Love Rival
.
Heehoon AU – Part of HHB Festival
.
- school life, fluff, non baku conversation.
Kebiasaannya adalah membaca sembari menggigit sesuatu, dan berjalan di koridor. Tidak perlu menghindar karena ia tahu jelas orang lain yang akan melakukannya.
“Hoey!! Udah liat papan pengumuman?” Seseorang merangkul bahunya.
“Udah,” jawabnya acuh.
“Kenapa sih, Hee? Males karena lo ranking dua? Ngga juara paralel? Masih ada kenaikan kelas 3 kaan? Kita seneng-seneng dulu aja!”
Yang dipanggil Hee, melirik, menghentikan langkah dan menghela napas.
“Dimarahin bonyok?”
Heeseung menggeleng, “mereka santai sih.”
“Bet you just blame yourself?“
Heeseung meneleng pelan, “dahlah yuk, perpus apa kantin?” Ia bertanya padahal jelas tahu jawabannya.
“Kantin laahh!! Bu Mira bikin rica-rica. Ayok!” Beomgyu menyeretnya tanpa susah payah.
“Gyu.”
“Apeee?” Ia duduk tepat di depan Heeseung.
“Kenapa dia ngga ikut kelas aksel aja deh? SMP nya kan aksel.”
Beomgyu melahap bakwannya penuh, “muffkin maffu-”
“Abisin dulu makanan lo, tolol!” Heeseung menimpukkan buku catatannya.
“Setan lo! Sakit, Njing!”
Mereka meributkan hal yang tak perlu selama beberapa waktu.
“Lagian Hee, Miss Tezza kan minta dia ngga aksel.”
“Oh, anak kesayangan Miss Tezza sih ya. Kaya temennya itu kan? Yang anak Brisbane?”
Beomgyu mengedik, “lah lo juga anak kesayangan banyak guru.”
“Banyak guru tapi ranking 2.” Membanting pelan buku catatannya dan beranjak berdiri.
“Mau ke mana woey! Lumpia basahnya belom lo makan!” HEESEUNG!” suara Beomgyu memenuhi kantin.
Orang-orang sudah terlalu hapal, membiarkannya heboh sendiri.
“Perpus,” dan Heeseung hilang dari pandangan.
.
.
“Kak Wenda, jadinya saya pinjem ini ya.” Heeseung menumpukkan tiga buku tebal di meja.
“Tiga aja, Hee?” itu kak Wenda, pustakawan yang tahun lalu baru saja masuk kerja.
“Iya, Kak. Yang lain nanti dulu.”
“Oke.”
“Lagian buku yang saya cari buat bacaan ringan kayanya dipinjem orang, Kak. Besok kalo dibalikin saya minta tolong disimpen dulu, boleh?”
“Buku apa, Hee?”
“The Strange Librarynya Haruki, Kak.”
Wenda mengangguk, “oh, itu lagi dipinjem barusan sama Sunghoon.”
“Sunghoon? Park?”
“Iya! Wah dia yang juara paralel tahun ajaran lalu kan ya? Berarti tahun ini full beasiswa.” Wenda mengabaikan raut aneh dari Heeseung.
“Haha iya, Kak. Yaudah itu kalo udah dibalikin boleh minta tolong disimpen dulu?”
“Oh, iya oke.” Wenda menyerahkan kartu perpus pada Heeseung dan berkutat pada pekerjaannya kembali setelah memastikan mengucapkan selamat membaca.
.
.
“Mau pindahan kali lo bawa buku sebanyak itu,” cibir Beomgyu.
“Apaan dah.” Heeseung mendudukkan diri dan mulai sibuk dengan buku bacaannya, mengabaikan segala keributan di kelas karena belum ada guru yang datang.
“Guys, perhatian!” disusul dengan suara duk agak keras di atas meja guru.
Keributan menyusut, terganti dengan keheningan yang penuh tanda tanya.
Itu Ryujin, ketua kelas mereka.
“Guru rapat-”
“YEAAAYYY,” seluruhnya, hampir serentak.
“Diem dulu, plis.” Ryujin berkali-kali menutuk tongkat ke meja.
“Okee, gimana Ryuu?”
“Ngerjain soal, ini baru dikasih,” membawa tumpukan kertas ke meja paling dekat dengannya.
“Yaaaahhh.”
“Nanti langsung dikumpul,” mengabaikan sorakan kecewa, Ryujin dibantu Sunghoon membagikan kertas bertumpuk yang menjadi amanahnya.
“Thanks, Hoon.”
Sunghoon hanya mengedip.
“Hoon.”
Bukan Sunghoon, namun Heeseung menengok dari bangkunya.
“Ya?”
Suaranya memasuki gendang telinga Heeseung dengan sopan sekali.
“Mau tanya penggunaan huruf kapital, boleh?” itu Dongjin, bertanya pada Sunghoon.
“Eh boleh, gimana?” Sunghoon memajukan badannya sedikit.
Tugas mereka adalah meneruskan cerita dari paragraf yang sudah dibuat oleh guru bahasa Indonesia, dengan kalimat, tanda baca, ejaan, juga pemakaian huruf kapital yang tepat.
“Kalo kata sapaan gitu, awalannya harus pake kapital ngga?”
“Sapaan yang langsung iya, Jin. Misal nih, dalam kalimat ini lo ngomong langsung ke ibu. Hm... tadi ada titipan dari kak Sean, Bu,” Sunghoon menuliskan kalimat itu di atas buku catatannya, “nah, 'bu' di sini, karena kalimat langsung jadi pake awalan huruf kapital. Beda sama 'kak Sean'. Karena bukan sapaan langsung, 'kak' nya pakai awalan huruf kecil, kemudian 's' pada 'Sean' pakai awalan huruf besar, karena nama orang.”
Heeseung melihat Dongjin mengangguk mengerti.
“Oke, gue paham. Makasih yaa, eh nanti kalo perlu tumpangan pulang, boncengan gue kosong.”
Sialan, modus ternyata.
“Haha, thanks gue bareng kak Soobin.”
“Oh,” garuknya canggung.
Sunghoon kemudian menoleh padanya, memberikan pandangan bertanya, “apa liat-liat?”
“Dih, ge-er.” Heeseung mencibir.
.
.
Mereka, tidak bermusuhan, kuberi tahu. Serius.
Hanya beberapa rival kecil untuk mereka memperebutkan juara pertama.
Sunghoon yang walaupun anaknya lumayan slengean, tapi dia mampu memahami pelajaran dengan baik. Olimpiade yang ia ikuti pun, akan selalu membawa pulang piala.
Dan Heeseung sendiri, murid kesayangan guru karena hampir mendapat A di setiap pelajaran. Dan tak lupa, kapten paskibra yang mengharumkan nama sekolah berkali-kali.
Jika di kelas sepuluh mereka tidak satu kelas, maka berbeda untuk kelas sebelas mereka ini.
Bertemu di kelas yang sama, dengan bangku yang tak jauh jaraknya.
Beberapa anak yang ada di dekat mereka memilih menyingkir daripada mendengar perdebatan mereka yang tidak ada habisnya.
Seperti sekarang, saatnya pelajaran olahraga.
Saling berdiskusi memilih lapangan indoor atau outdoor.
“Kalo mau main sepak bola di outdoor kali.” Sunghoon menenteng bola sepaknya.
“Anjir, hari ini jadwalnya badmintoon, Sunghoon.”
“Udah minggu lalu anjir. Oh! Lupa lo kan ngga masuk demi nganter bude lo ke bandara.”
Heeseung berjengit, “karena beliau mau gue ikut anter!” Bergerak maju.
Sunghoon berdiri tegap, “yaudah sih, toh sekarang jadwalnya bola sepak, tuh liat kertas di samping kepala lo baik-baik.”
Heeseung tidak menjawab, hampir membanting raket namun urung.
“Gue juga bawa raket, Hee. Yuk!” Beomgyu menyeretnya, meninggalkan kelas yang kini benar-benar kosong.
.
.
“Jadi mau yang mana?”
Sunghoon masih menimbang dua buku di genggamannya.
“Duit lo bulan ini cukup buat beli satu buku aja, Hoon.” Jake kembali berkata.
“Iya sih... menurut lo yang mana?”
“Ya yang lo butuhin dulu aja.”
Sunghoon menurut, mengembalikan novel 'Dallagoot: Toko Penjual Mimpi' ke tempatnya kembali.
.
.
Sunghoon menjejalkan buku ilmiah yang akhirnya ia beli ke dalam tasnya. Menghela napas dan menyusul Jake yang sudah beberapa langkah di hadapannya.
“Jake! Tungguin.”
.
.
“Eh lo pulang duluan aja deh, gue mau ketemu orang.”
Jake memicing curiga.
Mereka sudah di basement parkir gramedia. Di samping motor Jake yang siap dikendarai.
“Mau ketemu siapa? Ngga ditemenin beneran? Ngga jahat kan?”
Sunghoon meringis, “lo baik banget deh, tapi ini tetangga gue kok, no need to worry.“
Jake mengangguk, “yaudah kalo gitu gue jadi kencan aja sama Jay.”
“Astagaa, lo kenapa ngga bilang kalo mau kencan coba?”
Jake terkekeh kecil, “kan lo duluan yang minta temenin. Sebenernya nanti, tapi karena lo udah kelar, gue ketemu Jay sekarang aja.”
“Maaf yaaa, jadi lo pulang sendirian.”
“Santaaii,” ucapnya sembari membenahi helmnya.
“Chat me when you got home.“
“Sure,” dan Jake hilang dari pandangan.
.
.
Sunghoon melangkah ke atas lagi. Memasuki toko buku kembali, kali ini seorang diri.
Beralih menuju bagian alat-alat tulis.
“Kok di sini?” bertanya ketika menemukannya.
Lelaki yang ditanyai berdiri dari kegiatannya memilih beberapa kuas, menghadap Sunghoon dan tersenyum, “nyusul,” mengulurkan tangan, menyimpan rambut yang memanjang ke belakang telinga Sunghoon.
“Sekalian mau beli apa?” kejarnya.
Lelaki di depannya belum melunturkan senyumnya, “tas. Tas gue ada yang narik hari ini, rusak kan, jadi harus ganti.”
“Maaf...” Sunghoon mencicit.
Mereka bertengkar lagi siang tadi. Sepele, tentu saja. Bagian matematika, menyelesaikan dengan cara yang berbeda namun hasilnya tepat sama. Sunghoon dicibir Heeseung karena menggunakan cara yang berbelit. Sunghoon membalasnya dengan, 'terlalu pintas, ntar lo kesasar tahu rasa.'
Dan masih berlanjut di pulang sekolah, Heeseung mengejar Sunghoon dengan membawakan kecoa. Sunghoon berang, menerjang Heeseung dan menarik tas nya hingga rusak.
“Kenapa milih backstreet?” mengabaikan perkataan Sunghoon sebelumnya.
“Males ditanyain macem-macem,” melangkah menuju bagian backpack, memilih yang cocok untuk lelakinya.
Lelakinya, Lee Heeseung.
.
.
Yang banyak anak tahu, bahwa mereka adalah rival dalam akademik.
.
.
Yang semua orang tidak tahu, mereka juga rival dalam menunjukkan cinta kepada masing-masing.
.
.
“Kalo tahun ajaran baru kita sekelas, backstreet aja. Lagian kita pacaran juga masih aja tengkar kanan kiri.”
Heeseung tertawa dibuatnya, mengecup pelipis Sunghoon yang duduk manis di sofa rumahnya.
.
.
kkeut
@coffielicious