Kue beras
Melangkahkan tungkainya malas ketika bel apartemennya berbunyi. Ini weekend astaga, kurang ajar sekali mengganggu sepagi ini.
Seungyoun mengerjab, jemarinya ia larikan ke kedua netranya, mengusaknya kasar. Di hadapannya, seorang lelaki membawa sekotak tempat makan berisi kue beras, 'saya tinggal di seberang' katanya.
Seungyoun hanya mengangguk dan menerima sekotak camilan dari tangan yang lainnya, menawarkan untuk mampir sejenak, namun ditolak halus. Mengangkat bahu, kemudian menggumamkan 'terima kasih', lalu lelaki itu beranjak pergi.
.
Yang tidak disangka oleh keduanya, mereka menjadi dekat, mungkin efek umur yang ternyata tidak jauh berbeda, pembahasan yang selalu klik ditiap-tiap topik yang mereka bangun.
Di bulan pertama, Youn menawarkan perkenalan, dijabat tangan dengan apik, meyebutkan nama dengan tegas dan senyuman yang tak luntur 'Han Seungwoo,' katanya.
Masih di bulan pertama, Youn menawarkan diri menyetirkan Seungwoo keliling kota. Mengingat Seungwoo dari kota yang lumayan jauh.
Ngomong-ngomong Seungwoo datang ke kota besar untuk pekerjaan.
Di bulan ke-dua saling bermain ke unit masing-masing.
Di bulan ke-tiga, mulai berani menginap dan memakai barang milik satu dengan yang lain.
Di bulan ke-empat, menghabiskan malam dengan sekadar menegak soju, meracau hingga kesadaran mereka luruh.
Di bulan ke-lima, berbagi mencecap rasa di mulut satu sama lain. Seungwoo bernapaskan kopi dan Seungyoun yang bernapaskan teh mint segar.
Di bulan ke-enam, mereka mulai berjalan bersama, menyusuri pertokoan kota tua dengan gelak tawa.
Di bulan ke-tujuh, mereguk surga dunia bersama. Mencapai imajenasi langit tertinggi, berdua. Mengosongkan otak, kecuali nama masing-masing dalam benak. Bermimpi tentang akhir indah seperti ending secuil fairytale.
Di bulan ke-delapan, Youn menemukan Seungwoo memainkan cincin di jari manisnya.
Tersenyum, ia menggenggam jemari yang jauh lebih panjang miliknya, mengelus punggung tangan dengan jempol kecil miliknya.
“Pasti dia nunggu kakak deh, ngga kangen apa, delapan bulan?”
“Ya kangen, Youn... tapi,”
“Hm? Tapi?”
“Lo gimana?”
“Apanya yang gimana kak? Kita kan temen, kakak udah punya tunangan, dan gue yang bebas kan? Santai aja lagi. Kapan pernikahannya?”
“Bulan depan.”
“Oh, ooohh...” Seungyoun mengangguk mengerti.
“Kok 'oh'?”
“Ya gue harus respon kaya gimana lagi?”
“Dateng ke pernikahan gue, Youn.”
“Haha, oke Boss!” Jemari Youn menggesturkan tanda hormat.
“Kayanya gue masih ada kerjaan yang gue lemburin deh Kak, gue boleh pulang dulu?”
Youn beranjak dari sofa coklat di unit Seungwoo yang tadi ia sempat menyamankan diri. Menyembunyikan satu berkas yang ia bawa sedari tadi. Kemudian pamit undur diri.
“Oh, boleh iya kerjain aja dulu, jangan kecapaian tapi ya. Sehat-sehat, Youn.”
“Iya kak!”
.
Malam itu, Seungyoun menghabiskan stok tisu di nakasnya. Berhadiah mata bengkak di keesokan harinya.
.
Beberapa bagian mereka berubah, seiring berjalannya waktu. Seungwoo maklum, ia hanya bingung ketika melihat Seungyoun di atap, pada satu sore, senja.
“Youn?”
“Oh kak, tumben ke atap?”
“Pengen aja, senja nya bagus.”
Youn mengangguk setuju. Di sana, lembayung masih menggantung, mentari sudah ingin rehat dari bumi tempat mereka menapak. Beranjak untuk berbagi shift dengan belahan bumi yang lain. Digantikan dengan kerlip bintang dan bulan sabit.
“Youn, apa kabar?”
Seungwoo meloloskan pita suaranya.
“Baik, baik banget. Kak Woo?”
“Baik juga.”
“Gimana persiapan pindahannya kak?”
“Ga pindah sih, kan kesini cuma gantiin, dan lagi gue dapet job deket rumah.”
“Wah beruntung kalo gitu.”
“Minggu depan, gue udah ga di sini.”
Youn mengangguk, “iya, Kak Woo udah bilang. Kak Woo mau bawain oleh-oleh apa?”
“Ngga ada, kemarinan udah gue beliin ganci.”
“Oh, okay.”
“Gue mau ngasih ini ke Youn.”
Kertas tebal nan apik, berlapis beludru, warna safir yang lembut, tenang nan elegan.
“Wow, keren kak udah nyebar undangan. Makasih banyak gue jadi bisa ngerasain kondangan.”
“Bawa pasangan, Youn.”
“Yeee santai, pasangan mah banyak.”
Seungyoun terkesiap, ketika perutnya bergejolak, ia agak berlari ke arah wastafel yang terdapat di pojok. Seungyoun memuntahkan air, tetapi ia begitu lemas.
“Lo sakit? Ayo periksa!”
Seungwoo panik, mengelus punggung Seungyoun, menenangkan.
“Gue ga papa.”
“Jelas jelas lo muntah!” Nadanya naik satu oktaf dari biasanya.
“Astaga, kak. Kapan hari gue udah periksa kok, dikasih obat juga.”
“Emang sakit apa?”
“Salah minum susu, hehe. Tapi sekarang udah ga papa.”
“Beneran kan?”
“Astagaa, iya kak, beneran.”
“Kak Woo, besok-besok kalo udah punya pasangan... pasangannya dijaga baik baik ya, gue tau Kak Woo bisa dipercaya.”
“Iya, Youn. Pasti.”
“Besok naik kereta? Anter kakak, boleh? Atau dijemput?”
“Pake kereta dan boleh nganter.”
.
Suasana stasiun riuh rendah, mereka berkerumun dengan manusia lain dengan tujuan yang berbeda.
“Youn.”
“Hm?”
“Makasih banyak.”
“Youn juga kak, makasih banyak.”
Seungwoo tersenyum, menggapai jemari mungil Youn dalam genggamannya. Hangat sekali, Seungwoo enggan melepas.
“Kak udah dateng tuh keretanya, sana siap siap, mau apa ketinggalan kereta?”
“Engga.”
Perlahan, genggaman mereka terlepas. Seungwoo berbalik untuk kembali, kembali pada kota asal, kembali pada tambatan hati yang semestinya.
Seungyoun menentang tungkainya yang memaksa tinggal, ia seokkan pada Seungwoo yang masih bisa ia jangkau.
“Kak, gue suka lo.”
Kecupan kilat Youn sematkan, tak perlu susah susah mendapat balasan, ia berbalik, berlari menuju lavatory terdekat. Mengambil ponsel untuk memblokir seluruh kontak Seungwoo.
Seungyoun yakin, kereta sudah berangkat.
“Sampai jumpa, papa.”
.
“Selamat, Youn. Lo ngisi, 7 minggu.”
Jinhyuk memberinya berkas hasil periksa miliknya.
“Astaga, gue seneng banget, Hyuk! Makasih banyak!”
Youn beranjak pergi dari ruangan Jinhyuk, beralih menuju taman rumah sakit. Membuka berkas dengan tangannya yang bergetar, salah satunya mengelus perut yang masih rata.
“Halo malaikat kecil, mulai hari ini, karena papi tau kamu ada di sini, ayo berjalan bersama. Kuat bareng ya, baby nya papi.”
.
.
©coffielicious