Ojingeo Bokkeum─
Kembali mengemudikan mobil dengan tergesa, dengan tempat tujuan yang sama, namun dengan kasus yang berbeda.
Mengecupi kening Eunsang dalam dekapannya, panas. Badan Eunsang panas sekali.
Mengusap air matanya yang masih mengalir, tanpa mau berhenti.
“Sebentar, Sayang, sebentar lagi kita sampai.”
.
Masih di IGD yang sama, lalu lalang yang membuatnya semakin kalut.
.
Eunsang demam tinggi sedari kemarin, Seungyoun sudah melakukan semua hal yang ia mampu.
Memarutkan bawang merah untuk ia balurkan pada punggung sempit Eunsang. Memberikannya madu dengan air hangat, mengompresnya sehari semalam, hingga mendekapnya di atas dadanya, skin to the skin.
Namun sudah hampir 24 jam berlalu, demam Eunsang sama sekali belum turun. Makanan yang Seungyoun suapkan selalu ia muntahkan, wajahnya memerah, bibirnya pucat, sayu.
Seungyoun menangis ketika Eunsang sama sekali tak membuka mata saat ia coba bangunkan. Menyambar perlengkapan Eunsang dengan tergesa. Mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, mendekap Eunsang sebegitu erat.
Menemukan jam digital di dashboard mobilnya menunjukkan pukul 23:19 ketika mengemudi ke rumah sakit, lumayan larut.
.
Administrasinya ia urus secepat mungkin, dokter memindahkan Eunsang ke ruangan khusus. Ia diminta untuk menunggu setelah dokter bertanya beberapa hal.
Ia mendengarkan penjelasan dokter dengan saksama, mengangguk mengerti dalam kekalutannya.
“Berhenti khawatir, Tuan. Putra anda kuat sekali. Hanya mungkin ia kaget dengan perubahan suhu yang ekstrim, juga sepertinya beberapa gigi belakangnya akan tumbuh. Anda sudah melakukan hal yang baik dan benar. Tidak terlambat, putra anda akan segera sembuh.”
Senyumnya menenangkan, Seungyoun menghembuskan napas lega.
Memilih undur diri untuk menemui putranya.
Menyusuri lorong sepi nan lengang. Bau obat-obatan mengudara.
Memilih berbelok ke kantin rumah sakit, sejenak mencari seteguk air untuk membasahi kerongkongannya.
.
Menemukan putranya terlelap damai. Menempatkan punggung tangannya pada dahi Eunsang. Menghela napas lega, demamnya lumayan turun, hanya perlu diinfus untuk mengganti makanannya sejenak.
Mendudukan diri di kursi yang tersedia, mengulurkan tangan untuk membelai surai putranya. Menyenandungkan pengantar tidur. Suaranya melirih.
Merebahkan kepalanya, tangannya menggenggam jemari mungil milik Eunsang.
“Pippi dengan Eunsang, bersama, menghadapi dunia.”
Kesadarannya makin menghilang, mencoba mencari mimpi di dunia yang ia bangun sendiri.
.
Tepat pukul 02:15, Seungyoun terbangun, dengan badannya berpindah di sofa ujung ruangan. Menemukan orang lain di ruangan putranya.
“Hyuk.”
Jinhyuk beranjak dari kursi, mendekati sofa tempat Seungyoun berbaring. Mengangkat kepalanya pelan, menempatkan pada pahanya sendiri.
Mengelus surai Seungyoun, menenangkan.
“Lu baru tidur dua jam. Tidur lagi aja, shift gue udah abis.”
Seungyoun memiringkan badannya, wajahnya ia hadapkan pada perut Jinhyuk, mencari kenyamanan.
Lengannya ia kalungkan di pinggang lelaki yang memangku kepalanya.
“Kok tau gue di sini?”
“Tadi ada yang bilang.”
“Esa demam, gue takut. Gue takut banget, Jinhyuk. Gue takut ga ketemu dia lagi,” isakkan kecil terdengar oleh Jinhyuk.
“He’s fine now. Sekarang dukungan lu biar dia makin kuat, sama kaya yang selalu lu bisikkin ke Esa tiap mau pergi tidur kan? Pippi, Eunsang, paman Jinhyuk, paman Wooseok, dan mama Cho, bersama menghadapi dunia.”
Senyuman Seungyoun ia rasakan. Tangannya masih mengelus surai Seungyoun lembut.
“Mau cerita sesuatu? Lu keliatan lesu banget, Wooseok curhat kemarin.”
Seungyoun makin mendusel, “ntar aja, gue mau tidur. Lu ga boleh pergi.”
“Iya, iya.”
Elusan pada surainya tidak berhenti, juga tepukan kecil pada punggungnya ia rasakan. Semakin menyamankan diri, kembali pada alam mimpi yang sedari tadi ia dambai.
.
Seungyoun baru saja mengambil makan siang yang ia pesan di pelataran rumah sakit. Sementara waktu, ia tinggalkan Eunsang bersama mamanya. Mama Cho datang pagi tadi.
“Youn,” ia berdiri menjulang di hadapannya.
Seungyoun tak menggubris, bertolak untuk mengacuhkan.
“Gue minta maaf.”
Lengannya ditahan oleh yang lainnya.
“Please, let me ask an apologize. Gue salah, gue minta maaf, Youn.”
“Ya,” melepaskan jemari yang mencengkeram lengannya, namun tak berhasil.
“Kita perlu ngobrol sebentar.”
Tarikannya kuat, Seungyoun tak kuasa melepaskannya.
.
Taman rumah sakit sepi. Lelaki tadi membawanya kemari.
Seungyoun diam, memilih untuk beranjak berhadapan, meluncurkan bogemnya pada salah satu wajah lelaki di depannya.
“Ouch.”
Memutar pergelangannya.
“Udah puas?”
Seungyoun menamparnya keras, netranya berkaca ketika bersibobrok dengan yang lainnya.
“Ga puas, Kak. Ga akan pernah.”
Jemarinya bergetar hebat, menjatuhkan plastik makanan yang tadi dibawanya.
“Gue benci, Kak, benci banget.”
Lelaki yang lebih tinggi mengambil Seungyoun ke dalam dekapan miliknya, menguncinya meski mendapat penolakan.
“Ceritain tentang Esa.”
“Ga. Lepasin gue sekarang, kalo lu Cuma mau ngobrolin ini, mendingan ga usah.”
“Gue minta maaf, ga seharusnya gue ngomong begitu. Maafin gue selalu nyakitin lu, Youn,” dibawanya Seungyoun duduk di bangku terdekat. Mengambilkan plastik yang tadi ia jatuhkan. Menggenggam jemari mungil milik yang lainnya yang langsung mendapat penolakan telak.
Seungyoun diam, tak ingin menanggapi apapun.
“Maafin gue, yang seharusnya dari awal ga ada di kehidupan lu. Maaf karena ga pernah jujur tentang Kim, istri gue. Maaf selalu narik ulur. Maaf gue buta tentang Esa. Maaf karena sempat hampir ngerebut Esa dari lu. Gue minta maaf Youn, tentang semuanya.”
Seungyoun berdiri, “udah kan? Gue balik.”
“Youn, hari ini istri gue operasi.”
Ada diam yang menguar jauh diantara mereka.
“Semoga lancar, Kak. Dan gue berharap, ini pertemuan kita yang terakhir. Kakak udah punya keluarga kecil yang harus Kakak jaga baik-baik. Gue juga punya keluarga kecil yang harus gue jaga.”
Menghela napas,
“Jadi, gue berharap banget kalo suatu saat kita papasan, anggap lu ga kenal gue. Anggap kalo kita ga pernah ada sesuatu. Anggap kalo kita orang asing. Jangan pernah temui gue secara sengaja.”
Seungyoun mengambil plastik yang masih dalam genggaman Seungwoo.
“Dan lagi, gue, lu, ga pernah jadi kita. Kak Woo sama kehidupan kakak. Youn sama hidupnya Youn. Makasih pernah ngasih Esa. Makasih buat ngasih Youn temen di hidup Youn selamanya.”
Seungyoun berdiri.
“Kak Woo, gue udah bahagia, dan tugas Kakak sekarang cuman bahagia. Lupain Youn, Kak.”
Mengambil tangan lebar milik Seungwoo untuk ia genggam.
“Buat kali ini, buat yang terakhir. Youn sayang Kakak.”
Menempatkan telapaknya pada pipi miliknya, merasakannya nyaman, namun bukan miliknya.
Jemari Seungwoo mengelus pipinya, Seunyoun tersenyum sembari memejamkan matanya.
Merekam perasaan untuk ia kunci dalam kotak yang ingin ia buang seluruhnya.
“Sampai jumpa, Kak Woo.”
Netranya menatap obsidian di depannya. Tersenyum menyakitkan, tak ingin sedikit sekali luntur.
Seungwoo menariknya dalam pelukan.
“Maaf, Youn, maaf.”
Seungyoun mengelus surai Seungwoo, menariknya pelan.
“Jaga Nona Kim baik-baik.”
Mengecup dahinya halus, seakan mengucap perpisahan.
“Youn, tolong.”
“Ya?” Sabar, Seungyoun menjawabnya, melepaskan dekapan yang membelenggu, melindungi diri sendiri dari duri yang tak lagi ingin ia lalui.
“Gue boleh ketemu Esa, sekali lagi?”
Seungyoun mengerjab, “Ya, sekali.”
Seungyoun berbalik, berkata di balik punggungnya.
“Sekali, Kak. Dan jangan pernah temui Esa lagi.”
Berjalan menjauh, menjauh dari luka, menjauh dari semua yang mampu menyakitinya.
“Biar Youn lepas Kak Woo baik-baik, sampai jumpa.”
Senyum untuk yang kesekian kali, kemudian benar benar pergi.
.
.
©coffielicious