Odeng-

Masih terlalu pagi, aku meraba seberang ranjangku, hangat. Kemudian menemukannya menghadap ke luar jendela. Bahunya tegap, lengannya bersilang di dada bidangnya.

Suamiku, Han Seungwoo.

“Mikir apa?”

Aku menghampirinya perlahan, melingkarkan lenganku di perutnya. Memeluknya dari belakang, mengistirahatkan salah satu pipiku di punggungnya.

“Lho, udah bangun?”

Ia menangkup kedua tanganku yang melingkar, bermain dengan jemariku.

“Iya, udah. Mikir apa? Kayanya serius banget.”

Ia membalikkan tubuhnya, memilih memelukku dalam dekapnya, bibirnya menyentuh ubun-ubunku, lembut sekali.

“Masa depan?”

Ia menjawab ragu. Memilih menangkup kedua pipiku dan kali ini mengecup ujung hidungku.

Aku mengerjab, mencari jawaban di matanya, namun nihil.

“Aku mau masak dulu.”

Ia melepaskan pelukannya, tak lupa cubitan mungil ia mampirkan.

.

Aku tidak tahu, sungguh. Kami menikah satu setengah tahun yang lalu. Tetapi sama sekali, aku malah merasa kosong?

Kami berpacaran sekitar 2 tahun yang kemudian ia menginggalkanku cincin sebelum ia mendapat panggilan kerja. Yang membuatku menunggunya sama 8 bulan.

Ia selalu mengabariku, tentang apapun. Tetapi mengapa aku merasa ada yang mengganjal?

Apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak mampu merabanya sama sekali.

Tetapi, jika boleh berprasangka. Apakah suamiku memiliki orang lain di sana? Memikirkannya membuatku ingin sekali menangis.

.

Aku menuang sup ikan yang baru saja matang. Memanggil suamiku untuk sarapan bersama.

“Seungwoo.”

“Hm?”

“Aku dapet tawaran job deh, tapi di kota besar.”

“Ambil aja, Sayang.”

“Maksud aku, aku harus pindah ke sana beberapa tahun. Menetap, Woo.”

“Oh, ya udah aku ngikut.”

“Woo... aku galau dari kemarin pengen ngomong dan jawaban kamu begini?”

“Begini? Kamu kecewa sama jawaban aku?”

Seungwoo menyesap air hangat yang kupersiapkan. Meletakkan sendok dan garpu miliknya. Menatapku dengan netra jernihnya.

“Bukan kecewa, haha. Kaya sia sia banget aku galau lama lama.”

Seungwoo tersenyum teduh. Mengusap suraiku pelan.

“Terus, kerjaan kamu gimana?”

Seungwoo beranjak untuk meletakkan piring kosongnya di wastafel. Berbalik untuk kembali menghadapku.

“Inget kan, aku pernah di sana 8 bulan lebih. Jadi, kayanya aku juga perlu ngurus pindahan. Mungkin aku bisa ngajuin diri buat kerja di sana lagi. Masa ngebiarin istri aku sendirian.”

Ia mengatakannya, menatapku, tersenyum. Aku menirunya, memberikan senyumku untuknya. Menghalau segala prasangka buruk yang seharusnya sama sekali tidak kulakukan.

.

.

Tidak segampang itu, kami mengurus kepindahan hampir 5 bulan. Awalnya orangtua kami masih melarang, tapi Seungwoo mampu meyakinkan. Mengatakan bahwa kami harus baik-baik saja.

.

.

Seungwoo adalah lelaki terbaik yang pernah aku kenal, aku mengenalnya di tahun terakhir kuliahku.

Aku memilih mengatakan padanya lebih dulu, bahwa aku mencintainya. Dan ya, kami berpacaran. Aku adalah orang paling bahagia yang bisa dipinang Seungwoo setelah lika-liku jalan yang kami lalui.

Kali ini, aku boleh berharap kepindahan kami ke kota besar akan baik baik saja, bukan?

.

.

©coffielicious