Still

.

Soonwoo Fall AU Part 2

.

.

Sekolah barunya mamberikan suasana yang terlampau berbeda. Wonwoo memindai seluruh bangunan di hadapannya yang mampu tertangkap oleh netra miliknya. Memerintahkan kakinya untuk segera beranjak menuju salah satu ruang dalam gedung. Sepi. Wonwoo mengambil oksigen. Memerintahkan kelopak matanya untuk sejenak menggelapkan diri. Mencoba menenangkan degub yang tak menentu.

.

Pria paruh baya di hadapannya tersenyum ramah, meminta salah satu pendidik dibawah bimbingan beliau untuk mengantarkan peserta didik barunya memasuki ruang kelas yang tepat.

Wonwoo kembali mengedarkan netranya ke segala arah yang mampu terjangkau.

Tidak buruk.

Berdiri gugup di depan banyak siswa yang memandang padanya penuh tanda tanya. Mencoba tidak membelitkan lidah karena gugup dalam perkenalannya, dan berhasil. Menyebutkan nama dengan sempurna dengan diiringi tatapan tertarik dari beberapa siswi.

Melangkah pada bangku kosong terakhir, tepat di belakang dan di barisan tengah. Pembelajaran kembali seperti semula.

.

.

Sudah satu semester, Wonwoo masihlah yang terlampau sulit berteman, mungkin Jihoon dan Jun sebagai teman yang bisa Wonwoo kenalkan pada ayahnya. Tuhan sangat menyayangi ibu Wonwoo, jadilah beliau sudah berada di sisi-Nya.

Siang terlampau terik untuk musim gugur seperti ini, Wonwoo menyukai semua musim, karena setiap musim memiliki keindahannya tersendiri. Jam istirahat baru saja dimulai, Wonwoo membawa buku dari perpustakaan untuk dibacanya di taman sekolah ditemani beberapa camilan dan Jihoon.

“Won, akhir pekan nanti kau ada acara?”

Jihoon memecah konsentrasi yang coba Wonwoo bangun.

“Tidak, bagaimana?”

Wonwoo menyerah, menutup buku dan meletakkannya di samping duduknya.

“Temani aku membeli hadiah untuk keponakanku ya?”

Jihoon menoleh ketika tak langsung mendapat jawaban, Wonwoo mengangguk.

“Jemput saja, kabari aku kapan akan berangkat, masuklah ke kelas, Ji! Aku akan mengembalikan buku.”

Beranjak dari duduknya meninggalkan Jihoon yang mengomel membersihkan camilan yang ditandaskan Wonwoo.

.

.

Daun-daun itu meranggas, masih terasa menyakitkan ketika menggugurkan dirinya, menyerah pada angin yang masih terus menghempaskan pegangan daun pada rantingnya.

Wonwoo mengekori Jihoon yang masih berjalan terlalu semangat.

“Lelah, Ji. Ayo makan!”

Tetapi kakinya memaksa berhenti, pendengarannya terlalu tertarik pada musik yang ada di sebelah kanan jalan yang di lewatinya. Sepersekian detik, Wonwoo kehilangan kesadaran di sekitarnya. Berganti dengan pemuda yang menari tanpa canggung, mencoba menyampaikan perasaannya lewat tarian yang tak mampu membuat kelopak Wonwoo membasahi iris miliknya.

Napasnya seperti terambil, ketika pemuda itu menghentikan seluruh gerakan sendinya dengan begitu luwes. Berganti dengan penari selanjutnya.

.

.

Jihoon kelabakan mencari Wonwoo yang tidak lagi mengekorinya, menemukannya terpatung di depan penari jalanan yang menunjukkan kebolehannya.

“Won, aku mencarimu, kau tahu?”

Jihoon mencari celah dari iris Wonwoo yang tak berkedip. Menunggu hingga dentuman musik menghentikan diri.

“Ayo!”

Wonwoo sedikit tersentak, “kau mengagetkanku!”

“Salahmu, kenapa terbengong? Belum pernah melihat tarian? Atau orang yang tadi menari? Sini, ku kenalkan padamu!”

Kecil tak berarti tak mampu menyeret Wonwoo yang pasrah.

.

“Soonyoung!” Jihoon melambaikan tangannya ke atas.

Wonwoo menahan napasnya, membasahi irisnya secepat yang ia mampu. Memindai pemuda di hadapannya terang-terangan. Indra pendengarnya menulikan diri pada apa yang dikatakan Jihoon.

“Hai, kenalkan aku Kwon Soonyoung.”

Wonwoo menggenggam jabatan tangan dengan gemetar, memilih memberikan satu kaleng green tea latte yang sedari tadi di bawanya.

“Jeon Wonwoo.”

Pemuda di hadapannya tersenyum, menarik sekali.

“Kau sekelas dengan Jihoon, bukan? Yang bulan kemarin memenangkan kompetisi Sains?”

Mengangguk canggung dan tak mampu membuka bibirnya untuk mengatakan sesuatu.

“Oh, dan terima kasih minum nya.”

.

.

Di akhir kelas 9 mereka bertemu.

.

Di kelas 10 mereka mencoba untuk mengenal satu sama lain.

“Kau suka green tea latte, Jeon?”

Wonwoo mencubit hidung Soonyoung hingga memerah.

.

Di kelas 11 Wonwoo meminta Soonyoung untuk menjaganya.

Bermain bersama untuk kesekian kalinya, Wonwoo menggenggam Soonyoung dalam jemari kurusnya.

“Kwon, maukah kau menjagaku dalam jangkauanmu?”

Berhadiah satu ciuman pertama yang mereka bagi.

.

Di kelas 12 Wonwoo berjanji selalu merengkuh Soonyoung dalam dekapannya.

“Soonyoungie, teruslah berada di sampingku, aku ingin mengikatmu dalam janjiku, aku menyayangimu, Kwon Soonyoung, ingatkan aku ketika lupa bahwa aku mengikatmu dalam janjiku.”

Di bawah daun-daun yang menggugurkan diri, di lembayung senja yang menemani, dan desau angin yang melangkah menyejukkan diri. Wonwoo merengkuhnya ke dalam dekapannya yang tak ingin melepaskan diri.

.

.

Melangkah tergesa dari tempat duduknya, mencari tahu kegaduhan apa yang terjadi di damainya ia menelaah buku dalam genggamannya.

Menemukan ayahnya yang masih menyimpan beberapa bunga ke dalam vas di atas meja kasir. Melangkah bersama Wonwoo keluar toko untuk mencari tahu.

Perampokan terjadi di dalam gedung toko perhiasan di seberang jalan toko milik ayah Wonwoo.

Suasana sangat kacau, beberapa tembakan terdengar, Wonwoo mencoba kabur menyelamatkan diri, tetapi terlambat, ayahnya tertembak tepat di sampingnya. Mengabaikan bahunya yang bersimbah darah. Menggapai tubuh ayahnya yang melemas. Berteriak, tetapi Wonwoo tak mampu mengeluarkan suaranya. Netranya mengalirkan air yang melewati pipinya begitu deras.

Namun Wonwoo serasa hilang, Wonwoo tak mampu lagi meminta pita suaranya untuk bekerja.

.

'Maaf Tuan Lee, tetapi Jeon Wonwoo terlalu shock, dan mengakibatkan pita suara miliknya terjepit. Untuk kemungkinan sembuh, ada, tetapi terlalu beresiko untuk mengoperasinya.'

Wonwoo mendengarnya dan menangis.

.

'Aku pergi, Kwon. Jangan menghubungi, jangan mencari! Anggap kita tidak pernah saling mengenal!'

Wonwoo mengirimkannya dengan getaran yang tak ingin ia rasakan. Dada kirinya berdebum keras, ulu hatinya kebas, dan seluruh pikirannya tak mampu memproyeksikan apapun. Wonwoo pergi, berpindah tempat, mencari pekerjaan, menetap, dan berpindah kembali.

Dunia terasa begitu kejam bagi Wonwoo. Ia ingin pergi, namun enggan. Ia ingin tetap, tapi tak mampu.

Tak ingin mencari tahu di mana setengah hatinya tertinggal tak berdaya di rengkuhan pemuda yang ingin Wonwoo lindungi.

.

Bunga mimpinya selalu berguguran, dengan sempurna membentuk kepingan kenangan dalam setiap mozaik yang ia hias bersama dan bernama Kwon Soonyoung. Menemukan matanya berair ketika menemukan cahaya temaram. Wonwoo beranjak, memilih membaca buku untuk membunuh gelap yang tak mampu terlewati dengan menggelapkan iris.

Memeluk beanie coklat di dadanya, mencari kehangatan dan aroma yang biasa ia reguk di tahun tahun ke belakang.

Pada akhirnya ia menyerah. Mencari di mana setengah hatinya berada.

.

.

Wonwoo di sana, memandang dari kejauhan, tangannya gemetar, dengan degupan yang sama.

.

Kali ini mendekatinya perlahan, meremas apapun di balik saku jaketnya.

Dan mereka kembali

Para kenangan yang tidak ingin terhapus

.

.

.

To be Continue

.

.

.

Hello, it’s me again… so... here is the flashback of theirs… Mmm, salah satu scene di atas, terinspirasi dari salah satu film korea jadul, yang kebetulan aku lupa judulnya. Aku ambil bagian ayah wonwoo yang tertembak dan wonwoo yang akhirnya mute karena terlalu shock, selain itu keseluruhan ceritanya berbedaaa… hoho

Mind to give me some sentences? Thank you for passing by, have a good day!

@coffielicious