Second Post -

.

Seungzz AU

.

Pukul sebelas lebih tiga belas pagi, menuju siang. Semua sudah bersiap dengan carrier masing-masing. Ada dua kelompok yang kini tergabung menjadi satu. Dari beberapa divisi yang berbeda.

Liburan kantor kali ini, bukan ke pantai atau tempat wisata lainnya. Bos Besar meminta para karyawannya untuk menggali kecintaan alam mereka dengan mengadakan pendakian bersama.

Kali ini, mereka mendaki Gunung Merbabu. Gunung yang bersebelahan dengan Gunung Merapi ini menjadi tujuan mereka.

Banyak laki-laki yang ikut. Tidak sedikit pula perempuan. Tercampur baur dalam kelompok-kelompok kecil.

Seungyoun mencolek seseorang di sampingnya.

“Kak, nanti kalo ga kuat, aku minta gendong ya?”

“Kamu berat, Youn. Kakak ga mau.”

“Jahat banget, duh.”

“Ga sih, soalnya Kakak tau Youn pasti kuat.”

“Woohoo, Kak Sungjoo bisa aja.”

“Udah bawa jaket khusus, kan? Udah bawa sb? Udah bawa selimut tambahan?”

“Bawel banget, Kak. Udah nih.”

“Kamu tuh, ga tahan dingin loh.”

“Kan bisa meluk Kak Sungjoo.”

“Ngga, makasih. Youn kebagian bawa tenda?”

“Engga, itu ada mas mas tinggi yang bawa, kan dibagi buat berdua-dua. Nanti kalo mas nya cape kita gantian.”

“Oke, gih sana kumpul dulu sama kelompok kamu. Kakak mau ngecek beberapa hal.”

“Owkay!”

Setelah briefing beberapa saat, pendakian mereka didampingi oleh beberapa pemandu. Mereka mendaki melewati jalur pendakian Wekas. Yang kata orang-orang, sebelum sampai puncak harus melewati Jembatan Setan.

Seungyoun agak begidik ngeri, apakah jembatan dengan satu bambu yang di bawahnya ada jurang? Apakah memang ada setannya di sana? Huhu, mama... Seungyoun ingin pulang saja, tapi mau mendaki juga...

Seungyoun bergegas ketika kelompok yang ia masuk didalamnya dipanggil. Mendengarkan dengan saksama petunjuk-petunjuk yang diberikan.

Pukul sebelas lebih tiga puluh tiga, rombongan itu mulai naik. Sudah terlihat hamparah hijau dari ujung Desa Wekas ini. Seungyoun mengeluarkan kameranya, membidik pemandangan dengan lensanya.

“Ayo, Dek!”

Itu teman satu kelompoknya, di kantor ia berada di bagian HRD. Kalau tidak salah namanya Seungwoo, Han Seungwoo.

“Eh iya, Mas.”

Seungyoun bergegas kembali, kakinya masih kuat untuk menopang badan dan juga carrier di punggungnya.

“Adek yakin kuat kan sampe atas?” Seungwoo berjalan di belakang Seungyoun dengan pelan.

“Yakin, Mas. Hehe.” Cengirnya.

“Punya hipotermia?”

“Huh? Ga tau, Mas.”

“Lho, kuat dingin engga Adeknya?”

“Kadang kuat kadang engga, tergantung situasi. Tapi aku udah bawa jaket khusus, sb, sama selimut tambahan, Mas.”

“Oke, moga aja ga kambuh itu kadang engga kuat dinginnya ya Dek, ya.”

“Hehe iya, Mas.”

Seungyoun menggigit bibir bawahnya canggung. Mereka belum pernah mengobrol sekalipun sebelum ini. Hanya mungkin berpapasan di kantin. Hanya tahu sekadar nama dan divisi. Memang, mungkin banyak gosip ini itu yang beredar, Seungyoun hanya terlalu malas menanggapi. Ada satu yang Seungyoun tangkap, Han Seungwoo orang yang galak.

Tetapi, sepertinya Han Seungwoo baik. Lihat kan tadi bagaimana ia membangun percakapan. Dalam pandangan Seungyoun, Han Seungwoo lebih ke tegas daripada galak. Dan, ugh... dia berkharisma.

“Mas,boleh istirahat bentar? Aku haus.”

Seungwoo menoleh, melihat Seungyoun yang memegang lututnya.

“Boleh, itu di sana ada gubuk milik petani. Ayo duduk di sana.”

“Makasih Mas, maaf jadi agak ketinggalan sama yang lain.”

“Ga papa, aku udah beberapa kali sih naik gunung ini. Cuma sekarang sama temen kantor, jadi pengen naik lagi aja.”

“Ini yang keberapa, Mas?”

“Empat kayanya, yang pertama waktu kelulusan SD, seru banget dulu. Yang kedua sama temen kuliah, yang ketiga sama keluarga, sekarang yang keempat.” Seungwoo berbicara sembari mengeluarkan botol dari samping kantong carriernya.

“Whoa, ga bosen tuh? Eh, makasih airnya, Mas.” Seungyoun meneguknya sesekali.

“Ga, soalnya sama beda-beda orang dan punya kenangan sendiri. Kalo Adek, udah pernah mendaki?”

“Udah, tapi di Gunung Andong doang, hehe.”

“Mayan lah ya, kalo cepet naik turun kurleb lima jam.”

“Mas pernah mendaki sana juga?”

“Kalo lagi suntuk, Dek. Mayan pulang-pulang bisa tidur angler.”

“Wah iya juga sih.”

“Yuk ah jalan lagi!”

Seungwoo mengulurkan tangan, membantu Seungyoun berdiri. Seungyoun menyambutnya untuk kembali melakukan perjalanan.

Di tengah jalan, mereka bertemu dengan kera.

“Mas! Banyak banget keranya! Lihat!”

Seungwoo tersenyum, menahan kegemasan. “Mau difoto dulu?”

“Iya! Mau mau!”

Seungyoun mengeluarkan kameranya, membidik kera yang bergelantungan di pohon sekitar mereka.

“Kalo di atas sana ada binatang apa lagi, Mas?”

“Ya binatang hutan aja sih, Dek. Tapi bersyukur ga pernah ketemu binatang yang aneh-aneh.”

“Udah! Ayo mas jalan lagi!”

“Itu botol minumnya bawa dulu bentar, Mas mau bikin tongkat.”

“Eh, iya Mas.”

Seungwoo mengeluarkan pisau pohon yang dibawanya, memotong sebagian ranting untuk dijadikan tongkat penopang. Membuatnya menjadi dua bagian ranting yang kuat namun ringan.

“Ini, lumayan buat penopang sama itu botol minumnya tolong taro di kantong tas punya Mas lagi ya, Dek.”

“Iya Mas. Makasih tongkatnya. Lho Mas, kok kita cuma berdua jadinya?”

Seungyoun celingukan ke sekitar. Baru sadar bahwa sedari tadi mereka hanya mendaki berdua.

“Ga papa, palingan jalan duluan.”

“Tapi, Mas... Youn takut.”

“Ga papa, kan ada Mas. Jalan lurus aja, ntar nyampe di pos 2 katanya mau liat sunset.”

“Iya! Mau liat sunset.”

Seungyoun, dengan cepat melupakan kegelisahannya, kembali berjalan di antara pohon pinus yang menghampar. Sesekali bertemu dengan para petani yang mencari rumput.

“Mas, itu keren banget nyari rumput sambil mendaki. Wow.”

“Udah jadi mata pencaharian, Dek. Tiap hari jadinya olahraga, badannya pada bugar deh itu. Walaupun kadang bikin kulit gosong, tapi pasti mereka jarang sakit.”

“Keren juga ya, coba kita di kota. Musti ke gym dan lain lain. Di sini kerja sambil olahraga, kalo cape gitu pulang pulang minum air putih dingin, beuh seger banget, Mas. Eh! Mas! Tadi aku ikut ke kamar mandi kan ya sebelum naik dan air nya astaga, ngalahin air kulkas”

“Tapi emang seger sih, Dek. Dan kalo Adek lupa, yang bikin kita ketinggalan sama yang lain... Saya nungguin Adek.”

“Mas! Maaf, aku ga tau, huhu maaf yaaa jadi ketinggan.”

“Ga papa, malah jadi kaya mendaki berdua. Tadi kata temen temen mau stop di pos dua, kita nyusul ke sana ya. Masih kuat, kan?”

“Masih, Mas! Masih.”

Sisa perjalanan itu mereka habiskan untuk kembali bercengkerama dan sesekali mengambil gambar langit cerah di sekitar. Seungyoun yang berceloteh riang, Seungwoo menanggapinya dengan sabar.

“Udah jam 4 sore aja, masih lama ga Mas, ke pos dua nya?”

“Paling bentar lagi, Dek. Ayo dikit lagi.”

“Mau istirahat bentar Mas, boleh ya?”

“Iya boleh.”

Seungwoo mendudukkan dirinya di batang pohon yang ambruk. Mengeluarkan kamera miliknya, membiarkan lensanya mengabadikan hijau dan birunya langit sejauh mata memandang. Menemukan hal lain di lensanya ketika tak sengaja mengarahkan pada Seungyoun, dan 'klik. Candid yang sempurna.

“Udah? Jalan lagi, yuk!”

“Iya, Mas.”

“Nanti kalo malem dingin banget ga, Mas?”

“Tergantung cuaca aja sih, Dek. Mudah-mudahan selalu cerah ya.”

“Iya, Mas.”

Setelah melanjutkan satu setengah jam perjalanan, mereka sampai di tanah lapang. Sudah menjelang sore dan mereka belum sampai di pos 2.

“Mas, boleh bermalam di sini aja ga sih?”

“Udah cape banget ya?”

“Salah satunya itu, sama coba lihat ke barat.”

Seungwoo menoleh, di ufuk barat sana, matahari hampir tenggelam, berhiaskan awan putih di atas bumi, seakan membentang menjadi negeri di atas awan. Dengan topangan biru sempurna, warna kemerahan dan berbagai gradasi.

“Berdiri di sana gih! Mas fotoin.”

“Oke!”

Seungwoo membiarkan film nya terisi oleh potret Seungyoun yang mengagumi sang surya. Netranya berbinar cerah, seakan menampilkan galaksi yang tiada dua.

“Jalan dikit lagi ya kita, biar bareng sama temen temen.”

“Iya, Mas. Eh! Mas belum foto, aku fotoin aja!”

“Ga usah, udah banyak. Ayo jalan, dikit lagi kok.”

“Iya, Mas.”

Seungyoun menurut, perlahan matahari mulai turun, berganti menyinari bagian bumi yang lain. Langit mulai gelap namun bertaburan bintang. Sayup-sayup terdengar jangkrik dan embusan angin diantaranya.

“Mas, kok ga nyampe-nyampe ya?”

“Bentar lagi ayo, Dek.”

“Mas, kita tersesat ga sih?”

“Bentar, Dek. Mas inget kayanya ini jalannya.”

“Mas, berhenti dulu ayo.”

Seungwoo duduk, senter yang sudah menyala ia biarkan berdiri di atas tanah. Satu hal yang tidak diduga, hujan rintik mulai turun.

“Mas, hujan.”

“Kita bermalam di sini aja gimana?”

“Berdua aja, Mas?”

“Mas takut ada badai, Dek. Kalau tambah naik, tambah kenceng anginnya. Mau ya nginep di sini, Mas bangunin tenda. Adek bawa jas hujan atau payung?”

“Jas hujan, Mas.”

“Pake dulu jaket Adek, kalo ada kaos kaki tambahan, dipake juga. Abis itu baru jas hujannya ya.”

“Iya, Mas.”

Seungwoo memakai jas hujannya juga sambil lalu, membongkar carrier miliknya untuk mengeluarkan tenda. Sepertinya memang teman-teman yang lain tidak menyadari jika ia dan Seungyoun tertinggal. Untunglah ia tidak tersesat. Hanya saja jika tiba tiba turun hujan begini, akan lumayan susah. Apalagi ia tidak sendiri.

“Ngapain, Dek?”

Seungwoo menoleh pada Seungyoun yang ikut membongkar carriernya.

“Mau bantuin, Mas.”

“Boleh, tapi nanti dulu. Adek duduk dulu aja, pasti cape. Kalo udah ga begitu cape, Adek cari ranting kecil-kecil ya, kita bikin api unggun.”

“Iya, Mas.” Seungyoun berputar di sekitar Seungwoo, mengumpulkan ranting-ranting di sekitar mereka. Menumpuknya menjadi satu.

“Mas, kira-kira yang lain nyariin kita ga ya?” Seungyoun membantu membentangkan tenda merah di hadapannya.

“Mungkin iya, mungkin engga. Kan banyak orang, Dek. Kita cuma berdua. Tapi ya moga aja dicariin.”

“Mas, aku laper deh.”

“Ya ampun, dari tadi engga ngemil?”

“Sambil ngemil, Mas. Cuma kan cuacanya begini, jadi gampang laper.”

“Hahaha iya, ngerti. Asal Adek tahu, makanan apapun yang kita bawa mendaki, pasti rasanya enak banget. Beda kalo kita makan di rumah. Mau bikin indomie? Sekalian bikin api unggun?”

“Iya! Mau banget, Mas. Aku tadi pagi dibungkusin arem-arem sama bulek kayanya. Masih enak ga ya, Mas?”

“Masih! Kalo mendaki itu, makanan lebih tahan lama soalnya kita di tempat lumayan dingin, bawa sini aja arem-aremnya.” Seungwoo menepukkan kedua tangannya setelah selesai mereka memasang tenda.

Beralih pada tumpukan kayu yang dikumpulkan Seungyoun. Seungwoo membakar plastik di atasnya. membuat tatakan dari batu untuk rantang tempat mereka memasak.

“Kak, aku menggigil deh.”

“Sini deketan, sambil bawa indomienya.”

Seungyoun duduk mendekat, hampir merapat pada Seungwoo, badannya agak menggiggil kedinginan.

“Bentar ya, Dek. Bentar lagi apinya nyala.”

Tetapi berbeda dengan alam yang mereka singgahi, perlahan rintik hujan mulai deras.

“Masuk tenda!”

Seungwoo hampir menyeret Seungyoun yang bersandar padanya.

“Astaga, Dek! Dek Seungyoun!”

“Mas..... di..ngin... Mas...” Suaranya gemetar.

Seungwoo membongkar tas mereka menemukan sleeping bag dan selimut tambahan.

Seungwoo melepas jas hujan yang dipakai Seungyoun. Mengoleskan minyak telon yang baru saja ia temukan, membungkusnya kembali dengan baju tebal, jaket kemudian memasukkannya pada sleeping bag setelah membuntalnya dengan selimut.

“Dek, masih denger suara Mas?”

“Mas.... dingin....” Giginya bergemeretakan.

Seungwoo merampas tas tidur miliknya, meletakkannya untuk alas Seungyoun.

“Dek... Youn, hei buka matanya sebentar. Minum air hangat dulu ya.”

“Mas... dingin... Mas.”

Setengah jiwa Seungwoo seakan keluar, astaga dia tidak boleh panik.

Seungwoo membuka jas hujan dan bajunya juga kembali melepas buntalan selimut yang menutupi Seungyoun. Menyusupkan diri ke dalam sleeping bag membiarkan depan dadanya yang bidang bertemu dengan Seungyoun. Menyalurkan kehangatan tubuhnya semampunya. Mengancingkan sleeping bag, memeluk Seungyoun di lengannya.

“Dek...?” Seungwoo berujar setelah beberapa lama, tak merasakan Seungyoun menggiggil di dadanya.

“Mas, maaf... ngerepotin.” Suaranya agak lebih stabil.

“Ngga, ngga. Di luar masih gerimis, kamu laper banget ga?”

“Haus, Mas. Kaki aku kram.”

“Sebentar.” Seungwoo agak memberi jarak untuk badan mereka.

“Mas, huhuhu maafin Youn. Pasti ngerepotin banget.”

Seungyoun menggenggam tangan Seungwoo.

“Ngga papa, sekalian buat pengalaman. Untung aja ini hipotermia ringan, masih bisa diatasi. Mas ambil minum sama arem-arem dulu ya. Nanti kakinya mas olesin pake balsem.”

“Iya, Mas.”

Ada dingin yang kentara setelah Seungwoo beranjak. Menoleh pada Seungyoun yang masih gelisah, badannya kembali gemetaran.

“Mas....”

Seungwoo sigap memeluknya. Menghangatkan badan Seungyoun sebisanya.

Sepertinya hujan mulai reda, tetapi tetap saja dinginnya menusuk tulang.

“Ma...s.”

“Ya, Dek?”

“Nge...re...po...tin... ma...af.”

“Shut, diem dulu, sini kepala kamu taro di lengan saya.”

Seungyoun mengangkat kepalanya perlahan, menempatkannya pada lengan atas Seungwoo. Wajahnya ia surukkan pada leher yang lainnya.

“Udah reda hujannya.”

“Ma..sih... di...ngin.”

“Iya, nanti kita berangkat ke puncak abis subuh aja, biar rada hangat.”

“Sekarang... jam... berapa?”

“Tiga lebih lima, mau coba bobo lagi?”

“Engga... bisa...”

“Dingin banget ya? Nanti kebayar sama pemandangan di puncak, tahan dikit lagi ya.”

“Iya...”

Seungwoo mengelus surai milik Seungyoun, terkadang menepuk-nepuk punggungnya. Seungwoo masih bertelanjang dada, menempelkan tubuh bagian depannya dengan Seungyoun. Membiarkan Seungyoun merasakan kehangatannya.

Pukul tiga lima puluh.

“Mas, pengen liat bintang.”

“Yakin mau keluar?”

“Iya, udah ngerasa baikan.”

“Oke, pake jaket saya juga ya. Jas hujan dipake sekalian.”

Seungwoo mendudukkan Seungyoun, merapikan baju dan memakaikannya jaket.

“Maaf, bikin Mas harus buka baju gini.”

“Ga papa, toh it's work.”

“Aku ga nyangka bisa sedeket ini sama Mas.” Seungyoun memakai sarung tangannya, membenahi masker muka dan merapikan beanienya.

“Mas juga ga nyangka sih, Dek. Biasanya papasan di kantin atau sekadar ketemu di ruang rapat.” Seungwoo melipat selimut mereka, mencari beberapa camilan untuk ia kunyah.

“Lucu juga sih, tapi aku seneng sekelompok sama Mas. Aku ga bisa bayangin kalo sama yang lain.” Seungyoun membuka mulutnya ketika Seungwoo menyodorkan snack dari tangannya.

“Ga usah dibayangin. Ini masih pagi banget, Youn. Ga usah cari air, nanti tangan kamu malah beku. Loncat-loncat aja, pokoknya gerak, cati keringat. Mas mau gulung tenda abis itu kita naik ya.”

“Iya, Mas.”

Seungyoun menurut, ia melompat-lompat kecil dan sambil mengumpulkan sampah yang berserakan.

Ketia ia menengadah, gugusan bintang seakan mampu ia raih.

“Terang banget, aku kaya bisa ngambil bintang. Mas, kalo di sabana pasti lebih bagus lagi ya?”

“Iya, pasti. Tapi ini juga udah bagus banget. Untung aja semalem ujannya ga lama, dan badainya juga bentar.”

“Mas, jembatan setan itu kaya gimana? Apa ada yang pernah bunuh diri di sana? Apa kaya mana?”

“Engga, dibilang Jembatan Setan soalnya itu jalan setapak, melipir di tebing, kita harus face to face sama tebing dan bawahnya udah jurang.”

“Apa ga ada jalan lain?”

“Kalo mau ke puncak, emang kudu lewat sih, Dek. Apalagi kita muter. Bukan dari Wekas ke Wekas. Tapi dari Wekas ke Selo. Jadi, mau ga mau kudu lewat.” Seungwoo menepuk tasnya yang kini rapi. Memilih menyalakan api pada sampah-sampah dan juga daun yang dikumpulkan Seungyoun.

“Sini, sambil nangkep api. Ga kerasa apinya.”

“Malah kaya nangkep udara, Mas.”

Pukul empat dua belas, api padam. Mereka beranjak melangkah kembali. Menuju puncak Kenteng Songo.

Masih awal hari, udara sangat segar. Seungyoun membuka maskernya, merasakan dingin dan terpaan oksigen yang akan selalu asri.

Mereka bertemu rombongan para pendaki dari Lombok, berfoto dan bercanda sekadarnya.

“Mas! Edelweiss!”

“Udah di puncak, tapi masih ada puncak lagi. Ayo semangat, Dek!”

Seungyoun memegang tongkat kayu yang diulurkan Seungwoo. Kembali mendaki.

“Mas, di bawah itu apa?”

“Kawah Mati. Liat, di sana ada Rawa Pening.”

“Whoaaaa, itu bangunannya kaya lego punya Ibo.”

“Ibo siapa?”

“Adek sepupu aku, Mas.”

“Owh... mau turun ke Kawah Mati?”

“Mau!”

“Pake maskernya ya, bau belerang soalnya.”

Mereka menuruni tangga yang terbentuk dari batu kapur. Sepatu mereka betapak putih sekarang.

Matahari sudah sepenggalah. Perjalanan dari pos tempat bermalam ternyata lumayan lama.

Seungyoun mendekati air yang berbuih, bau belerang semakin menyengat. Mencoba mengulurkan jarinya, berjengit ketika, “Wah! Dingin!”

Seungwoo tertawa, “Sana berdiri ke arah timur!”

Seungwoo mengambil gambar Seungyoun yang membelakanginya.

“Dek, kita bikin makanan dulu ya, abis itu kita lanjut jalan.”

“Iya, Mas.”

Dua bungkus mie instan, empat arem-arem dan dua gelas kopi tandas dalam waktu yang tidak seberapa.

“Bener kata Mas, makanan dimakan di puncak emang enak banget.”

Seungwoo mengangguk, mengulurkan botol minum pada Seungyoun.

“Ayo jalan lagi.”

Berkali-kali mereka istirahat sejenak. Bertemu dengan banyak pendaki dari daerah-daerah lain. Oh, ada juga dari luar negeri tadi.

“Dek, berhenti. Itu Jembatan Setannya.”

Seungyoun menoleh, ada tebing, mungkin sekitar lima meter. Ada jalan kecil dan di bawahnya jurang. Wow.

“Gimana kita naiknya?”

“Itu ada tali tambang.”

“Mas...”

Yang tidak diduga. Mereka bertemu dengan rombongan pendaki yang dengan baik hati membantu mereka menyeberangi tebing.

Seungyoun agak gemetaran, namun setengah bangga. Ia mampu melewati jembatan dengan mulus. Kalau dijabarkan bagaimana rasanya, ya amazing. Totally amazing.

Pukul sepuluh lewat empat puluh empat.

Puncak Watu Lumpang sudah menjadi pijakan mereka. Juga bertemu dengan teman-teman yang lain.

“Woey! Anjir! Untung aja kalian udah nyampe sini duluan, kalo ga kita kayanya ga bakal turun.”

Itu Jinhyuk, menepuk keras punggung Seungwoo.

“Kok ya bisa kalian tuh ketinggalan jauh.”

“Salahnya Youn, kok. Hehe.”

“Engga, astaga maafin kita ya Youn...”

Seseorang mendekati Seungyoun dan memeluknya, “Maaf kita ga nungguin kalian.”

“Udah, ga papa yang penting kita udah bareng lagi.” Seungwoo menengahi.

Rombongan itu, kini bersama sama menuju puncak Kenteng Songo untuk kemudian turun menuju sabana.

Puncak Kenteng Songo. Biru, hijau, dan gradasi menjadi satu. Menengok Merapi, si tetangga Merbabu yang mengeluarkan awan tipis. Awan putih seperti tergantung hanger yang tidak kentara. Bangunan yang seperti miniatur tanpa cela. Seungyoun mengabadikannya dalam lensa dan juga panca indera.

Selesai mengagumi, perjalanan mereka masih berlanjut.

Sabana 2 Merbabu, Seungyoun seakan ingin di sini selamanya. Berguling tanpa mau berhenti.

Hijaunya rumput bertemu langsung dengan birunya langit. Bentangan pohon kerdil dan juga edelweiss.

Mereka bersama-sama memasak untuk makan siang. Memasok tenaga untuk menuruni gunung.

Oh! Dan sepertinya Seungyoun harus membeli celana gunung lagi. Karena menuruni puncak, berarti melewati perosotan alami sepanjang beberapa kilometer. Sudah dipastikan celananya bobol.

“Nanti Youn ikut Mas aja gimana?” Seungwoo mengulurkan jagung yang selesai dibakar oleh Hangyul.

“He?” Seungyoun menggigitnya.

“Pulangnya bareng.” Seungwoo mengambil bagiannya. Mengunyahnya pelan.

“Aciaaaaa kerad boosss, pepet teross.”

Sorak-sorakan mulai mengudara.

“Mau, Mas. Aku bilang Kak Sungjoo ya.”

Seungwoo mengangguk dan tersenyum.

Tertinggal belakang sendiri saat mendaki, bersama Seungyoun... tidak seburuk itu.

Untuk pertama kalinya, mereka mengambil foto berdua. Sabana Dua menjadi saksi mereka.

Setelah ini, mungkin mereka akan menjelajahi puncak-puncak lain bersama.

.

.

.

.

°Kkeut

@coffielicious