Macaroni Schotel ─

.

Part of Kue Beras AU

.

Hari ini dingin, Minseo merapatkan mantel yang membungkus tubuhnya. Melangkahkan kakinya pelan memasuki gedung yang akan menjadi saksi bisu sidang perceraian terakhir hari ini.

Menemukan Seungwoo yang sudah menunggunya di kursi samping kanannya. Tersenyum canggung.

Minseo melepaskan mantel untuk kemudian mendudukan diri. Mendengar setiap perkataan orang-orang di depannya dengan saksama.

Ketukan palu menjadi tanda berakhirnya sidang. Yang berarti berakhir pula beban tanggung jawabnya sebagai istri.

Hari ini, Minseo menyandangnya. Menyandang status janda dengan usia muda.

Seungwoo menghampirinya, mengajaknya menuju taman depan gedung untuk sekadar bercengkerama.

“Apa kabar?” Katanya.

“Baik.”

“Maaf.”

“Jangan, Woo. Udah kelar ya, udahan minta maafnya.”

“Makasih, Minseo. Banyak-banyak.”

“Sama-sama, Woo. Buat semuanya. Pernah ada di hidup aku, pernah sayang sama aku, pernah jadi tumpuan aku. Makasih banyak. Tugas Seungwoo sekarang adalah kejar Seungyoun ya. Sampe dapet pokoknya.”

Seungwoo mengangguk, “Pasti.”

Minseo ia tarik berdiri, memeluknya. Memberikan semua rasa terima kasih untuk ia katakan pada pundak wanita yang pernah mengisi hari-harinya. Mengecup dahinya untuk kemudian mengucap sampai jumpa.

Mengantarkannya untuk menjemput bahagianya sendiri, “sampai jumpa, Minseo.”

.

.

Sidang perceraian mereka tergolong cepat, meski harus melawati perdebatan alot dengan kedua belah pihak keluarga.

Jika keluarga Minseo masih mau memaklumi, maka keluarga Seungwoo sebaliknya.

Seungwoo bersimpuh saat pertama kali meminta izin untuk berpisah dengan Minseo. Mendapat bogem mentah yang dilayangkan langsung oleh ayahnya.

Seungwoo masih bersimpuh untuk kedua kali. Yang kali ini ditemani Minseo, membuat ayahnya diam seribu bahasa.

Seungwoo jatuh tersungkur di kali ketiga ia bersimpuh, menceritakan tentang Seungyoun dan Eunsang menjadi penyebab lebam di rahangnya.

Ayahnya berteriak tentang pertanggung jawaban juga didikan.

Kali ini ayahnya memandangnya dengan hal lain. Yang belum mampu Seungwoo artikan.

“Maafkan ayah, Seungwoo.”

Membuat Seungwoo menangis di depan ayahandanya.

Ayahnya memeluknya, “berpisahlah baik-baik dengan Minseo. Sebagai gantinya, bawa ayah bertemu dengan cucu ayah.”

Seungwoo mengangguk, menghembuskan napas lega selama yang ia mau, “terima kasih, Ayah.”

.

.

Seungwoo membawa kontainer terakhir untuk ia bawa ke unit lamanya. Ia memutuskan untuk kembali.

Juga kembali memupuk harapan, untuk meraih asa miliknya.

Rumah mungil yang beberapa bulan lalu ia beli, ia putuskan agar ditempati saja oleh Minseo.

Jadilah ia memilih untuk menempati unit lamanya. Yang untungnya masih available untuk ia beli.

.

Berkacak pinggang ketika selesai berbenah. Merasa bangga akan hasil kerjanya sendiri.

Agak sepi memang, jika biasanya akan ada yang membuatkan minuman maka hari ini ia membuatnya sendiri.

Mencoba beradaptasi dengan hidupnya yang untuk sementara ini sendiri.

.

Ini Minggu pagi, ia membawa kotak bekal bening berisi kue beras untuk ia bagi pada tetangganya.

Memencet belnya dengan gugup.

Pintunya terbuka perlahan, membuat buncahan di dadanya semakin menyeruak.

“Saya tinggal di seberang.”

Jemari yang melarikan diri pada kedua kelopak mata mengantuk menjadi pemandangannya.

Seperti de javu. Kali ini dengan tambahan bonus pupil yang melebar kaget juga pintu yang hampir terbanting menyedihkan.

Seungwoo menahannya dengan satu kaki, “apa boleh mampir?”

Seungyoun menghela napas panjang, berperang dengan segala macam kecamuk dalam kepalanya. Kemudian menggeser badannya, membiarkan lelaki lainnya memasuki kembali daerah teritorialnya.

Yang sangat Seungyoun mengerti, bahwa sama sekali bukan pertanda yang baik.

.

Seungwoo mengedarkan pandangannya. Sofanya masih sama. Televisi yang kini berpindah tempat. Cat yang kini membaru. Juga tambahan pojok ruang yang penuh mainan juga coretan warna warni di tembok, terproyeksikan apik di maniknya.

Kemudian pandangannya berhenti. Mendapati lelaki yang masih berdiri di depannya, mengenakan piyama, membawa kotak makan bening yang tadi dipindah tangankan dari Seungwoo.

“Duduk, Kak.”

Seungwoo mendudukkan dirinya di sofa. Seungyoun ke belakang, mungkin membuat minuman.

Seungyoun membawa nampannya ke hadapan Seungwoo. Meletakkan dua gelas air putih dan dua piring kue beras.

Jika bertahun lalu Seungyoun memakannya sendiri. Kali ini bersama sang pemberi.

“Dimakan, Kak. Bikin sendiri kue berasnya?” Seungyoun berkata setelah memasukkan satu potong kue beras ke dalam kunyahannya.

“Iya. Enak ga?” Seungwoo bertanya was-was.

“Enak kok, kurang asin aja.”

Setelah itu, ada diam yang menguar antara keduanya. Hingga setapak dua tapak mungil menyapa telinga Seungyoun.

Meletakkan piring miliknya, kemudian menghampiri malaikatnya.

“Hei, sudah bangun?”

Eunsang mengusak dua kelopaknya, bersungut menggumam pada Seungyoun.

Seungwoo melihatnya, seperti duplikat yang ia lihat tadi. Lucu sekali, bolehkah ia menggendongnya lagi?

“Habisin duluan aja, Kak.”

“Esanya ga dibawa ke sini aja, Youn?”

Seungyoun agak terkesiap, ia menggendong Eunsang agak menjauh, “em, nanti dulu, hehe.”

Sinar obsidian Seungwoo meredup, tersenyum kecut. Menyadari kesalahan perkataan yang pernah ia lontarkan.

“Aku ga bakal ambil Esa, Youn. Maaf.”

Seakan tertangkap basah, Seungyoun tergagap akan menjawab. Ia diam.

Seungwoo meletakkan piring yang sudah bersih. Beranjak mendekati Seungyoun yang masih memeluk Eunsang dalam gendongan.

Jantung Seungyoun berdenyut menyakitkan, memilih memundurkan dirinya, hingga terkantuk pada meja mungil milik putranya.

“Kak, diem! Jangan deket-deket. Esa punya aku, selalu punya aku.”

Seungwoo menghentikan langkahnya, “maaf, Youn. Kakak minta maaf. Kakak ga bakal ambil Esa dari kamu.”

“Bohong! Waktu itu Kakak bilang. Jauh Kak! Jangan deketin Esa!” Seungyoun hampir saja berbalik jika Eunsang tidak menangis. Mungkin kaget karena intonasi Seungyoun yang meninggi.

Seungyoun duduk, memangku Eunsang. Mengelus punggungnya, “maaf, Sayang. Maaf ya, Pippi berteriak, hm?”

Seungwoo berjongkok, mengelus surai Seungyoun yang masih menenangkan Eunsang. Membawa kepalanya dalam dekap, membiarkan mendengarkan detak jantungnya yang bertalu.

Ajaib, Eunsang terdiam ketika Seungwoo membelai halus pipi gembilnya.

“Halo, Jagoan. Maafkan Papa, apakah Papa menakutimu?”

Kerling kelereng jernihnya mengerjab, kemudian menenggelamkan kepalanya pada dada Seungyoun.

“Ppi, lapal.”

“Esa lapar? Papa bawa macaroni schotel, apa Esa mau?” Seungwoo menggesturkan ingin menggendong Eunsang.

Eunsang mendongak, menatap Seungyoun. Seakan meminta izin.

Seungyoun diam, “Esa mau macaroni schotel?” Jemarinya ia bawa untuk mengusak surai pendek milik Eunsang.

Mendapatkan anggukan dari buah hatinya.

Seungwoo dengan sigap beranjak, mengambil kotak makan kecil, memberikan satu wadah berisi macaroni schotel yang masih hangat.

Seungyoun berdiri, membawa Eunsang ke meja makan miliknya. Menyuapinya dengan telaten.

“Kue beras kamu belum habis, Youn. Kakak suapin, ya?”

“Ga usah, Kak. Makasih. Kakak pulang aja, ga baik di sini lama-lama dicariin noona Kim nanti.”

Seungwoo hampir saja menjawab.

“Dan jangan bilang papa di depan Esa. Dia punya pippi, bukan papa. Makasih sarapannya, Kak. Pintu keluar ada di sana, tolong ditutup dari luar.”

“Youn.”

Acuh, Seungyoun memilih meladeni celotehan putranya.

Seungwoo masih diam di tempatnya, tanpa seinchi pun beranjak. Mengelus surai Seungyoun sekali lagi, “Kakak balik dulu, dihabiskan ya kue berasnya.”

Seungwoo hampir saja memutar kenop pintu ketika lengannya ditahan, diberikan olehnya satu rantang kecil.

“Tadi aku siapin sambil ngangetin kue beras. Itu sarapan, dimakan.”

Seungwoo tidak mampu menahannya lagi, mengambil Seungyoun dalam dekapannya. Memeluknya seerat yang ia mampu, ia rindu sekali.

Rindu pada Seungyounnya.

“Lepas, Kak. Sana balik!” Seungyoun memutar gagang pintu setelah Seungwoo melepaskan pelukannya, mempersilahkannya untuk keluar.

Seungwoo bergeming, memilih meletakkan rantang kemudian menutup pintu kembali, dari dalam.

“Masih pengen di sini. Ga boleh ngusir, mau minta bayaran kue beras sama macaroni schotel.”

Seungyoun kesal, memilih meninggalkannya untuk mengurus Eunsang. Mengabaikannya setiap Seungwoo mengajaknya mengobrol.

Seungyoun tahu dengan pasti. Ia tak mampu melawan hatinya untuk tak membiarkan Seungwoo tinggal.

Seungyoun hanya mampu berharap di kemudian hari. Agar selalu mawas diri. Menjaga hatinya dari duri.

Semampu yang ia ingini.

Untuk hari ini, hanya untuk hari ini. Ia ingin merasakan hawa Seungwoo di sekitarnya.

'Hanya hari ini.' Seungyoun berucap dalam hati.

.

.

©coffielicious