Simpai ─

.

Seungzz Drabble

.

Umurnya tujuh ketika ia mulai belajar memutar pinggul. Pantatnya tetap bergoyang, tak sadar ketika simpai bambu yang ia pakai, meluncur turun.

Mengundang satu dua gelak tawa dari seberang. Ia menoleh pada asal suara.

“Samakan putaranmu, Youn.”

“Susah Woo, Youn cape.”

Meletakkan asal kemudian berlari pulang.

“Youn! Simpaimu!”

.

Satu kelebat, dua kelebat bayang memori masih menjadi proyeksi ketika netranya menilik satu taman bermain. Di kepalanya terputar adegan kecil yang mampu ia ingat meski sedikit.

Ia beranjak membuka gerbang sepinggul. Sudah berkarat. Taman bermain itu pun sepertinya sudah lama tidak digunakan.

Bak pasir yang tergenang air selepas hujan. Dedaunan yang dibiarkan tergeletak berkelompok di atas ayunan. Bibirnya melengkung sedikit.

'Aku akan menangkapmu dengan simpai ini kalau kau terus berlari!'

'Tangkap saja kalau bisa!'

Dan ia menyesalinya.

.

Satu tangkai bunga matahari ia letakkan di atas pusara.

“Selamat sore, Youn... hari ini cerah, seperti senyummu di masa lalu. Hari ini aku membeli topi sepasang, ayo kita pakai bersama! Youn, tahu tidak? Kemarin Wooseok, teman kecil kita itu... menikah! Kau senang? Kau harus senang!”

Ia tancapkan tangkainya pada tanah, “Aku ke sini untuk menagih perkataanmu. Aku sudah menangkapmu, seharusnya kau menjadi milikku, kan? Youn... aku akan mengejarmu hati-hati kali ini. Cho Seungyoun... tidakkah seharusnya kau merajuk padaku karena berhasil menangkapmu?”

.

Simpai itu mendarat tepat di sekeliling tubuh laki-laki pemilik pipi gembil nan mungil. Dibarengi dengan kaki yang terpeleset dan badan yang terpelanting tak berdaya. Kepalanya terbentur hebat tak terkendali.

Satu, dua, disusul banyak jeritan juga raungan. Darah yang kian menggenang, manik polos yang kini pejam.

“Maafkan Seungwoo, Youn.” Berlutut dan menangis keras. Berujar maaf tanpa mau berhenti hingga kakinya kebas.

.

“Seungwoo tidak salah.” Jemari yang amat mungil itu menekan hidungnya, netranya terlampau jernih untuk bocah aktif sepertinya.

“Ayo bermain simpai lagi di lain waktu.”

“Tunggu aku sembuh dan tangkap aku lagi, Seungwoo. Dan ketika Seungwoo menangkapku, maka aku akan jadi milikmu.”

Namun tak pernah ada kata lagi. Ketika deriji itu menjauh, menjauh pula seluruh napas yang dihela olehnya. Hanya satu senyum yang mengiringi raungan jernih memenuhi bilik sepi yang kian mendingin tanpa tahu arah.

.

“Aku menunggumu.”

Angin sore menerbangkan seluruh perkataannya tanpa belas kasih yang tersisa.

.

.

@coffielicious