Sabtu-

Hari nya masih sama, seperti Sabtu yang lalu-lalu. Bangun lebih siang dan mengulur waktu dengan rebah malas sembari mengelus ponsel kesayangannya.

Tetapi siangnya berbeda, kedatangan tamu yang tak diundang membuatnya mau tak mau beranjak untuk sekadar membuatkan minuman.

“Ayo kencan.”

Lelaki yang lebih tua berkata disela ia menyesap teh dari cangkirnya.

“Tumben banget, biasanya kamu pulang lembur. Aku dianggurin.”

Lelaki yang lebih muda mengambil remote tv untuk ia gunakan.

“Ngerajuk nih?”

“Kenapa harus, kan ga biasa juga. Lagian aku masih pengen rebahan kaaaakk.”

Lelaki yang lebih muda menjulurkan tungkai di sofa panjang yang ia duduki.

“Kakak tunggu di cafe Lampion, jam 4 sore, ga ada penolakan. Dandan yang manis Youn ku.”

Yang lebih tua beranjak, tanpa tedeng aling-aling mencuri satu kecupan di bibir yang lainnya, kemudian pergi tak tahu diri.

.

Seungwoo pening, sungguh. Dentingan yang berasal dari pintu cafe tadi, membawa obsidiannya pada seseorang berpakaian modis di hadapannya. Rambutnya manis, tertata rapi. Pun dengan seulas senyum yang masih dilukiskan.

Netranya nyalang memerhatikan setiap jengkal mili dari sosok yang memandangnya pula.

“Cho Seungyoun?”

Memastikan dengan ragu, semanis ini? secantik, seanggun, seindah ini?

Bolehkah Seungwoo meminang Seungyoun sekarang saja, Mama Cho?

Tahu tidak? Stok darah dari otak Seungwoo hampir meleber melewati hidung?

Dengan wig, surai panjang kecoklatan. Alis yang tergambar sempurna. Tulang hidung mengangkat, menyombongkan diri. Bibir terlukis, memerah dengan cara yang begitu jahanam, menyunggingkan senyum.

Wah, tanpa adat.

Sehelai sweater rajut dengan pink lembut, mampu menyembunyikan jemari mungil pada lengan kepanjangannya.

Seutas rok pendek, putih bersih, memproyeksikan tungkai tanpa cacat, terpampang nyata. Oh, surga.

Pupil Seungwoo, dengan kurang ajar melebar dengan sempurna. Bertubi mendapat keindahan sedemikian rupa, tangannya hampir tremor, tetapi mampu mengendalikan diri.

Astaga, ku beri tahu, Cho Seungyoun seindah itu, kawan.

.

Walaupun enggan, tentu saja Youn datang, jam 4 sore tepat. Menemukan Seungwoo yang sedang menyesap kopi perlahan. Setelah sebelumnya menelisik tampilan Youn dari ujung kepala hingga tungkai yang ia biarkan diterpa angin bandel.

Seungwoo membuka kemeja flanelnya, mengaitkan pada tubuh bagian bawah Seungyoun yang terekspos bebas.

“Esensinya apa pake baju begitu?”

Daripada terkesan, Seungwoo malah seperti..... marah?

“Jangan marah.”

Meremat kemeja yang beristirahat manis di atas paha yang masih ingin menunjukkan diri.

“Tau ga, hampir mimisan?”

“Ko gitu?”

“Begini, Youn. Bayangin ketika pacar lu muncul dengan outfit kaya gini, apa tidak gila? Mana masih di luar ruangan.”

“Terus kalo di dalem ruangan mau ngapain?”

“Main uno, Sayang. Udah ah, diliatin orang-orang, pulang aja kita.”

“Ga mau, mau kencan dulu.”

“Dengan syarat, kemeja kakak ga boleh dilepas.”

Ugh, Han Seungwoo dan keposesifannya, “okay.”

.

“Berarti, surprise aku berhasil, kak!”

Parkiran penuh dengan kendaraan yang mengistirahatkan diri. Youn meloncat dengan kalimat yang tadi ia lontarkan.

“Banget, sini kasih hukuman dulu.”

Seungwoo menarik Youn untuk masuk ke dalam mobil. Lumayan tergesa, menutup pintu serampangan.

Tak lama, oyakan bibir keduanya yang bertemu yang terproyeksikan.

“Besok lagi, di rumah aja kalo mau kaya gini, bangsat banget tau ga?”

Youn mencebik, mencuri satu kecupan di bibir yang lainnya.

“Hehe, lucu deh kalo posesif gini. Makin sayang.”

Seungwoo mendumal, antara kesal, gemas dan nano-nano.

.

Ngomong-ngomong, Bapak Han Seungwoo memilih melajukan kendaraannya ke kediamannya, menginvasi Seungyoun semau beliau.

Doakan saja Youn mampu untuk sekadar duduk dua hari kedepan.

.

.

'Jamie, gue pinjem setelan lu ya! Mo kencan sama Kak Woo.' – Cho Seungyoun dengan ide gilanya.

.

©coffielicious