Sawi Fermentasi─

Dua bulan.

Aku beristirahat kurang lebih dua bulan, setelah operasi pengangkatan rahimku. Kalau kau bertanya tentang apa yang aku rasakan adalah nano-nano.

Tak perlu kau bayangkan, karena akan menyakitkan. Biarkan aku yang menanggungnya sendiri.

Aku berunding dengan suamiku, bagaimana jika mengundang teman teman sekantor kami. Untuk sekadar syukuran karena aku pulih.

Meski beberapa bagian dari diriku hilang, tak mungkin kembali.

.

Perkenalkan, aku Kim Minseo penyandang istri Han Seungwoo dua tahun lebih ke belakang.

Pengidap kanker serviks yang diharuskan mengangkat rahimku. Bisa kau prediksi untuk masa depanku. Tak mungkin keluarga kecilku memiliki keturunan, kecuali mengadopsi.

Tidak apa, ini takdirku. Yang ingin aku bicarakan adalah suamiku, masih sudikah ia bersamaku? Bersama perempuan yang tak mampu memberinya keturunan sama sekali?

Aku ingin banyak mengadu, kepada siapapun yang mampu kuadui.

Aku ingin menyumpah serapah tentang hidupku. Tapi aku tak ingin menyerah. Dengan memiliki Han Seungwoo di sampingku, aku kuat.

Aku ingin menguat dengan sendirinya. .

Satu hari diantara kesibukan yang rekan kerja kami miliki, kami memilih mengundang mereka di akhir pekan, dengan dalih menghabiskan Sabtu malam.

Hampir seluruh rekan kerja di devisi kami, kami undang.

Dan, aku juga ingin berterima kasih kepada Tuan Cho, telah menyupirkanku ke rumah sakit juga terkadang menjengukku disela-sela kesibukannya.

Aku ingin bertanya, lebih tepatnya. Apakah Tuan Cho dan suamiku lumayan dekat? Bolehkah aku bertanya-tanya kepadanya? Bukankah malam itu, saat suamiku menjemputku, mereka bertukar sapa? Apalagi ditambah dengan suamiku yang dengan percaya memintanya untuk mengantar kami.

Semoga kegundahanku tidak berlanjut.

.

Seungwoo meletakkan beberapa jajanan pasar juga pattieserie di tempatnya. Aku melihatnya, ia begitu antusias menyusunnya. Senandungnya berdengung pelan.

“Senang?” Aku menepuk pundaknya pelan.

“Tentu,” ia mengecup keningku sayang.

.

Seungwoo adalah lelaki bungsu dari keluarga kecil bahagia yang aku tahu. Aku jatuh padanya saat ia menolong seorang anak kecil mendorong gerobaknya untuk berjualan.

Aku selalu menemukannya tiap sore, sebelum aku memberanikan diri berkenalan dengannya.

Aku melihatnya sebagai pahlawan, ia mau mengorbankan apapun. Untuk kebahagiaan orang lain.

Ia sempurna, dalam visualku, ia sempurna.

Boleh aku menjabarkannya?

Netranya jernih, seperti lautan dalam tak terperi. Aku ingin menyelaminya, berenang menuju lubang tak berujung. Aku ingin berkaca dengan obsidian yang menenggelamkanku tanpa cela.

Netranya, menyimpan begitu banyak rahasia.

Ia sendu saat-saat tertentu ia sendiri.

Ia sendu bahkan saat ia berada di atasku mereguk rindu.

Ia sendu, saat menggoyangkan gantungan kunci berbentuk rubah kecil yang selalu ada dalam saku.

Ia sendu, saat menatap jauh, menerawang. Ada apa, suamiku? Tidakkah kau ingin berbagi, barang secuil? Agar aku juga bisa merasakan kesenduanmu.

.

Tubuhnya selalu hangat saat mendekapku, merengkuhku dalam peluknya. Hidungnya akan mengusak suraiku dan bibirnya akan mendaratkan kecup di ubun-ubunku.

Namun bagiku itu belum cukup, bisakah aku menghadirkan kembali warna dalam obsidiannya? Bisakah aku mencari celah untuk menenggelamkan diri di dalamnya?

Bisakah aku menyakinkan diri bahwa kau masih milikku seutuhnya?

.

Tepukan pelan di pundakku membuatku menoleh, aku tersenyum ramah, “Hangyul?”

Lelaki gagah itu, Lee Hangyul. Salah satu rekan kerjaku. Aku suka sekali memanggilnya bayi, dia lucu, sangat.

“Aku tu gagah, Kak. Bukan bayi.”

Ia berkata satu waktu, aku mengulurkan tangan mencubit pipi gembil miliknya yang akan memerah menggemaskan. Ia lelaki kuat, dalam konotasi dan denotasi.

Aku selalu berdoa, agar ia selalu mendapatkan yang terbaik. Bayiku, Lee Hangyul.

Ngomong-ngomong tentang bayi, apakah tuan Cho akan membawa serta putranya?

Oh! Itu dia, bersetelan kasual. Membawa ponsel dalam genggaman.

“Tuan Cho,” aku membungkuk hormat.

“Cho Seungyoun, Nona Kim.”

Ia mengoreksiku.

“Seungyoun saja, anda bahkan lebih tua dariku,” kekehnya.

Aku mengangguk, ragu. Membiarkan ia berjalan menjauh setelah kupersilahkan untuk masuk.

.

Acaranya simpel, hanya sambutan dan makan serta ucapan selamat atas berhasilnya operasiku. Mereka menyemangatiku dengan sempurna. Aku terharu dibuatnya.

“Esa kok ga diajak deh?”

Sayup-sayup kudengar suara Hangyul dari kursi di sebelahku.

“Malem banget, Gyul.”

Kini kudengar suara lain menanggapi, itu Seungyoun. Ia masih menyesap teh manis mintnya.

“Lha, biasanya pulang kerja juga malem, Kak.”

“Gemes banget, Gyul. Beda itu, astaga.”

Aku menyaksikan mereka, bersenda gurau ringan, mempererat ikatan mereka.

Tak lama, aku pamit undur diri sejenak. Membiarkan mereka masih larut dalam obrolan ringan.

.

Aku mengambil pakaian hangatku, untuk kembali menyusul ke ruang tamu. Aku mencari suamiku namun tak menemukannya.

Aku berjalan keluar, mencoba mencari pemandangan malam yang kian larut.

Aku beralih ke samping rumah, mencoba menelisik lebih banyak rasi yang mampu ku proyeksi.

Namun, mereka menghentikanku.

Mereka, suamiku dan Seungyoun.

Duduk berdampingan dengan jarak yang jauh, aku ingin mengagetkan mereka, tapi perkataan suamiku menghentikanku.

“Masih suka tidur larut, Youn?”

Tak ada jawaban dari yang lainnya. Hanya satu kalimat, seakan menjauhkan diri.

“Udah malem, Kak. Mau pulang dulu.”

“Youn.”

Aku melihatnya, dengan jelas ia di hadapanku. Namun ainnya lurus, berbinar perih menatap lelaki di hadapannya. Obsidiannya tidak sendu, seakan menyalurkan rindu yang sekian lama membelenggu.

Kedua kelerengnya berbicara mencoba menahan lelaki di hadapannya untuk tinggal lebih lama. Netra sehitam jelaganya kali ini berkata-kata, namun bukan denganku, dengan lelaki yang kini membelakangiku.

Aku mundur, menahan sesak yang kian menyeruak. Aku bersembunyi semampuku, menahan isak dengan risak.

“Youn.”

Aku mendengar suamiku memanggilnya, seakan menyalurkan seluruh asa yang tersisa.

“Youn, gue kangen.”

Suaranya terdengar kembali, menyalurkan seluruh perasaan yang mampu ia utarakan.

Aku meluruh, mendudukkan diriku sendiri. Menahan kedua genggaman tanganku di atas dadaku. Memukulkannya tanpa arti.

“Maaf Kak, gue pulang dulu.”

Aku mendengarnya dengan sendu.

Langkah kakinya yang pelan semakin mendekat, aku berdiri kemudian beringsut cepat, pergi untuk mencoba menghapus sesak.

.

“Nona Kim.”

Seungyoun menghampiriku dengan senyum tulusnya. Ia meraih kedua tanganku untuk digenggamnya.

“Hei, saya belum mengucapkan dengan baik. Selamat atas operasi anda yang berhasil, Noona. Mulai saat ini, hiduplah sehat-sehat.”

Ia tersenyum tulus sekali, tanpa sadar air mataku turun dari tempat yang seharusnya ia berada.

“Lho, Nona Kim kok nangis. Boleh Seungyoun peluk?”

Aku ditariknya dalam dekap, hangat sekali. Bolehkah aku mendengar dongengnya? Dongeng tentangnya, suamiku, dan Eunsangnya?

“Mulai hari ini, Nona harus janji kalau akan baik-baik saja. Jangan sungkan minta tolong sama rekan kerja. Saya kemari sekalian mau pamit.”

Aku mendongak, melepaskan diri dari pelukan menenangkannya.

“Pamit?”

“Huum, mulai besok Senin akan ada manager personalia yang baru.”

Aku mengerjab bingung.

“Saya resign, Eunsang masih membutuhkan perhatian lebih. Jadi, selalu sehat sehat Nona Kim.”

Ia membungkuk pelan, pamit undur diri.

“Seungyoun,” aku menamparnya telak. Kemudian menangis tersedu.

Ia terlihat kaget dengan tindakanku, namun sama sekali tak protes.

Suamiku berdiri di sana, menghampiriku, menghampiri kami. Aku menghadiahkan padanya satu pukulan di rahangnya, telak.

“Jelaskan! Apapun yang kalian miliki, jelaskan!” Isakku melirih, “jangan buat aku menerka, jelaskan!”

.

Satu penopangku kini luruh, kami pincang, kami bertiga pincang.

Hati kami retak, pecah menjadi serpihan kecil menyakitkan.

Suara kami menghilang, tertelan angin malam yang kian redup.

Semesta pun bergemuruh, menjatuhkan seluruh tumpangan yang sedari lama ia tempuh.

.

Seluruh pertanyaan dalam benakku terjawab.

Semuanya terbuka dengan sempurna.

Menyakitkan, kotak yang mereka buka dihadapanku terlalu kejam.

Aku ingin berlari, berteriak seegois yang aku ingini.

Aku ingin menyatu dengan angin, agar ia membawaku terkungkung dalam deru.

Aku ingin pergi, membawa seluruh perih dalam diri.

Aku ingin tertidur begitu lama, dimana aku bisa membangun mimpi tanpa duri menyertai.

.

.

©coffielicious