Nasi Campur-
Pukul 03.15 dini hari. Terbangun kembali, sebelum ia nyenyak merebahkan diri. Menengok malaikat mungilnya yang masih terlelap damai.
Duduk sejenak untuk mengambil minuman di atas nakas. Meminumnya seteguk dan kembali berbaring.
Ia bersenandung pelan ketika sejenak putra mungilnya terusik di sampingnya. Menepukkan tangannya pelan pada punggung sempit malaikatnya. Agar ia kembali pada alam mimpinya.
.
.
Bulan-bulan awal Youn memiliki buah hati adalah hal yang campur aduk, sangat.
Bulan pertama, masih dibantu oleh Mama Cho untuk mengurusnya, apapun itu. Ada suster memang, tetapi kan tidak selalu.
Youn juga terkadang terkena baby blues.
Jinhyuk menolongnya, Youn bisa sedikit demi sedikit lebih baik.
Bulan ke-dua, kerlingan netra milik putranya membuatnya tersenyum sumringah. Mendengarkannya berceloteh tanpa silaba adalah melodi yang ingin Youn dengar setiap hari.
Bulan ke-tiga ia mampu mulai berteriak gaduh ketika Youn selesai memandikannya, tak mau sama sekali diangkat dari air. Youn gemas, menggenggam jemari mungil milik putranya. Mengecupinya.
Bulan ke-empat, Youn kaget ketika putranya memilih tengkurap dengan sendirinya. Youn bertepuk tangan ceria. Meloncat tanpa ampun.
Oh! Dua-duanya menggemaskan.
Bulan ke-lima, putranya belajar duduk sendiri. Pernah satu kali, Youn lumayan ceroboh. Eunsang duduk tanpa sandaran dan ia menyusrukkan diri. Tetapi untunglah Mama Cho memberikan bantal di sekitar Eunsang.
Bulan ke-enam, ia benar-benar bisa duduk sendiri. Oh, Tuhan, keajaiban apa lagi.
Bulan ke-tujuh, ia mulai merangkak, mengambil barang dari satu tempat ke tempat lain. Makin memiliki silaba untuk berceloteh, mencari atensi Youn untuk memperhatikannya.
Bulan ke-delapan, Youn menangis. Eunsang mampu mengucap kata pertamanya.
Awalnya Youn tidak memperhatikan. Tetapi saat Youn mendengarkannya dengan baik. Ia mengusap telinganya hingga memerah, memastikan apa yang di dengar itu benar.
“Pi.”
Youn masih denial.
“Pipi.”
Youn terlonjak, ia menatap putranya bungah. Mengerjab tak percaya.
“Ulangi, Sayang.”
“Pipi.”
Youn mengangkat putranya tinggi-tinggi. Mengecupi pipinya tanpa ampun.
“Esa memanggilku Pipi. Mama! Lihat!”
Youn menggendong Eunsang sambil berlari riang.
Ah, manisnya.
Bulan ke-sembilan, satu gigi muncul di gusi eunsang. Menyembul malu-malu. Youn pernah sekali digigitnya, ketika ia iseng memasukkan telunjuk ke mulut putranya. Ia menjerit heboh, ditertawakan oleh mama Cho kemudian.
“Ulangi saja, Pi. Biar telunjukmu makin pendek.”
Pipi- panggilan untuk Youn sekarang.
Bulan ke-sepuluh, pertama kali Youn membawa Eunsang ke tempat kerja. Dikerubungi oleh teman teman sekantornya. Eunsang tertawa riang.
Ngomong-ngomong ia mulai berjalan, satu dua langkah.
Youn menangis haru. Melihat Ensang meraihnya langkah dengan kaki mungilnya. Terseok namun tak pantang menyerah. Tertawa menunjukkan dua gigi kelinci yang menyembul.
Merentangkan kedua tangannya untuk Eunsang raih, dalam dekapan ia memutarnya riang.
.
Teman-teman sekantornya iseng sekali, tetapi Youn senang. Melihat Eunsang yang lebih aktif daripada biasanya.
Ada yang hampir memasukan biskuit nextar. Ada yang ingin menculiknya.
Bahkan saking isengnya, Eunsang dibawa ke atas mesin fotokopi. Hampir saja Eunsang terkena sinar fotokopi, untung Youn lihat, huft.
Tetapi, mereka terlihat senang dengan kedatangan Eunsang. Atasannya pun menyambut baik, sempat menggendong sebentar malah.
Youn bersyukur, Eunsang memiliki orang orang yang menyelubunginya dengan kasih sayang.
.
.
Sekali waktu, Jinhyuk mengajaknya makan siang. Eunsang dibawanya, menggelendot tak mau lepas.
“Lu manjain Esa banget, Hyuk.”
“Lucu dia ini.”
“Ntar Wooseok cemburu, gue ogah ya.”
Jinhyuk tersenyum, mengambil tisu untuk mengelap sudut bibir Eunsang yang belepotan puding.
“Wooseok ngerti. Nanti mau kemana?”
“Mau belanja aja sih, mau beli makanan sama belanja bulanan.”
Jinhyuk mengangguk mengerti, “ntar gue anter.”
“Ga usah ih, biasa sendirian juga.”
“Gue maksa.”
“Serah lu dah.”
Youn menyuap makanan di depannya. Bergantian dengan Jinhyuk menjaga Eunsang yang masih suka berceloteh.
Mereka awalnya adalah teman satu organisasi. Kebetulan bertemu kembali di rumah sakit tempat Jinhyuk praktek. Dan sekarang sering sekali mengajak Youn keluar. Untuk sekadar makan ataupun jalan jalan.
Youn tidak keberatan, toh Eunsang senang bermain dengan Jinhyuk.
Yang membuat Youn tidak terlalu nyaman, Jinhyuk sudah punya Wooseok. Dan Jinhyuk selalu bilang bahwa Wooseok akan mengerti.
Jinhyuk tidak pernah tanya siapa papa Eunsang. Jinhyuk hanya menjaga Eunsang setulus yang ia mampu.
Youn diam, menelisik Eunsang yang memiliki beberapa bagian seperti papanya.
“Youn, mau belanja di mana?”
Jinhyuk mengambil tas berisi pakaian Eunsang dari tangan Youn. Mengalihkan pada lengannya. Sementara Youn menggendong Eunsang yang hampir lelap di lengannya.
“Di tempat biasa aja, Hyuk.”
Jinhyuk mengangguk, membukakan pintu penumpang untuk Youn masuk. Youn mengerling, “thanks.”
Jinhyuk mengangkat bahunya acuh.
“Jemput Wooseok bentar ya, biar lu nya ga risih.”
Jinhyuk berucap ketika sudah mendudukan diri di belakang kemudi, menelisik Youn melewati kaca atas.
“Nha, gitu. Kan enak juga kalo ada Wooseok, bisa minta pendapat.”
“Lha, emang gue ga bisa dimintain pendapat? Wah wah wah.”
“Kaga, sesat lu mah. Udah ah, ayo jalan.”
Eunsang terlelap, manis sekali. Youn mengecup pipinya pelan, gembil.
“Youn.”
“Hm?”
“Ga mau ngasih tau papanya Esa?”
Youn terdiam, seakan tidak siap dengan topik yang Jinhyuk bangun.
“Belum tau, belum ngobrol juga sama mama.”
Jinhyuk mengangguk mengerti.
“Lu bisa dateng ke gue kapan aja, gue usahain selalu ada waktu buat lu.”
“Vanilla bat, jir. Santai.”
“Youn?”
“Hm?”
“Makasih mau pertahanin Esa ya.”
Youn tidak menjawab, ia menelisik Eunsang yang semakin nyenyak.
Pikirannya melayang pada seseorang yang masih sering melintasi mimpi di malam lelahnya. Dengan kabur dan kurang ajar menghiasi bunga tidurnya.
“Kak Woo, apa kabar?” Bergumam dan mengecup pelan ubun-ubun malaikat mungilnya, “Kami rindu.”
.
.
.
©coffielicious