New Page
Seungzz
Genre : Fluff Rating : Menyerempet ke mature Warning : Married Life Side Pair : Seungseok
Merupakan cuilan dari WeiShin AU – Karma, milik kak Sherry
Merapikan ujung lipatan di kemejanya kemudian menoleh pada Wooseok yang sudah menawan di sampingnya. Hari ini mereka menghadiri pernikahan sepupu Wooseok, Kim Taeyong.
“Sayang, lihat siapa?”
“Itu teman kerja Bang Taeyong. Kaget saja, berbeda sekali dengan biasanya. Kemarin-kemarin setiap kami bertemu ia tampak sedikit kumal.”
“Wow, Seok. Your boyfriend literally here and you give your attention to other man… just, wow.”
“Cho Seungyoun, stop acting too much!” Wooseok menepis tangan Seungyoun yang hampir mampir ke pinggangnya.”
“Owkay, owkay. Galak sekali pacarku ini.” Seungyoun melipir mencari minuman, membiarkan Wooseok yang masih menggerutu dibelakangnya.
“Pacarmu ini, belum direstui keluarga Cho.” Wooseok manyun, kemudian bertolak pergi menghampiri kakaknya.
.
.
.
Seungyoun menyelesaikan lagunya dengan baik. Bersiap bertemu dengan Wooseok untuk brunch di salah satu fast food restaurant.
“Aku dilamar orang.” Wooseok memakan french toastnya.
“Hah?” Seungyoun hampir tersedak cola yang sedang ia minum. “Kau jawab apa?”
“Belum ada.” Wooseok mengusap ujung-ujung bibir Seungyoun dengan tisu di tangannya.
“Aku pacarmu, Seok. Kau masih ingin menerimanya?”
“Aku tahu, maka dari itu aku mengatakannya padamu. Kita sudah tiga tahun seperti ini, tanpa progress yang berarti. Ketika aku meminta satu langkah kedepan, kau terus menundanya. Aku juga butuh kepastian, aku tidak harus selalu menunggu, kan? Ditambah lagi, keluargamu yang mungkin sampai nanti tidak akan memberikan kita restu.” Wooseok menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menyilangkan kedua tangan di depan dada, dan pandangannya mengawang jauh.
“Aku masih berusaha, Seok.” Seungyoun membiarkan pandangannya terpaku pada Wooseok yang masih akan selalu menjadi pantulannya.
“Aku menghargainya, sangat. Dan aku berbicara denganmu tentang ini untuk agar Seungyoun juga ada usaha lebih lagi untuk memperjuangkan hubungan kita. Bukan hanya aku yang masih harus mencari muka di depan keluargamu. Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Usia kita sudah matang untuk melangkah ke jenjang selanjutnya, aku bahkan penasaran. Apa ada di benakmu untukmu menjadikanku pendamping hidup? Bukan hanya lagu, lagu, dan lagu.”
“SEOK!” Seungyoun meninggikan suaranya.
Mata Wooseok memerah, “Kau membentakku, Youn.” Ia mengerjabkan matanya cepat, “Kita sudahi saja, terima kasih merawatku tiga tahun kebelakang.” Ia berdiri, mengecup sisi kiri pipi Seungyoun dengan air matanya yang mengalir, “Sampai jumpa.”
Dan Wooseok benar-benar pergi.
.
.
.
Seungyoun masih berkutat dengan kopinya ketika sang mama menghampiri.
“Wooseok itu…” Mama Cho mengambil cangkir untuk membuat teh di samping Seungyoun yang masih berdiri di depan meja makan, “Bukan sekadar temanmu, kan?”
“Hm.” Seungyoun mengaduk kopi di cangkirnya setelah terdiam beberapa saat.
“Ada undangan pernikahan dia di meja, tapi bukan untukmu.”
“Youn tahu, Mama. Itu untuk Nathan, biarkan saja.” Beralih untuk mendudukkan diri di sofa, menonton kartun pagi hari.
“Kau tahu? Mungkin Mama tidak keberatan lagi dengan menantu lelaki atau perempuan.”
Seungyoun diam, memilih menyesap kopi dan membiarkan belakang tubuhnya bertemu dengan sandaran sofa. “Aku mau ambil sekolah musik ke luar negeri.”
“Sayang.. you hear me.”
“Yes, I am. Youn masih punya mimpi untuk Youn kejar, kalaupun memang Wooseok bukan jodohku, mungkin masih ada orang lain yang menungguku. Maaf Mama, mematahkan salah satu mimpi Mama tentang menantu yang cantik jelita.”
Mama Cho menghampirinya, memeluk putranya yang terasa mungil dalam dekapnya. “Im sorry too, Sayang. Sekarang Mama akan mendukung apapun keputusan Putra Mama.” Ada satu kecup yang beliau sematkan di ubun-ubunnya.
.
.
.
Seungyoun melangkah ragu, ia berbohong tentang pergi ke luar negeri kepada Wooseok. Pernah sekali ia melihat Wooseok dari jendela mobilnya, bercengkerama dengan lelaki jangkung dengan raut muka yang berbahagia. Ada rasa perih, pasti. Tetapi ada lega yang mendominasi. Ia menghela napas panjang, memasuki aula gedung pernikahan dengan membawa kado kecil tanpa nama, membiarkannya tertinggal dan kemudian melangkah, menjauh dari masa lalu.
.
.
.
Seungyoun menyelesaikan sekolah musiknya setelah beberapa waktu, dan selama itu pula ia sama sekali tidak tertarik dengan menjalin hubungan dengan siapapun. Yang ia lakukan adalah belajar di waktu siang dan membuat lagu di waktu malam hingga dini hari. Tak jarang ia akan menginap di studio miliknya selama beberapa hari. Hingga satu waktu sang mama menghampirinya memberikan kabar yang lumayan mengejutkan.
“Usiamu sudah kepala tiga, dan belum juga mendapat pasangan. Kemarin ada yang datang ke rumah sewaktu Youn masih di studio. Ia ingin melamarmu.”
“Wow, tahu Youn dari mana?” Ia memang agak takjub, karena bisa dibilang dunia Seungyoun berputar di kampus untuk sekadar berdiskusi dengan profesor, dan studio untuk mengutak-atik alat musik kesayangannya, atau terkadang café untuk merilekskan dirinya sendiri.
“Katanya, Youn pernah menemani anak kecil menunggu jemputan orang tuanya sampai lumayan larut. Bahkan sampai anak itu tertidur.”
.
Seungyoun mengawang, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika ia suntuk dan memutuskan keluar membeli makanan ringan di minimarket. Menemukan anak kecil berseragam dengan mata yang berkaca-kaca hampir menangis.
“Kenapa, Sayang?” Seungyoun berjongkok, menyamakan tingginya, mengira-ira umur anak lelaki yang menggenggam cangklongan tasnya begitu erat.
“Belum… hiks, dijemput.” Akhirnya tumpahlah air mata yang tadi menggenang.
“Shhh… Paman temani di sini, mau?” Seungyoun mendudukkan dirinya di tempat duduk yang disediakan pelataran minimarket. Membiarkan anak lelaki itu mengikutinya.
Anak itu mengusap kasar wajahnya untuk mengapus jejak air mata, “Ayah bilang, lelaki kuat tidak boleh menangis.”
Seungyoun tersenyum, menyodorkan satu botol mogu-mogu, “Mau?”
“Ada racunnya tidak? Ayah bilang jangan menerima pemberian orang sembarangan.”
Kali ini Seungyoun tertawa, “Kau pintar sekali,” Ia mengusak surai milik si anak lelaki yang ternyata begitu halus, “Kau tahu? Bukankah paman baru saja keluar dari minimarket?”
Anak itu menggangguk lucu, “Iya, jadi tidak ada racunnya ya?”
“Iya, Jagoan~. Apa paman boleh tahu siapa nama anak pintar ini?”
“Boleh! Han Eunsang! Namaku Han Eunsang, Paman!” ia berdiri, membungkukkan badannya dan mengulurkan tangan untuk Seungyoun jabat. Seungyoun mengambil tangan mungil itu, membiarkan kulit jemarinya bersentuhan dengan deriji yang lainnya. Ada getar yang menakjubkan yang mengalir dari tangannya. Ia tersenyum di sela-selanya.
Seungyoun bercengkerama dengan Eunsang, akhirnya tahu bahwa ayah Eunsang sudah meminta izin untuk menjemput agak terlambat karena beberapa hal. Dan Seungyoun juga akhirnya tahu bahwa sekarang Eunsang mulai duduk di kelas 2 sekolah dasar.
Seungyoun banyak tersenyum malam itu, hingga Eunsang mulai terkantuk dan ia beralih memangkunya. Ayah Eunsang datang agak lama kemudian, ia mengucap banyak maaf dan terima kasih, Seungyoun hanya mengangguk mengerti melihat setelan jas yang saat itu sudah terlalu kusut, juga air muka yang terlalu lelah, namun cahayanya berbinar ketika melihat Eunsang yang lelap dalam dekapnya. Seungyoun hanya melihat sekilas lalu dan pamit untuk undur diri, tanpa memperhatikan baik-baik.
.
.
.
.
Seungwoo melepas dasinya kasar, dengan cepat melajukan mobilnya ke sekolah Eunsang. Ini sudah terlalu larut, ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan ia tidak sempat meminta tolong kerabatnya untuk menjemput Eunsang. Ia memijat pelipisnya melihat gerbang sekolah sudah terkunci. Kemudian beralih pada minimarket di sebelahnya. Memperhatikan seseorang yang sedang memangku anak kecil, Seungwoo mengenal benar itu adalah Eunsang dari ranselnya.
Dengan terburu ia menghampiri lelaki yang terduduk di kursi yang tersedia di pelataran minimarket, memangku putranya yang tertidur. Ia tersenyum sejenak, kemudian berterima kasih yang hanya dibalas anggukan dan senyuman kecil.
Satu botol mogu-mogu yang tersisa setengah ia ambil dari genggaman Eunsang. Seungwoo agak memperhatikan lelaki tadi. Ia memangku Eunsang sembari mengelusnya, sebelumnya juga sepertinya memberikan Eunsang sebotol minum, menemani dan mengajaknya mengobrol. Karena Eunsang akan lebih cepat tertidur ketika lelah dan bercerita.
Juga… sepertinya Seungwoo agak mengenalnya dari seorang teman, Cho Seungyoun, bukan? Ia menemukan satu kartu nama yang tertinggal di bangku.
.
.
Hari-hari setelahnya, Eunsang terus menceritakan Paman Minimarket. Ia bilang bahwa Paman Minimarket adalah orang baik. Dan satu kalimat dari Eunsang agak mengganggu Seungwoo sepanjang hari.
“Ayah, apa Paman Minimarket boleh jadi Papa untuk Esa?”
Seungwoo tertegun, selama ini… ia kira ia cukup… he is enough for his only son. Tetapi, kali ini ia salah. Eunsang juga memerlukan untuk orang lain, untuknya, untuk mengisi waktu sebelum lelap atau sesudahnya.
Hingga dengan keberanian, ia mendatangi kediaman Cho, namun bukan lelaki itu yang ia temui karena masih berkutat di studio. Ia bertemu dengan Mama Cho, menyampaikan maksud untuk meminta Seungyoun menjadi pendampingnya.
Agak terburu, sangat. Tetapi di usia Seungwoo yang sekarang, bukankah lebih baik untuk sekalian menghabiskan sisa hidup bersama?
Ia diterima dengan baik oleh keluarga Cho, apalagi dengan Eunsang yang dengan kalem mulai berbaur begitu luwesnya.
Ia belum mendapat jawaban malam itu, namun mendapat kontak pribadi Seungyoun yang masih betah bertengger dilist contact nya.
.
.
.
“Paman Minimarket!!!!” Eunsang setengah berlari menuju snack truck.
Seungwoo agak tersentak dan tergopoh menyusulnya. Di tangannya masih ada botol kopi dan satu tas Eunsang.
“Esa… lain kali berjalan saja ya, Sayang.” Seungwoo mendekatinya.
“Esa suka rasa cherry, Paman!” Eunsang tidak menggubris Seungwoo, memilih berbicara pada lelaki yang berjongkok menyesuaikan tingginya. “Kalau Paman Minimarket suka rasa apa?”
Seungwoo melihat lelaki itu tertawa renyah, “Paman Seungyoun, Sayang… bukan Paman Minimarket. Dan… umm… Paman suka rasa strawberry.”
“Hehe… iya Paman Seungyoun.” Eunsang mengulurkan tangannya, hampir menyentuh rambut milik Seungyoun.
“Esa..” Seungwoo menangkap jemari mungil milik putranya. Dan hal itu berhasil menarik atensi Seungyoun.
“Oh, Tuan Han.” Seungyoun berdiri dari jongkoknya dan membungkuk sedikit.
“Seungwoo saja. Mau beli snack?”
“Ya dan anda sendiri? Menjemput Esa?”
“Iya, menjemput Esa sekalian mencari makan sore.”
Seungyoun hanya mengangguk, “Baiklah, kalau begitu... mungkin… saya permisi dulu.”
“Tunggu! Mau mencari makan bersama?” Seungwoo mengepalkan tangannya, mencegah gemetar yang terlalu kentara.
“Paman boleh makan bersama Esa?” Seungyoun menunduk dari berdirinya.
Seungwoo memperhatikan raut putranya.
“Mau!! Ayo Paman, kita mencari makanan yang banyaaaaaakkkk.” Mengangguk dan menggesturkan tangan dengan menggemaskan.
Seungwoo tersenyum, apalagi saat Seungyoun merapikan helai rambut di sekitar telinga Eunsang yang sudah lumayan panjang.
.
.
.
.
Mereka memilih udon, lumayan makan berat, tetapi tidak apa.
Seungwoo merapikan duduk Eunsang dan membiarkan menyiapkan makannya sendiri. Memberikan sedikit wijen dan juga kecap di samping nampannya.
“Kapan hari, saya mampir ke rumah keluargamu, Seungyoun.”
Seungyoun mengangguk, “Saya kaget sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin saya tanyakan… tapi mungkin saya menunggu anda untuk bercerita.”
“Ah… itu sebelumnya saya minta maaf. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba memintamu untuk menjadi pendamping hidup saya.” Seungwoo memperhatikan mimik Seungyoun dengan was-was. Namun mungkin Seungyoun hanya… terlalu tenang?
Seungyoun kembali mengangguk, “Dan lagi, dari mana anda mengenal saya?” “Dari Lee Sejin, anda pernah berbisnis dengannya.”
“Ah~ Sejin… sudah lumayan lama, ia meminta saya untuk mencarikan beberapa alat band.”
“Ya dan beberapa kali saya memperhatikan anda, maafkan saya, Seungyoun.”
“No need to, lucu saja ada yang memperhatikan. Dan apa yang membuat anda yakin untuk meminta saya, Tuan Han?” Seungwoo tersenyum, beralih pada Eunsang yang hampir memakan setengah mangkok udon miliknya. “Karena Esa memintaku untuk menjadikanmu sebagai Papanya.”
“Ah~ karena Esa.” Seungyoun mengangguk.
Mendengar nada Seungyoun, Seungwoo buru-buru berkata, “Bukan hanya karena Eunsang! Maksud saya……., saya juga tertarik pada Seungyoun.” Memelankan nada diakhir kalimatnya. Seungyoun tersenyum kecil, ”Jangan terlalu khawatir, Tuan Han. Saya tidak masalah. Dengan usia saya yang sekarang memang sudah matang untuk memiliki pendamping, tetapi kalau boleh tahu, kemana istri anda?”
“Kami bercerai empat tahun lalu, dan hak asuh Esa ada di tangan saya.”
Seungyoun menyeka kecap yang tertempel di pipi milik Eunsang, “Makan pelan-pelan... hm?”
Eunsang mengangguk patuh.
“Anda membesarkan Esa dengan baik, Tuan Han.”
“Terima kasih… I guess... dan bolehkan prefiks ‘Tuan’ dihilangkan? Anda bisa memanggil saya apapun, tapi tanpa kata ‘Tuan’.”
“Baiklah, Kak Seungwoo?” Seungyoun tertawa kecil.
“That’s better. Jadi, Seungyoun bagaimana dengan lamaran saya?”
Seungyoun menutup mulutnya setelah tersedak sedikit, “Hahaha! Astaga, Kak… bagaimana dengan udon ini agar dihabiskan terlebih dulu?”
Seungwoo menggaruk tengguknya canggung, memilih memilin udon dengan garpunya. “Ya… silahkan makan, Seungyoun.”
Hari itu berakhir mereka berpisah di persimpangan jalan.
.
.
.
Seungyoun membiarkan tas cangklongnya bergelantungan di bahu kanannya. Menemukan mobil lain di pekarangan rumah keluarga Cho, hanya menengok sebentar kemudian memijit antara kedua kelopak matanya, lumayan lelah untuk hari ini.
Sang mama menyambutnya dengan kalimat, “ Cepat mandi, calon suamimu datang.”
Seungyoun mengangkat alis heran dan mengangguk, kemudian memasuki rumah, melewati ruang tamu yang sudah terisi satu rombongan keluarga. Seungyoun menundukkan kepala, menemukan Eunsang yang bermain dengan legonya.
“Paman!!”
Seungyoun berjongkok, “Hai, Jagoan.” Ia usak surainya dan mencuri cubitan di pipi gembilnya.
“Paman baru pulang?”
“Iya Sayang, Paman boleh berganti baju sebentar?”
“Apa Esa boleh ikut?”
“Huh?” Seungyoun mengernyit, “Boleh saja, asal ayah mengizinkan.”
“Ayah, Esa boleh ikut Paman, kan?”
Seungyoun melihat Seungwoo tersenyum maklum, “Kalau tidak nyaman, tidak perlu, Seungyoun.”
“Saya membolehkan, Kak Seungwoo.” Seungyoun mengambil tangan Eunsang, “Ayo Sayang, temani Paman bebersih sebentar yaa...”
“Yeay, Ayo! Dada Ayaaahhh~~.” Eunsang melonjak gembira, menggamit jemari milik Seungyoun dengan erat, tak lupa senyum disematkan selebar yang ia mampu.
Seungyoun kembali membungkuk sedikit, kemudian bertolak pergi membersihkan diri.
.
.
.
Eunsang mendudukkan diri di atas kasur yang berlapiskan seprei biru langit, bermain dengan boneka berwarna oranye yang entah apa namanya.
“Sayang, Paman boleh mandi sebentar?” Seungyoun menenteng handuk di pundaknya.
“Boleh… Esa menunggu Paman di sini, sambil main ya, Paman.”
“Iya, cari yang Esa suka, hati-hati bermainnya.”
“Eh, Paman.”
“Ya, Sayang?”
“Esa mau menemani Paman Seungyoun mandi… Esa mau duduk di wastafel.”
Seungyoun mengerjab, menimbang kemudian, “Oke!” Meletakkan tangannya di bawah ketiak milik Eunsang, menggendongnya, membawa ke kamar mandi.
“Kamar mandi Paman luas sekali, Esa kapan-kapan mau mandi di sini.”
Seungyoun tersenyum, “Boleh saja, tetapi bukan di sini. Di rumah Paman saja.”
“Lho, ini bukan rumah Paman?”
“Bukan, Sayang. Ini milik Papa dan Mama Paman.”
“Ohhhh, rumah Opa dan Oma?”
“Hm? Opa dan Oma?”
“Iya, tadi Oma bilang kalau memanggil mereka, Opa dan Oma.”
Seungyoun mengangguk, mulai melucuti baju dan bertolak ke bilik mandi. Membiarkan Eunsang berceloteh dan sesekali menanggapi.
Seiring dengan aliran air shower membasahi tubuhnya, Seungyoun merenung. Apakah ini jalan hidupnya? Tidak masalah sebenarnya, setelah ditinggal menikah oleh Wooseok, Seungyoun tidak seterpuruk itu, lagipula ia masih memiliki mimpi yang perlu ia gapai.
Dengan cepat ia mandi, sesekali melirik Eunsang dan berbicara dengannya. Ia membiarkan Eunsang menurunkan diri sendiri dari wastafel setelah ia selesai, meminta Eunsang mencuci tangannya, dan keluar dari kamar mandi.
Seungyoun mengusak rambut basah miliknya sembari memilah baju yang nyaman dan enak dilihat.
“Paman tahu tidak? Ayah sedang galau.” Eunsang menggoyangkan kakinyaa yang menggantung di ranjang.
“Tahu dari mana kata ‘galau’, Sayang?” Seungyoun memakai sweatshirt maroonnya.
“Kakek memberitahuku, kalau ayah sedang galau.” Eunsang beralih mengambil rubrik dari atas nakas milik Seungyoun dan memutarkannya.
Seungyoun tertawa renyah, “Lalu kakek bilang apalagi?” Melemparkan handuk basahnya ke keranjang baju kotor di ujung ruangan.
“Kata kakek, ayah mau membalikkan hidup? Memangnya hidup bisa dibalikkan, Paman?” Eunsang turun dari ranjang dan menghampiri Seungyoun.
“Hahaha, itu istilah, Eunsang Sayang… nanti Eunsang ada waktu untuk belajar tentang istilah.” Seungyoun mengambil jemari mungil milik Eunsang setelah selesai membenahi penampilannya. “Ayo kembali ke ayah.” Eunsang mengeratkan jemari mereka, “Apa Paman juga ikut pulang sama Esa?”
“Belum sekarang, nanti kita bicara dengan semuanya dulu, hm?”
“Bicara apalagi? Kan Esa mau Paman jadi Papa untuk Esa.”
“Benarkah? Kalau misalnya Paman tidak mau, bagaimana?”
“Berarti Esa tidak boleh memaksa. Ayah bilang setiap orang punya hak, jadi kewajiban kita adalah tidak boleh memaksa orang lain kalau tidak mau.”
Seungyoun terperangah, “Belajar banyak sekali kamu ini, Sayang. Sudah berapa banyak buku yang Esa baca?” Berpikir bahwa Eunsang terlalu dewasa untuk seusianya. Baik dan tidak baik sebenarnya, tetapi menilik kebelakang, Esa hanya memiliki Tuan Han dan mungkin juga buku-buku yang menjadi teman bermainnya. Seungyoun mengusap surai Eunsang pelan, merasakan lebut dan tebalnya juga terawatnya.
“Esa banyak baca buku punya ayah yang ada di ruang kerja. Bukunya tebal, tidak ada gambarnya, judulnya modul.” Eunsang mengamati jemari mereka yang tertaut, “Tangan Paman Seungyoun hangat sekali, Esa suka.” Eunsang tersenyum, memperlihatkan dekik kecil yang lucu.
“Pantas saja… bacaanmu modul begitu, apa tidak bosan? Kalau begitu jangan lepaskan tangan Paman.” Mereka bergandengan menuju ruang utama. Masih banyak orang yang menunggu.
Seungyoun duduk tepat di hadapan Han Seungwoo, Eunsang mengikutinya dan Seungyoun beralih memangkunya.
Ada diam yang mengudara, Seungyoun masih memainkan helai rambut Eunsang yang sudah menutupi sebagian telinganya, menyampirkannya ke belakang.
Menghela napas sejenak dan memandang orang-orang di hadapannya.
“Bolehkah aku menunggu hingga Esa tertidur?”
Seungwoo menggigit pipi dalamnya kemudian menjawab, “Ya.”
“Esa sudah mengantuk?” Seungyoun membenahi duduk Eunsang di pangkuannya menjadi menyamping, membiarkan kepala Eunsang bersandar di salah satu bahunya.
“Belum, tapi apa Esa boleh memeluk Paman?”
Seungyoun mengangguk, “Tentu, sambil pejamkan mata, yaa…”
Eunsang menyamankan kepalanya dan semakin memeluk Seungyoun. Seungyoun menepuk-nepuk pantatnya mencoba membuatnya mengantuk dan tertidur.
Ruang utama masih hening, belum ada yang kembali membuka pembicaraan setelah Eunsang bernapas teratur di atas dada Seungyoun.
“Jadi… apa aku boleh meminta penjelasan lagi mengenai maksud kedatangan keluarga Han kemari?” Seungyoun melepas sandal milik Eunsang pelan-pelan.
Tuan Han memperhatikannya, “Kau menyayangi anak-anak dengan baik, Seungyoun.”
Seungyoun tersenyum, “Esa anak yang lucu, Tuan Han. Tidak ada alasan untuk tidak menyayanginya.”
“Seungyoun, apa kau mau menjaga Eunsang bersama Seungwoo?” Tatapan Tuan Han penuh harap.
“Tentang menjaga Eunsang… ya, saya mau. Hanya saja mungkin saya belum siap untuk menjaga Han Seungwoo.” Seungyoun berbicara hati-hati.
“Maksud Nak Seungyoun?”
“Menikah berarti juga saling menjaga pasangan, Tuan Han. Saya memang berencana memiliki putra tanpa siapapun di samping saya. Ketika dihadapkan dengan hal seperti ini, jujur… pada awalnya saya sangat bingung. Dunia saya berputar di kampus, studio, dan café. Saya sangsi terhadap apa yang saya hadapi. Saya belum sesempurna itu untuk seseorang. Dan saya masih takut pada satu hal tentang menghabiskan sisa waktu saya hidup dengan ‘orang lain’. Mimpi saya masih terlalu panjang, tetapi umur saya juga semakin berkurang. Saya, dengan kejujuran yang mampu saya utarakan, saya belum siap menjaga Han Seungwoo.”
Mama Cho menggenggam jemari Seungyoun yang menganggur, kebetulan beliau duduk di samping Seungyoun. “Kau belum ingin menikah?”
Seungyoun diam, menelisik obsidian yang masih tenang di hadapannya, perlahan Seungyoun lihat ia mengedip. Kemudian pemilik obsidian itu menghela napas. “Seungyoun tidak perlu menjaga saya, hanya Eunsang.” Seungwoo berkata pelan. “Saya mencoba mengerti tentang hal ini. Saya hanya sedang berusaha mengabulkan salah satu permintaan putra saya tentang adanya ‘Papa’ di keluarga kecil kami.”
Seungyoun mengangguk, “Kalau begitu, saya ingin menikah sebagai formaalitas dan juga saya ingin mengajukan beberapa persyaratan.”
Ruang utama kembali hening, menunggu Seungyoun meneruskan kalimatnya. “Syarat yang pertama, saya meminta Kak Seungwoo dan Eunsang pindah ke rumah saya.”
“Youn...” Mama Cho mengelus lengan atas milik putranya.
“Saya akan coba bicarakan dengan Esa.” Seungwoo berujar tenang.
“Syarat yang kedua, tidur di kamar yang terpisah.”
“Saya terima.” Seungwoo berujar dengan tegas.
“Syarat yang terakhir, saya masih belum ingin menggunakannya.”
Seungwoo menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. “Kalau begitu bolehkah saya mengajukan persyaratan juga?”
Seungyoun mengangkat alis, wow. “Baiklah.”
“Syarat pertama, sayangi Esa sepenuh hati.”
Seungyoun menjawab tanpa ragu, “Selalu.”
“Syarat yang kedua dan ketiga, akan saya pikirkan terlebih dahulu.”
Seungyoun tertawa kecil, “Oke. Jadi, Ma, Pa, Tuan Han dan Nyonya Han, dengan ini saya menerima lamaran Kak Seungwoo.”
Ada senyum lega yang mengudara.
.
.
.
.
Pernikahan mereka terlaksana 3 bulan setelah lamaran. Pernikahan sakral yang mengundang keluarga, kerabat dekat, dan teman-teman. Namun tetap saja banyak tamu undangan yang hadir mengingat Seungyoun yang seorang social butterfly dan Han Seungwoo yang kini membawahi banyak karyawan. Padahal mereka hanya ingin pesta kecil-kecilan. Tetapi tidak apa, membagi makanan gratis tidak ada salahnya.
Seungyoun dan Seungwoo sudah berganti baju dengan pakaian yang lebih casual untuk menyapa para tamu. Dengan kemeja berwarna biru, senada dengan setelan pas untuk putra kecil mereka, Han Eunsang.
Sedikit banyak Seungyoun mendapat bisikan tentang ‘kok dia mau dengan duda? Ya wajar, Han Seungwoo kan calon penerus perusahaan milik keluarganya.’ ‘Bukankah Cho Seungyoun itu produser terkenal, kupikir dia tidak mau menikah karena hanya lagu yang ia urusi.’ ‘kudengar Han Seungwoo akan menempati rumah milik suaminya setelah ini.’ ‘Hee, Cho Seungyoun yang ditinggal menikah oleh mantannya itu?’
Seungyoun menghela napas, inilah yang tidak ia suka dari banyaknya tamu undangan, akan banyak rumor dan hal-hal yang tidak seharusnya menjadi bahan obrolan. Baru saja ia akan berbalik, ia menemukan Han Seungwoo, yang kini berstatus sebagai suaminya di sampingnya, menelusurkan jemarinya dan tersenyum, “Jangan didengarkan, hm?”
Sengyoun tersenyum kecil dan mengangguk, “Di mana Esa?” perlahan memperhatikan tautan jemari mereka tanpa berniat melepas.
Seungwoo menunjuk dengan dagunya ke arah gerobak es krim. “Lihat anakmu mulai memakan es krim lagi.”
Seungyoun tertawa kecil, “Biarkan saja, ia sudah berganti pasta gigi dan juga gigi yang kemarin goyang sudah tanggal. Tidak lihat gigi kiri depan milik Esa ompong?”
“Aku melihatnya tadi pagi, aku menertawakannya dan ia merajuk.”
“Ya wajar sekali ia merajuk, Kak. Ditertawakan begitu.”
“Dia lucu sekali.”
Percakapan mereka mulai terbangun dengan ringan dan tidak begitu canggung. Tiga bulan kebelakang ini mereka banyak menghabiskan waktu bersama dan juga mengenal satu dengan yang lain. Seungyoun yang mulai mencoba membagi waktunya untuk Eunsang. Mencoba meringankan beban Seungwoo untuk sekadar mangantar jemput Eunsang ke dan dari sekolah. Seungyoun juga sempat protes dengan banyaknya les yang Eunsang ikuti. Pada akhirnya mereka berdiskusi dengan Eunsang apakah ia terlalu lelah mengikuti les atau tidak. Eunsang menjawab dengan jujur untuk ia ingin mengurangi les bagian pelajaran dan diganti menjadi les berenang. Tawa Seungyoun pecah ketika Eunsang dengan tidak sengaja membocorkan bahwa Han Seungwoo adalah lelaki dewasa yang belum bisa berenang. Wajah Seungwoo memerah menahan malu dan melontarkan beberapa alasan pembelaan diri. Seungyoun mengangguk masih dengan menahan tawa dan berkata “Tidak perlu les kalau begitu, di rumah Papa ada kolam renang, biar Papa ajari Esa berenang yaaa.”
“Kalau begitu Esa mau tinggal di rumah Papa saja.”
Secara tidak langsung mereka mengantongi persetujuan Eunsang untuk menempati rumah Seungyoun.
.
.
Mereka berpindah ke rumah Seungyoun setelah tiga hari pernikahan. Eunsang melonjak riang saat menemukan kolam renang biru di taman belakang rumah papanya.
“Pa! Esa mau berenang setiap hari saja!”
“Kita lihat nanti, Sayang.” Seungyoun meletakkan paperbag berisi kopi pesanannya yang baru datang.
Rumah ini sudah tertata rapi dari awal, kali ini bertambah dengan barang-barang milik Eunsang dan suaminya. Berbicara tentang suaminya, Han Seungwoo memperlakukannya begitu baik. Dengan pendekan singkat saja, Seungyoun sudah merasa nyaman. Dibalik kedewasaannya, terkadang Han Seungwoo juga menunjukkan tingkah kekanakan didepannya, mungkin karena memiliki Eunsang.
“Kak Seungwoo?” Seungyoun celingukan mencari keberadaan suaminya.
“Ya?” Ia muncul dari arah garasi, membawa satu box berwarna coklat.
“Apa itu?” Seungyoun menghampirinya.
“Cat tembok.”
“Untuk?”
“Mengecat kamar yang akan ditempati Esa, boleh kan?”
Seungyoun mengangguk, “Kenapa repot-repot membawa? Kita bisa belanja esok hari.”
“Persediaan di rumah lama kebetulan masih ada, Youn. Jadi kubawa saja.”
Seungyoun mengangguk, mendudukkan diri di kursi depan meja makan, “Aku membeli kopi, Kak. Kak Seungwoo kupesankan Americano. Untuk makan malam, mau pesan apa?”
Seungwoo menyusul Seungyoun duduk setelah selesai meletakkan box nya. “Terima kasih.” Mengambil satu cup Americano yang disediakan Seungyoun. “Aku bukan pemilih makanan, tapi sepertinya aku ingin kue terang bulan.”
Seungyoun tersenyum, “Oke kue terang bulan.”
“Papa!” Eunsang agak berlari menuruni tangga kayu hingga berdecit.
“Sayang, hati-hati.”
“Esa juga mau kue terang bulaaaannn!”
“Tidak ada kue terang bulan untuk Esa~.” Seungyoun menggodanya dengan jahil.
“Papa~ .” Eunsangnya merajuk, menggemaskan sekali.
Seungyoun tertawa gemas dan mengangkat Esa untuk duduk di pangkuannya.
“Esa berat, Youn. Kurangilah menggendong atau memangkunya.”
Seungyoun tersenyum dan mengangguk, “Iya Ayah~ Papa hanya gemas sekali dengan putra Papa satu ini...” mengecupi seluruh wajah Esa tanpa ampun. Dibalas dengan erangan geli dan tawa menyenangkan keduanya.
Seungwoo tersenyum, bahagia melihat mereka.
.
.
.
Hari-hari mereka terlaksana dengan baik. Di pagi hari, Seungwoo akan menyiapkan sarapan dan mengantar Eunsang ke sekolah untuk sekalian berangkat kerja. Seungyoun masih dengan kebiasaan lamanya. Ia akan bermalam di studio dan pulang pagi-pagi untuk bertemu dengan suami dan putranya, kemudian mengambil istirahat hingga tiba waktu menjemput Eunsang. Sorenya ia akan menemani Eunsang les atau mengajarinya berenang. Eunsang anak yang pintar, juga cepat mempelajari sesuatu, cukup cerdas pula untuk anak seusianya. Malamnya, Seungyoun dan Seungwoo akan bergantian menidurkan Eunsang, membacakan cerita atau sebaliknya hingga Eunsang terlelap. Eunsang sudah terbiasa tidur sendiri, namun terkadang akhir-akhir ini Seungyoun akan terlelap juga di sampingnya.
“Kau tidak sedang mengerjakan project lagu, Youn?”
Seungyoun menggeleng, “Entah… mungkin aku sedang suntuk, Kak.” Menggeser kursi meja makan untuk mengambil sebotol susu dan menenggaknya.
“Butuh liburan?” Seungwoo membalik ayam filletnya yang mulai menguning di atas wajan. Ini hari minggu mereka membiarkan Eunsang tertidur lebih lama.
Seungyoun mengedikkan bahu, “Tidak tahu.”
“Youn…”
“Ya?”
“Kamar kosong di pojok sana, akan kau apakan?” Seungwoo menunjuk satu ruangan di sebelah tangga yang belum berisi apapun. Satu ruang yang lumayan luas namun kosong.
“Belum tahu juga, Kak. Kenapa?”
“Kalau boleh memberi saran, bagaimana dengan menjadikan ruangan itu sebagai studio milikmu. Aku hanya khawatir ketika kau harus keluar malam dan pulang pagi. Tetapi kalau memang Youn tidak mau, ya jangan. Kalau memang harus pergi keluar, aku mengerti.”
Seungyoun mengangguk dan tersenyum, memperhatikan punggung tegap lelaki yang mengisi hari-harinya, “Aku menerima saran Kak Seungwoo. Mau menemaniku mencari alat-alat untuk mengisi studioku?”
Seungwoo hampir menjatuhkan spatula yang baru saja ia ambil.
“Hati-hati, Kak.”
Seungwoo mengulum bibirnya, “Shopping day?”
“Ya, bersama Esa.”
Dan senyum Seungwoo merekah, “Oke.”
.
.
.
.
Seungyoun membanting pintu kamar Seungwoo kasar. “Kenapa tidak menghubungiku jika Esa sakit?” Nadanya meninggi.
Alis Seungwoo naik sebelah, “Untuk apa?”
“Untuk apa Kakak bilang? Esa juga anakku!” Seungyoun memberang.
“Anak yang kau tinggal kencan maksudmu?”
“Aku tidak berkencan dengan siapapun!”
“Katakan itu pada dirimu sendiri Cho Seungyoun!”
“Jelaskan padaku dari mana aku berkencan Han Seungwoo!” Seungyoun hampir meraih kerah leher milik Seungwoo.
Seungwoo berkelit menjauh. “Eunsang memergokimu mencium seseorang di studio milikmu. Dan lihat hari ini, kau meninggalkan ponselmu, aku menelponmu berkali kali karena Esa mencarimu, dan apa yang kami dapat? Diantar pulang dan peluk cium. Aku memang tidak pernah melarangmu berkencan dengan siapapun, Youn. Hanya jangan lakukan itu di depan seorang anak yang kau klaim sebagai anakmu.”
“Aku tidak berkencan dengan siapapun Han Seungwoo!” Emosi Seungyoun masih menguasi, dalam pikirannya masih Eunsang yang terbaring lemah di kamar tidurnya.
“Lalu apa ini Cho Seungyoun!” Seungwoo membanting foto Seungyoun yang terlihat begitu dekat dengan seseorang, khas sejoli yang dimabuk cinta.
“Dari mana mendapat foto ini?” Seungyoun memungutnya, tersenyum kecil. Emosinya mereda.
“Untuk apa kau tau? Sekali lagi aku menegaskan, sebagai suami dan sebagai ayah Esa, aku tidak pernah melarangmu berkencan dengan siapapun, tetapi tolong jangan lakukan itu di depan Esa.” Kini berganti Seungwoo yang membanting pintu kamarnya sendiri, memilih merawat putranya agar segera sembuh dari panasnya.
Seungyoun menghela napas perlahan, memperhatikan beberapa lembar foto yang kelihatan baru, namun bagi Seungyoun ini memori lamanya. Ia tersenyum kecil, “Apa Han Seungwoo sedang cemburu? Ah mungkin karena Esa.” Meletakkan lembaran yang ia pegang di atas nakas. Beralih memperhatikan ruang kamar milik Seungwoo yang baru kali ini Seungyoun datangi.
Dulu, ruangan ini hanya berfungsi sebagai ruang wardrobe miliknya. Kali ini sudah berubah total, warna pastel lembut menjadi catnya juga beberapa tempelan dinding karya Eunsang, juga… foto pernikahan mereka yang Seungwoo pajang di samping rak televisi.
Seungyoun mendudukkan diri di ranjang kemudian berbaring, ia agak pening namun menikmati ini. Ada bau seungwoo di mana-mana. Tak terasa ia memejamkan mata dan terlelap perlahan.
.
.
Seungwoo mengusap wajahnya kasar. Panas Eunsang mulai turun, dan kini ia hampir uring-uringan karena tidak menemukan Seungyoun sama sekali. Ponsel Seungyoun masih di atas meja makan, tak ada juga makanan yang tersentuh. ‘Mungkin ia pergi.’ Pikirnya.
Mereka berbeda pendapat beberapa kali, namun kejadian tadi adalah yang pertama bagi mereka. Berteriak, bertengkar. Ini juga termasuk salah Seungwoo, untuk apa ia mengurusi percintaan suaminya, untuk apa juga ia semarah ini, bukankah ia terbiasa sendiri untuk mengurusi Eunsang.
Memilih beranjak menuju kamar miliknya setelah memastikan Eunsang tertidur, ia ingin membersihkan diri. Jasnya masih terpasang namun dengan dasi yang berantakan. Pikirannya berkecamuk. Pekerjaan akhir bulannya, Eunsangnya, dan Seungyoun-nya…
Seungwoo mengernyit heran, memastikan pandangannya. Seseorang yang berbaring di kasurnya ini… Cho Seungyoun, kan? Yang tadi bertengkar dengannya?
Seungyoun meringkuk, namun dengan selimut yang sudah berserakan, memeluk satu boneka snoopy miliknya.
Seungwoo mengulurkan jemarinya perlahan, menyingkap surai Seungyoun yang mampir di pipinya tanpa permisi. Lembut sekali, Seungwoo tersentak menyadarkan diri ketika tangannya mulai mengelus pipi suaminya. Hampir saja ia menariknya jika tidak ada jemari mungil lain yang menggenggamnya.
“Apa Esa sudah tidur?” Netra foxynya terbuka perlahan.
Seungwoo menarik tangannya canggung, namun Seungyoun menahannya. “Hm, baru saja meminum obat.”
Seungyoun menelusuri jemari panjang milik Seungwoo, “Maaf.”
“Tidak, aku yang seharusnya yang meminta maaf.”
Seungyoun tersenyum, menarik Seungwoo kuat-kuat hingga Seungwoo terbaring di sampingnya, menatapnya. Beradu muka dengannya.
“YA!” namun sama sekali tak mencoba bangkit.
Seungyoun tersenyum menatapnya. “Mau kuceritakan sesuatu?”
Seungwoo diam dan mengangguk, menunggu apa yang akan keluar dari mulut suaminya.
Seungyoun mengambil lembaran foto yang tadi ia letakkan di atas nakas, memilih salah satu dan menunjukkannya pada Seungwoo.
“Tolong jawab jujur, Kak. Siapa yang memberimu foto ini?”
Seungwoo menggeleng, “Aku menemukannya di atas meja kerja pagi ini.”
“Ah… pantas saja. Mungkin ada seseorang yang membenciku saat bersanding denganmu. Atau mungkin juga tidak sengaja meletakkannya di meja milikmu.”
“Maksudmu?”
“Ingat dengan seseorang yang pernah aku ceritakan sebelum aku masuk ke sekolah musik?”
Seungwoo mengawang, menggali pemikirannya tentang hal yang mungkin pernah diceritakan Seungyoun. “Em.. yang kau ditinggal nikah itu?”
“Ahahaha… ya ya ya yang aku ditinggal menikah karena terhalang restu dan juga keduluan orang lain.” Seungyoun mencebik. “Dia yang ada di foto ini, ini bulan bulan awal kami berpacaran, jadi wajar masih mesra sekali. Ini foto lama, tetapi mungkin ada yang mencetak ulang baru-baru ini.”
Seungwoo diam, melepaskan genggaman tangan mereka dan membalik badan, memunggungi Seungyoun.
“Ya, Han Seungwoo!”
“Diamlah!”
“Apa kau sedang malu?”
“Keluar saja kau Cho Seungyoun.” Suara Seungwoo teredam oleh tangkupan dua tangan yang masih setia di wajahnya.
“Lihatlah cupingmu memerah.”
“Enyahlah! Aku mau mandi.” Seungwoo berdiri dan beringsut ke kamar mandi. Seungyoun dengan tanpa dosanya mengikuti Seungwoo dan mengunci kamar mandi dari dalam.
“Ya! Apa yang kau lakukan?” Seungwoo mendorong Seungyoun untuk keluar.
“Menemanimu mandi…?”
“Tidak sekarang Cho Seungyoun!!!”
“Berarti kapan-kapan boleh?” Seungyoun mengerling, mendudukkan diri di atas wastafel, sama seperti yang Eunsang pernah lakukan.
“Turunlah, dan kita bicarakan ini nanti.”
“Kak…”
“Ya?”
Seungyoun menarik Seungwoo mendekat, membiarkannya mengukungnya. “Buat aku jatuh… dalam dekapmu.”
Seungwoo membuang muka dengan pipi hingga telinga yang memerah, “Akan ku usahakan.”
Seungyoun tersenyum, mengecup pipi Seungwoo dan melenggang keluar dari kamar mandi, “Bersihkan badanmu, kau bau sekali Pak Tua.”
“YA!”
Yang keduanya tahu pasti, saat berdekatan tadi, jantung mereka berdetak seirama.
.
.
.
Eunsang menyantap makan siangnya dengan canggung. Ini adalah hal yang langka ketika melihat ayah dan papanya menemaninya makan siang, karena biasanya hanya sarapan bersama itupun dilanjutkan dengan kegiatan masing-masing. Ini hari kerja, tetapi ayah dan papanya ada di rumah. Ayah yang memakai baju santai sedang menyesap kopi dan mengutak-atik tabnya. Papa yang memakai baju rumah andalannya sedang memotong pancake di hadapannya.
“Pa…”
“Ya, Sayang?”
“Kok di rumah?”
“Menemani Esa karena baru sembuh, Esa masih pusing?” Seungyoun menyodorkan secangkir teh hangat untuk putranya.
Eunsang menggeleng, “Ayah dan Papa tidak bekerja?”
“Ayahmu mengambil cuti hari ini dan Papa masih ingin menemani Esa.”
Eunsang mengangguk, mencoba mengerti.
“Esa Sayang… Papa ingin meminta maaf sewaktu Esa datang ke studio Papa. Saat itu mata Papa kelilipan dan dibantu oleh Oom Wonwoo. Esa ingat Oom Wonwoo?”
“Ingat, yang membelikan Esa boneka kucing.”
Seungyoun tersenyum dan mengangguk, “Maafkan Papa juga karena terlambat merawat Esa.”
“Tidak kok, Esa tahu Papa sedang sibuk.”
“Terima kasih, Sayang… setelah ini Esa istirahat siang yaa, masih ada satu obat untuk Esa minum.”
Eunsang mengangguk patuh, menghabiskan makan siang kemudian meminum obatnya. Seungyoun menggendong Eunsang ke kamarnya, memeluknya hingga terlelap.
.
.
.
“Esa sudah tidur?” Seungwoo membuka pelan pintu kamar putranya.
Seungyoun mengangguk, perlahan memindahkan kepala Eunsang untuk beralaskan bantal, membenahi selimutnya dan beranjak keluar.
“Ada apa?” Seungwoo menggeleng, mengambil pinggang Seungyoun untuk ia rengkuh. “Aww, apa ini Tuan Han Seungwoo?”
“Kau berhutang cerita padaku.”
“Cerita apa?” kali ini membiarkan badannya bertumpu pada suaminya.
“Ya, masih kesalahpahaman kemarin.” Seungwoo beralih mendekapnya.
“Kita membahas itu lalu akan berakhir membicarakan banyak hal dan melenceng jauh kemudian berdebat hal tidak perlu… yang perlu kau tau, Tuan Han… aku pernah ditinggal menikah oleh mantanku dan sempat tidak ingin menikah.”
“Lalu mengapa kau menerima lamaranku?”
Seungyoun mengulurkan jemarinya, mengusap kelopak obsidian milik suaminya, “Kau pernah memberikan roti kesukaanmu pada seorang kakek tua di pagi hari. Padahal kau sudah mengantri lama dan hampir terlambat ke kantor, belum sarapan pula.”
“Huh?”
“Ingat gedung studioku yang lama?”
Seungwoo mengangguk, mencoba menggali ingatannya.
“Kan dekat dengan sekolah Esa, kurasa kau sedang mengantarkan Esa waktu itu. Kasihan sekali Esa sudah kau sekolahkan dari balita, tetapi di sisi lain aku bersyukur sih. Dan kau juga memberikanku saran tidak sengaja untuk membeli kado pernikahan untuk Wooseok.”
“Apa?”
“Di toko bunga kering waktu itu, bunga yang cocok untuk cinta abadi meski tak saling memiliki, kau di sampingku, berkata pelan, bahwa edelweiss kering cocok. Bunga abadi meski jumpa sesekali dan tak saling memiliki.”
“Kau memperhatikanku selama… itu?”
Seungyoun melingkarkan lengannya pada pinggang Seungwoo, menyamankan dagunya pada salah satu pundak Seungwoo.
“Ya.. terkadang aku akan iseng menunggumu di depan sekolah Eunsang untuk melihatmu, saat setelah kau bercerai dengan istrimu, aku tak melihatmu untuk waktu yang lama. Aku tak memiliki clue apapun, jadi aku diam.”
“Bukankah kau memiliki banyak koneksi?” Seungwoo menelusurkan jemari pada surai halus milik Seungyoun.
“Aku hanya tidak ingin menggunakannya, aku ingin bermain dengan takdir, bagaimana sekiranya jika memang kau jodohku.”
“Lalu dengan ketidakpercayaanmu akan pernikahan?”
“Aku mungkin tidak akan menikah, jika tidak denganmu, Han Seungwoo.”
Seungwoo mengangkat Seungyoun untuk duduk di atas meja makan marmer. Membiarkan obsidiannya menelisik jauh pada manik foxy di depannya.
“Maaf… aku menemukanmu lebih lama.”
Seungyoun menggeleng, bermain dengan cuping telinga suaminya, kemudian mendongak, mempertemukan kedua belah bibir mereka untuk saling melumat, membiarkan mencecap rasa satu dengan yang lain, mengabaikan saliva yang menetes berantakan, dan tidak mempedulikan bagaimana surai mereka kian masai.
Seungyoun menepuk dada Seungwoo setelah beberapa lama. Dan tautan mereka terputus, menutupnya dengan satu kecup yang terkulum senyum.
Seungwoo menyatukan dahi mereka, semakin menyelami netra jernih pemilik sebelah jiwanya.
“Lalu apa maksudmu dengan persyaratan yang kau ajukan sebelum kita menikah, Cho Seungyoun? Menempati rumah yang sama namun kamar yang berbeda?”
“Aku memimpikan rumah ini untuk kutempati bersama denganmu, bonus juga dengan malaikat kecil kita. Dan untuk kamar yang berbeda, aku takut kelepasan… karena aku bukan tipe orang yang pintar menahan.”
Seungwoo mengerjab, “Ingin berbulan madu?”
Seungyoun menelengkan kepala, “Dan dengan kau menghancurkanku?”
“Tidak, aku ingin membawamu ke langit ke tujuh.”
Seungyoun tertawa, memberikan satu kecup pada bibir Seungwoo, “Tidak sekarang, Tuan Han. Selesaikan pekerjaanmu, dan ayo rencanakan matang-matang untuk kali ini.”
“Merencanakan memberikan adik untuk Esa?”
Seungyoun mengangguk, “Kalau itu maumu, ayo saja.”
“Tidak perlu kalau begitu.”
“Kok tidak perlu?” Seungyoun mengernyit.
“Aku mau jika kau juga mau, Cintaku.”
“Aku mau, Han Seungwoo. Mari rencanakan yang terbaik untuk kita dan malaikat kecil kita.”
Seungwoo mengangguk, membawa Seungyoun kembali dalam pelukannya.
“Anyway, Han Seungwoo aku masih memiliki slot syarat terakhir.”
“Hm, kudengarkan.”
“Jangan berhenti jatuh cinta untukku.”
Seungwoo mengangguk, mengecup ubun-ubun Seungyoun dan mengangkatnya dari atas meja.
“Mau menemani Esa beristirahat?”
Seungyoun sudah lebih dulu berlari ke kamar milik putranya, menelusupkan diri ke dalam selimut, membiarkan Seungwoo menyusulnya dengan mendekapnya dari belakang.
Langit hari ini mendung, namun berbeda jauh dengan suasana hati mereka yang merekah.
“Sleep well lovelies…”
Eunsang tersenyum dalam tidurnya.
.
.
.
.
.
kkeut
Henlo! Wawa di sini! AU ini ditulis dari cuilan AU Weishin punya kak Sherry. Terima kasih kak Sherry telah memberikanku izin untuk mengambil dunia Seungyoun dalam dunia AU milikmu.. hehe.
Maaf jika tidak sesuai ekspektasi yaaa…. Terima kasih telah membaca sampai di sini… sampai jumpa dan selamat menjalani hari~ :)
@coffielicious