statemen masyarakat yang akan ia terima. Yang Woosung butuhkan adalah Seungyoun, orang tua, dan bandmatesnya untuk berdiri bersamanya.
Untuk agensinya, menyerahkan penuh seluruhnya pada Woosung.
Memang awalnya petinggi label yang menjadi naungannya marah besar.
Woosung kembali berlutut, meyakinkan semuanya akan membaik meski beberapa bagian akan rumpang.
Juga untuk agensi Seungyoun yang memilih mengeluarkan Seungyoun tanpa ampun. Woosung merasa bersalah untuk itu.
Banyak hal yang mereka lalui. Hari terasa begitu panjang. Benaknya berkecamuk, benang kusut yang tak kunjung terurai.
Media masih mencecarnya semau mereka. Jari yang dengan kurang ajar mengetikkan kebencian yang tak seharusnya.
Woosung mendapat pelukan hangat dari mama Cho. Mengatakan bahwa semuanya akan membaik walaupun lambat.
Woosung mendapat tepukan dari ayahnya. ‘ayah percaya pada putra ayah.’ Itulah yang dikatakan beliau. Ibundanya membuatkannya makanan yang Woosung sukai. Mengelus surainya setiap malam untuk agar Woosung menuju alam mimpi. Adik lelakinya membelikannya setoples permen chupa-chups berbagai rasa. Bandmatesnya memberinya kue, yang entahlah terkadang Woosung berpikir memang harus banyak-banyak bersyukur memiliki mereka.
Yang perlu Woosung perjuangkan kali ini adalah Seungyoun. Calon masa depannya.
.
Netranya ia tatapkan lurus pada manik polos dihadapannya, menyalurkan seluruh afeksi yang seharusnya ia terima.
Jemarinya membelai pipi pualam yang menirus menyedihkan. Hidung yang kembang kempis mencuri oksigen dari sekitar. Bibirnya yang pucat, membuka dan menutup. Ragu ingin mengucap.
Tubuhnya ia rapatkan pada si tinggi nan mungil dalam dekapannya, kakinya mengunci kaki milik lelakinya.
Woosung mencoba meloloskan pita suaranya.
“Seungyoun, aku mencintaimu.”
Bibirnya melangkah maju, memberikan kecup dan lumatan kecil penyalur seluruh kasih yang ia mampu.
Membisikkan seluruh asa yang berhak ia terima.
Lengannya ia kalungkan pda pinggang di depannya, merapatkannya dalam dekap erat yang sama sekali tak ingin ia lepas.
Bibirnya tertatih membimbing dirinya sendiri. Menyesap rasa asin yang dijatuhkan dari manik milik Seungyoun.
“Menangislah, Youn. Menangislah sepuasmu saat ini.”
Woosung membiarkan Seungyoun menangis hingga jatuh tertidur di atas lengannya.
.
Satu minggu dari sekarang, akan terjadwal konferensi pers untuk mereka.
Keputusan apa yang akan mereka ambil untuk masa depan mereka.
.
Woosung mengecup pundak milik Seungyoun yang sedang duduk di sofa. Televisi menampilkan serial Netflix yang teracuh sempurna.
“Seru?”
“Hm?”
Seungyoun mendongak linglung.
“Ibu tadi ngirimin sarapan banyak banget, ayo kita makan dulu.”
Napsu makannya memang hilang, namun tidak boleh dengan Seungyoun. Jadi sebisa mungkin ia kan membuat Seungyoun nyaman.
“Kak.”
“Ya?”
Seungyoun tersenyum tipis, merentangkan kedua tangannya untuk Woosung rengkuh.
“Makasih banyak.”
Seungyoun mengecup pipi Woosung yang juga semakin menirus.
“Youn bakal terima semua keputusan Kakak besok. Youn ga mau mimpi Kakak hancur. Jadi untuk hari ini, biar Youn puasin sama Kakak dulu.”
“Emang Youn tau, apa yang mau Kakak bilang ke media?”
Seungyoun menggeleng. Memikirkan setiap kemungkinan terburuk untuk masa depan mereka.
“Ngga tau.”
“Mungkin kakak akan menjawab setiap pertanyaan mereka. Dan mengundurkan diri.”
“HAH?”
“Iya, Kakak susul kamu ke sini karena mau ngomongin ini. Agensi setuju, bandmates setuju, orang tua juga setuju. Tinggal persetujuan Youn sekarang,” Woosung membawa nampan sarapan mereka di depan televisi.
Lelaki dewasa itu mendudukan dirinya di samping Seungyoun yang memakai sweater hangat keabuan.
“Mimpi Kakak? Itu bahkan udah ada sebelum aku hadir.”
Sungyoun menunduk dalam.
Tak ingin menatap paras rupawan di depannya.
“Tapi masa depan Kakak ada setelah Youn hadir,” menoel ujung hidung Seungyoun gemas. Mempersiapkan makanan untuk mereka santap.
“Aku perlu ikut?”
“Kalau Youn mau, boleh. Kakak tau banget kalo Youn itu pemuda yang kuat. Buktinya harus nunggu sembilan tahun untuk sukses aja kamu mampu.”
Seungyoun beringsut maju, menyandarkan badannya pada Woosung sepenuhnya.
.
Hari lain yang begitu panjang, kini kembali. Lampu sorot dari berbagai penjuru yang menyilaukan mata. Jepretan setiap kamera yang berdekik tak mau berhenti.
Proyeksi pampangan wajahnya pada setiap layar kaca yang menyiratkan gugup yang kentara.
Jemarinya memainkan cincin di jari manisnya. Berkilauan tanpa cela.
Jantungnya bertalu, mendebum tanpa tahu malu.
Netranya ia paksa untuk menatap setiap pasang di hadapannya. Telinganya ia pasang baik baik untuk mendengar setiap tutur dari jurnalis. Entah itu kebencian atau memojokkan.
Pengeras suara dalam genggamannya gemetar.
Ia mampu, ia bisa.
Menjawab setiap pertanyaan semampunya, sejujurnya, dan seharusnya.
Ia memperhatikan kembali kali ini. Berpuluh pasang mata di sana menyiratkan kebencian yang kentara.
Kehilangan mimpi, kehilangan penggemar, juga kehilangan respek dari berbagai lapis masyarakat.
Tetapi Seungyounnya tidak pernah hilang. Masih dalam jangkauannya, berdiri memeluk orang tuanya was-was.
Seungyoun yang masih membawa buket bunga mawar untuknya. Bersiap menyongsong seluruh asa miliknya.
Seungyoun yang akan selalu menerimanya tanpa cela.
“Saya, Kim Woosung memilih mengungundurkan diri dari dunia hiburan. Seluruh terima kasih saya sampaikan pada penggemar, bandmates, orang tua, dan Cho Seungyoun.”
Membungkukkan dirinya sedalam mungkin dengan genggaman tangan kanannya bersama Cho Seunyoun di sampingnya.
.
.
Banyak yang terjadi setelah itu. Media tidak akan melupakannya begitu saja.
Komentar kebencian masih terus mengalir walau tak sederas dulu.
Bandmatesnya masih selalu menghubunginya untuk sekadar menghabiskan makan bersama.
Orang tua mereka masih suka berkunjung di kediaman mereka.
Dan mungkin ini yang perlu kuceritakan juga.
Mereka menikah, tiga bulan setelah mereka mampu bangkit perlahan dari keterpurukan.
Woosung memboyong Seungyoun ke Italia. Berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu merengkuh suaminya dalam suka juga duka.
Mereka mmemilih menetap sejenak di California untuk beberapa tahun.
Menghadapi dunia dengan cara mereka. Menghadapi dunia yang semakin menguatkan cinta mereka.
.
“Kak, ada tawaran rumah mungil di pinggir kota.”
Seungyoun membawa nampan the milik Woosung ke atas meja.
“Sini lihat katalognya.”
“Ga ada, Kak. Dari mama, sih. Beliau bilang kangen dan udah terlalu tua kalo pengen jengukin kita.”
Woosung mengangguk.
Kehidupan mereka di California baik-baik saja.
Mereka masih mengikat kontrak dengan agensi sebagai pencipta lagu.
Woosung juga mendirikan kelas musik kecil di kediaman mereka.
Seungyoun yang akan membuatkan cookies untuk ia titipkan di ritel-ritel kecil sekitaran mereka.
Dan masih ada juga rintisan usaha keluarga Seungyoun yang turun temurun.
Mungkin memang saatnya mereka kembali. Kembali ke tempat mereka pertama jatuh hati.
.
Rumah yang asri. Pinggir kota yang mereka harap untuk ramah.
Menyiapkan seluruh mental untuk mereka bentengkan.
Tidak terlalu buruk, meski beberapa orang memandang mereka begitu sinis.
Mereka memilih acuh. Saling merengkuh untuk mengisi kembali energi yang terkuras di kemudian hari.
Dalam waktu yang mereka lalui. Mereka membeli dua anjing dan juga satu kucing untuk mereka jaga bersama.
Menemani hari-hari dan juga meramaikan rumah mungil mereka.
Mengambil seluruh sisa waktu hidup mereka untuk hidup bersama. Dalam suka maupun duka.
.
.
Kkeut
.
.
©coffielicious