Rainbow Cake ─

.

Part of Kue Beras AU

.

.

Seungyoun panik di suatu pagi. Menemukan Eunsang dengan beberapa bintik merah memenuhi punggungnya. Ditambah dengan Eunsang yang merengek gatal.

Berpikir, apakah ia salah mencuci baju? Ataukah Eunsangnya salah makan? Atau tempat tidur?

Seungyoun membalurkan bedak guna meredakan gatal di punggung Eunsang.

“Ppi, hiks.”

Jemari mungilnya yang tak sampai ke punggungnya, meminta ia gapai. Netranya memerah.

“Ya, Sayang?”

Putranya beringsut mendekatinya yang sedang duduk di sofa. Mengusak dada pippinya, “gatal.”

“Kemarin Esa main sama siapa?”

“Hm?” Putranya mendongak, menatapnya polos.

“Esa kemarin main sama siapa, hm?” Seungyoun bertanya sabar. Membawa Eunsang ke dalam pangkuannya. Menelantarkan beberapa artikel yang sedang ia baca.

“Lupa.” Hidung Eunsang semakin memerah, pun dengan matanya karena menahan tangis.

“Kemarin Esa main di kebun?” Jemarinya ia bawa untuk mengelus pipi gembil Eunsang.

“Huum,” angguknya.

“Digigit sesuatu ngga?”

“Ngga tau, gatel.”

Seungyoun membuka kaos yang dikenakan oleh putranya. Mungkin digigit serangga ketika di kebun. Ia sudah menghubungi Jinhyuk tadi dan hanya perlu bedak juga pakaian bersih untuk Eunsang.

“Buka dulu ya, kaosnya. Pippi ganti yang baru.”

Eunsang mengangguk patuh, mengangkat kedua tangannya agar Seungyoun membantu melepaskan kaus mungilnya.

Seungyoun berakhir menggelitiki perut Eunsang karena gemas.

“Aaaaaaa, Ppi udaahh.”

Seungyoun menyengir tak berdosa, dasar jahil.

“Sayang, besok kita ketemu eyang. Mau ngga?”

“Oom Woo juga?” Kerlingnya lucu sekali. Berkilauan sirat kebahagiaan polos yang kentara.

“Iya, sama oom Gyul juga.”

“Mau, Esa mau pelmen.”

“Lihat coba sini giginya Esa.”

Seungyoun beranjak sejenak untuk mencuci tangannya dengan air matang sembari membawa Eunsang dalam gendongan. Membuka mulut Eunsang untuk memeriksa giginya.

“Boleh makan permen, setelah itu sikat gigi ya.”

“Huum.”

Eunsang turun dari gendongan Seungyoun. Memilih berlari untuk kembali berkutat dengan permainannya tadi.

“Ppi, Esa mau gambal, boleh?”

“Boleh, di mana?”

“Sana.”

Eunsang menunjuk tembok yang masih bersih, di sekitaran dinding yang sudah berwarna-warni tercoret.

“Pippi beri garis ya? Esa boleh menggambar di sana.”

“Huum!” Surainya bergerak lucu, seiring dengan anggukan kepala mungilnya.

Seungyoun meneruskan membaca artikelnya. Sesekali menengok Eunsang yang menggambar dan berceloteh heboh.

Sisa hari itu, Seungyoun memangku Eunsang untuk rewatching Tinker Bell series. Menimang Eunsang yang terlelap lucu dalam dekapannya.

.

.

Seungyoun membawa tas milik Eunsang di salah satu lengan.

Hari ini lumayan mendung dan udara semakin dingin.

Mengeratkan syal yang melilit leher putranya.

Lucu sekali, memakai beanie serta scarf abu. Sweater putih gading, celana kelabu, dan sepatu mungil melengkapi penampilan malaikatnya.

Seungyoun mencubit pipi Eunsang gemas. Menciuminya hingga Eunsang mengerang.

“Mau kemana, Ppi?”

“Cafe Eyang, kan hari ulang tahun Esa, hari ini.”

“Ulang tahun?”

“Huum, Esa umurnya sudah dua tahun. Nanti tiup lilin ya.”

Seungyoun mendudukan Eunsang di kursi khusus untuknya yang terdapat di mobil Seungyoun.

Menyetel lagu anak-anak agar Eunsang mau bernyanyi bersamanya.

San-toki, toki-ya Oh-di-rule gah-nun-yah? Kkang-choong, kkang-choong di-myun-suh Oh-di-rule gah-nun-yah

San-gogae gogae-rule Na honja noh-moh-soh Toshil-toshil al-ba-mule Ju-woh-soh wol-tay-yah

Eunsang bertepuk tangan ceria ketika lagu selesai. Matanya ikut menyipit seraya bibirnya menyunggingkan senyum lebarnya. Giginya mengintip lucu, seperti kelinci. Seungyoun gemas.

Memainkan lagu yang berbeda di perjalanan mereka menuju cafe. Juga mengajak Eunsang mengobrol dengannya.

.

Suasana cafe masih riuh rendah dengan beberapa orang yang mendekorasi ruang. Balon berwarna-warni di langit langit ruang. Kertas krep yang menggantung dari ujung ke ujung.

Cafe berubah menjadi ruangan yang memang diharapkan Seungyoun. Sesuai dengan maunya.

Mungkin teman-temannya akan datang agak sore, mengingat ini hari Jum'at.

“Hai, Ma.”

Menghampiri mamanya yang masih berkutat di depan oven. Mengangkat satu loyang kue yang sudah matang.

Seungyoun memeluk mamanya dengan Eunsang yang masih di gendongannya.

“Jam berapa teman-temanmu akan kemari?”

“Sorean?”

Seungyoun meletakkan tas kemudian menurunkan Eunsang dari gendongan, membiarkannya bermain-main di pojok playground.

“Ya udah, ini dibawa ke meja.”

Mama Cho menyerahkan kue yang sudah terhias sempurna.

Hari ini cafe sengaja ditutup untuk acara Eunsang. Juga mengenalkan cafe yang akan menjadi rintisan Seungyoun di hari esok.

.

Pukul 4 sore dan teman-teman Seungyoun berdatangan. Membawakan banyak kado untuk Eunsang. Padahal ia sudah bilang agar tak perlu repot menbawa buah tangan.

Alunan lagu yang ceria juga tawa di antara mereka masih mengudara.

“Kapan ngasih adek buat Esa, Pak?”

Itu Yohan.

“Hah?”

Seungyoun menggeleng gemas, “mending kamu yang ngasih sepupu buat Esa, Han.”

Candaan mereka masih berlanjut dengan Eunsang menjadi bintang mereka.

Di tempatkan Eunsang di atas meja, membiarkannya berdiri dan teman-teman Seungyoun mengelilinginya. Menyanyikan setiap lagu yang Eunsang suka.

Seungyoun nelihatnya dari jauh, menyesap ice americano miliknya.

“Ngga gabung?” Minseo menggeser kursi untuk mendekat.

“Biarin aja dulu, Kak. Lucu,” menggeser satu piring kecil berisi kentang goreng ke depan Minseo.

“Seungwoo ga kamu undang?” Mengambil satu kentang dengan sumpit, menyolekkanya pada saos untuk ia makan.

“Aku undang sih, Kak. Tapi kayanya belum pulang kerja.” Tangannya jahil, membuat jembatan dari kentang goreng.

“Gimana kamu sama dia?” Minseo menambahkan untuk membuat tiang dengan 4 kentang goreng.

“Ya, ga gimana-gimana. Kaya tetangga biasa,” memperkuat tiang dengan kentang berdobel.

“Oalah, cupu banget. Padahal kalo nge chat aku menggebu-gebu,” meloloskan kentang goreng di sela-selanya terowongan yang akhirnya mereka susun.

Satu kentang goreng tak sengaja tersenggol, “gimana, kak?”

“Yaaaahh, Youn terowongannya ambles,” tawanya berderai anggun.

“Maaf, Kak,” bukan membenahi, malah mengambilnya satu untuk ia makan, “hehe.”

“Kamu cemburu, Kakak masih chattingan sama Seungwoo?”

“Hah? Ya ngga lah, ngapain?” Telinganya memerah, memalukan.

“Ga usah grogi gitu, Youn. Kalo chattingan malah banyakan bahas makanan. Kaya... makanan apa yang baik buat Esa, dari makan pagi sampe malem. Beneran seberisik itu,” menyesap teh chamomile miliknya yang masih hangat.

“Pasti ngerepotin Kakak.”

Seungyoun mengambil tisu dari meja seberang, mengusapkannya pada ujung bibir Minseo yang terkena noda teh dan remah kentang goreng.

“Thanks dan lucu aja sih, kita malah banyak chattingan setelah pisah.”

“Kak, maaf.” Seungyoun menunduk dalam.

“Hei, oh! Astaga. Bukan itu maksudku, aduh.”

Seungyoun mendongak, “aku ngerti kok. Tapi ya tetep aja pengen minta maaf.”

Minseo mengambil kedua tangan Seungyoun, “ga perlu lho ya. Ngomong-ngomong, Kakak ketemu rekan kerja yang dulu di Kota Seberang deh.”

“Lho, iya? Kapan? Gimana? Ceritain.”

Minseo tertawa melihat keantusian Seungyoun. Menceritakan rekan kerjanya dulu sekaligus crushnya sewaktu kecil. Lucu sekali.

Mereka masih bermain dengan kentang goreng yang hampir tandas ketika bel di atas pintu cafe berdenting.

Menampilkan dua lelaki dewasa dengan tinggi yang berbeda.

Lelaki yang lebih tinggi mengenakan kemeja putih bersih dengan rambut yang ia susun berantakan. Menggulung lengan kemeja, memperlihatkan tato bunga lilac di salah satunya. Jemari lentiknya menggenggam satu kado kecil. Jasnya tersampir apik di lengan yang lainnya. Tungkai panjangnya bersiap melangkah dengan tegap.

Lelaki yang tidak lebih tinggi mengacak surai yang kini kian masai. Jaket jeansnya masih mengantung sempurna di pundaknya. Kaos nyamannya yang mengintip di selanya. Lengannya ia biarkan menganggur tak membawa apapun. Tungkainya yang memiliki porsi yang sangat pas, bersiap menyeokkan diri.

Seungyoun menahan napas. Meletakkan sumpit yang sedari tadi dikempit antara jemarinya. Memilih menyesap pelan kembali minuman miliknya yang belum tandas.

“Hai!”

“Hey!”

Sama namun berbeda.

Seungyoun berdiri, mempersilahkan mereka untuk duduk di sekitarnya.

Minseo menghampiri Seungwoo, lelaki tinggi tadi. Dengan pukulan main-main di pundaknya. Kemudian bercengkerama ringan.

Seungyoun tersenyum menatap Woosung, “Hai, Kak.”

Woosung memeluk Seungyoun yang menghampirinya, menepuk-nepuk punggung adiknya.

“How's today, Youn?”

“All alright.”

Seungyoun melirik Eunsang yang tergesa menghampirinya, meninggalkan partner bermainnya. Berbuah erangan dari teman-temannya.

“Oom Woo!”

“Sayang, hati-hati!” Ketika melihat Eunsang yang hampir tersandung. Memilih merentangkan kedua tangan untuk Eunsang song-song. Woosung memutarkannya ke udara, menangkapnya dan menggelitiki perutnya gemas.

“Men.”

“Sayang, astaga,” Seungyoun mencubit pelan pipi Eunsang. “Oom mu itu baru aja dateng lho, cium pipinya dulu coba”

Eunsang mencium kedua pipi Woosung bergantian, “hehe.”

Berhadiah senyum sumringah yang menyembunyikan netra Woosung dari kelopaknya.

“Kakak duduk dulu aja, biar Esa main. Pasti Kakak cape.”

Woosung menurunkan Eunsang dari gendongannya setelah memberikan satu permen. Kemudian membiarkan Eunsang bermain kembali.

“Kok bisa bareng, kalian berdua?”

Seungyoun meletakkan nampan berisi minum hangat untuk Woosung dan juga Seungwoo.

“Bareng dari parkiran aja sih. Udah telat pula.” Woosung mengeluarkan ponsel dari sakunya. Memilih membidik Eunsang, ia jadikan kenang-kenangan.

“Kalian udah saling kenal?” Seungyoun mengernyit heran.

“Belom, aku taunya dia juga diundang, jadi ya bareng aja, Youn.” Woosung membuka jaketnya untuk ia sampirkan di salah satu kursi.

“Kenapa?” Woosung bertanya heran.

“Ga papa sih. Tanya aja.”

Seungyoun dengan canggung mengenalkan mereka berdua. Hanya sebatas nama, tidak lebih.

Dua lelaki di hadapan Minseo dan Seungyoun berjabat tangan ramah. Mencari topik untuk mereka bangun.

Minseo memilih untuk undur diri karena hari semakin larut. Ketika Seungwoo menawarkan tumpangan, Minseo menolak halus, karena memang sudah berangkat bersama rekan-rekan kerjanya, jadi pulang juga bersama.

Teman-teman Seungyoun berpamitan undur diri, mencubit pipi gembil Eunsang sebelum pergi.

Meninggalkan mereka bertiga dengan cengkerama yang canggung.

“Jinhyuk sama Wooseok ga ke sini, Youn?” Woosung memangku Eunsang yang hampir terlelap, mungkin kecapaian bermain.

“Agak ntaran kayanya, Kak. Soalnya ya, tau sendiri jam terbang mereka gimana.”

Woosung mengangguk mengerti, “bentar, ini Esa udah mau merem. Gue timang ke sana deh.”

Woosung berdiri, menimang Eunsang agar lelap. Menyanyikan lullaby agar semakin renyap.

.

“Siapa kamu?”

Seungwoo bertanya setelah Woosung agak menjauh dari mereka.

“Apa Kak?”

Seungyoun mengernyit, memastikan pertanyaan Seungwoo yang ia dengar.

“Dia, siapa kamu, Youn?”

“Temen, kerja juga sih di cafe ini seminggu sekali. Ngisi suara. Kenapa?”

“Deket banget?” Seungwoo mengambil gelas berisi kopi yang kini sudah mendingin.

“Kakak tingkat waktu kuliah juga sih, emang kenapa gitu tanya-tanya?” Seungyoun sewot.

“Ya siapa tau kamu dijahatin.”

“Engga, kak Woosung baik banget. Ga pernah tuh jahatin aku sama Esa. Kak kok lama-lama sebel gini sih, ngobrol sama Kakak. Aku mau nyusul Esa aja.”

Seungyoun berdiri dan hampir beranjak.

“Ngga,” lengan mungilnya ditahan oleh Seungwoo, “di sini. Ga usah jauh-jauh.”

“Aneh banget kak, takut dih.” Seungyoun memutar pergelangannya agar melepaskan diri, kembali duduk di depan Seungwoo.

“Youn?”

“Hm?” Seungyoun mendongak dari ponselnya yang tadi ia sempat mainkan.

“Gue kangen.”

Netranya mengerjab lucu, “semakin aneh, Kak. Aku mau nyusul Esa aja, daahh~”

Seungyoun memegangi dadanya yang bertalu, dasar Seungwoo kurang ajar, bisa-bisanya bilang kangen diwaktu begini. Emang Seungyoun ga kangen juga, apa? -ups.

Sudahlah, lebih baik ia susul Eunsang yang sudah tidur.

Mengambil Eunsang dari dekapan Woosung, kemudian kembali berjalan menuju ruang tengah cafe.

“Makasih, Kak. Esa nyenyak banget digendong Kakak.”

Woosung mengelus pucuk kepala Eunsang, “selamat ulang tahun, Jagoan,” katanya sembari mengecup ringan keningnya.

“Youn, baik-baik ya... Kakak pulang dulu, ada sesuatu. Dan kado kecil buat Esa ada di kasir. Sehat-sehat, Youn.”

“Lho, Kak. Kok cepet banget pulangnya? Ga nungguin Jinhyuk sama Wooseok? Eh, tapi makasih bawain kado buat Esa-nya,” senyumnya ia perlihatkan sempurna.

“Ada acara, maaf ya, udah telat dateng, malah pulang cepet. Dan Youn,” jemari Woosung mengelus pipinya perlahan, “Kakak sayang kamu, baik-baik.”

Seungyoun menukikkan alis, “ aku juga sayang Kak Woo, deh.”

“I know, but not how the way i like you. Youn, kepincangan kamu, tolong dilengkapi. Aku suka liat Youn senyum sumringah kaya tadi.”

Woosung memeluknya sekali, memilih undur diri.

Seungyoun tidak bodoh untuk menyadari perasaan Woosung untuknya. Ia yang seharusnya meminta maaf, mengeluarkan kadar bahagia yang kentara ketika Seungwoo di sekitarnya.

Dalam sela-sela peluknya, “Maafin Youn, Kak,” ia mengatakannya pelan.

Woosung hanya mengangguk, kemudian beranjak pergi.

Seungyoun sudah mematahkan satu hati, hari ini.

.

Berjalan lunglai untuk kembali ke dalam.

Ponselnya menampilkan pesan bahwa Jinhyuk dan Wooseok memilih esok hari untuk merayakan ulang tahun Eunsang sekaligus mengajaknya jalan-jalan. Seungyoun maklum, toh dengan mereka menyanyangi Eunsang, bagi Seungyoun sudah cukup.

.

Kali ini, cafe sepi. Mamanya sudah pulang di awal waktu juga teman-temannya.

Menyisakan dekorasi yang mungkin akan Seungyoun bantu bersihkan sedikit-sedikit.

Di tengah-tengahnya, ada Seungwoo. Menyalakan pemantik api pada lilin mungil di atas rainbow cake kecil di hadapannya.

Menengok sekitar, lampu cafe kini remang.

Seungyoun yang masih membawa Eunsang dalam dekapan, menghampirinya perlahan.

“Kak.”

“Hai, maaf telat, tapi... selamat ulang tahun putra Papa,” jemari lentiknya ia ulurkan, mengelus kepala mungil dalam dekapan Seungyoun yang mendengkur halus.

“Kamu, sempet bilang sesuatu sama Kak Woosung sebelum masuk tadi?”

“Cuma bilang kalo aku mau ngerayain ulang tahun anakku, waktu dia tanya di sini ngapain. Kenapa emangnya?”

“Ngga ada, Kak. Mending sekarang Kak Woo pulang. Udah pada pergi juga ini. Biar aku beresin dulu abis ini. Oh, makasih buat kuenya.”

“Youn, duduk dulu bisa? Bicara baik-baik. Kamu marah?” Seungwoo menerka.

“Iya, aku marah. Kamu bikin aku kehilangan kesempatan kalo aku juga pengen sesekali sama Kak Woosung. Seharusnya kita bertiga bisa bukain kado bareng, karena kemarin aku udah bilang. Seharusnya sekarang yang duduk di depan aku Kak Woosung, nyiapin sesuap kue buat Eunsang makan. Udahlah, Kak. Ini juga salah aku ngundang kalian. Harusnya aku tahu diri, buat nyiapin kemungkinan terburuk.”

Seungwoo diam, “kamu... ada hati yang kamu taroh buat Woosung?”

“Ada, kak secuil. Yang lainnya udah abis soalnya. Udah ya, Kakak pulang aja.”

“Kita jarang ngomongin ini, biar Kakak ngobrol sebentar, Youn. Youn mau dengerin Kakak sebentar?”

Seungyoun mengangguk ragu.

Seungwoo memulai perkataannya tentang meminta maaf karena tidak menceritakan tunangannya sejak awal. Beralih pada ayahnya yang otoriter. Dan juga Minseo.

Semuanya diceritakan oleh Seungwoo, termasuk perceraian keluarga kecilnya.

Seungyoun menerawang jauh. Otaknya kosong. Benaknya menampilkan dirinya sendiri yang berjalan bersama Eunsang, hanya berdua.

Lilin di depan mereka semakin meredup.

“Maaf, baru bisa cerita sama kamu. Maaf baru tau tentang Eunsang setelah aku bikin kamu trauma. Youn, maaf.”

Jemarinya yang lentik menggenggam deriji mungilnya. Seungwoo bersimpuh di hadapannya. Bibir Seungyoun bergetar, ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan.

Tangannya ia angkat, menampar Seungwoo semaunya dan sekeras yang ia mampu.

“K-kenapa ga bilang dari awal? Kenapa ga bilang waktu aku ga gendong Eunsang, kan aku jadi ngga leluasa mau nonjok kamu, Kak.”

“Kok gitu?” Seungwoo memegangi pipinya yang memerah perih.

“Iya, Kakak banyak bohong sama semua orang. Apalagi sama aku, tentang perasaan kamu,” Seungyoun mengelus pipi Seungwoo pelan.

“Aku sayang kamu, Youn. Mau ngga ngurus Eunsang bareng sama aku?”

“Ga gitu juga anjir.” Seungyoun menggeplak pelan kepala lelaki yang hampir bersandar di pangkuannya.

“Gimana?” Seungwoo mendongak, memperlihatkan rahang yang terlengkung sempurna.

“Yakin banget aku masih sayang, Kakak?”

“Yakin, kamu kurang pinter nyembunyiin bahagia kamu dari netra kamu, Youn.”

Seungwoo meletakkan kepala dalam pangkuannya, “ Youn, kasih Kakak kesempatan sekali lagi buat jaga hati kamu, boleh?”

.

.

©coffielicious