Telur Mata Sapi ─
Malam yang mereka lewati terlalu sendu.
Minseo memiringkan tubuhnya, meringkuk seperti bayi. Kelopaknya bengkak, suaranya hilang, lelah yang begitu kentara.
Seungwoo membenarkan letak selimut yang menutupi istrinya. Mengusap pelipisnya. Menggumamkan maaf sebelum beranjak.
“Seungwoo,” Minseo memanggilnya lirih.
Tangannya yang menggantung di gagang pintu, Seungwoo urungkan.
“Tolong tutup pintunya dari luar.”
Seungwoo menurut. Menutup pelan pintu kamar mereka dari luar. Mendudukan diri di sofa dengan cahaya lampu yang temaram.
Mencoba merebah diantara gelisah, raga yang mengeluh lelah, juga jiwa yang melanglang buana.
Ponselnya menyala, menampilkan satu foto, berisikan gantungan kunci rubah dua biji dan taman sebagai latar belakang.
Perlahan, kesadarannya beralih pada mimpi yang tak pernah mampu ia raih.
.
.
Minseo membalikkan telur mata sapi untuk sarapan. Badannya terbungkus apron, anggun untuk seukurannya.
Meletakkan dua telur di atas piring. Menyajikannya bersama kopi juga air putih.
Seungwoo memperhatikannya. Tak mampu mengucap satu kata.
Duduk manis di depan meja, sama sekali tak menyentuh apa yang istrinya sediakan.
“Dimakan, tidak baik jika tidak sarapan.”
Baru saja Minseo akan beranjak, Seungwoo menahannya.
“Maaf.”
Minseo diam, tak menyahut, memilih pergi ke ruang depan. Membawa satu gelas teh untuk temannya menonton kartun hari Minggu.
Seungwoo memakan makanannya dengan diam. Menyesap kopi manis yang terasa hambar.
.
Menyusul Minseo, mendudukan dirinya agak jauh.
“Kau masih mencintainya?”
Seungwoo menoleh, ragu akan menjawab.
“Jawab jujur,” Minseo berkata lirih.
“Ya, masih sangat mencintainya.”
Jantung Minseo seakan terpelintir keras. Suaminya mengatakannya tepat di depannya, kali ini tanpa ragu. Dengan cahaya maniknya yang memantul menyilaukan.
“Maafkan aku, Minseo. Maaf.”
“Kenapa ga bilang dari awal?”
Seungwoo menerawang, tersenyum secuil untuk kemudian memundurkan diri. Menumpukan punggung pada sandaran sofa.
“Orang tua dan balas budi,” mengambil satu bantal, ia tumpukan pada pangkuan.
Minseo masih memperhatikannya, tak ingin setengah-setengah.
“Banyak yang harus aku pertimbangkan. Awalnya, aku mau bilang kalau aku mau cari pendampingku sendiri. Dengan mencoba berbicara pada orang tua. Mengharap semua mulus, tanpa cela.”
Seungwoo memutar bantalnya.
“Tapi bukan seperti itu semesta bekerja, iya kan?”
Senyumnya masih terpatri, kali ini tak mencapai bulir pupil beningnya.
“Aku yang salah, Minseo. Seharusnya aku jujur dari awal.”
“Seungwoo.”
“Hm?”
“Maaf.”
Seungwoo kaget, ia menegakkan badannya cepat.
“No, ga seharusnya kamu minta maaf.”
“Kita semua salah, Woo. Aku, salah dengan keserakahanku. Kamu, dengan ketidakjujuranmu. Dan Seungyoun, yang menyembunyikan Esa dari kamu.”
Minseo meluruskan tungkainya, mengusap lengan yang memeluk bantal di depan dadanya.
“Coba, kalo dari awal kamu juga ngasih tau Youn tentang pertunangan kita, mungkin dia bakal hati-hati. Mungkin dia akan nganggep kalo kamu temennya, tetangganya.”
Minseo menerawang jauh.
“Coba kalo dari awal aku ga maksa papa buat ngenalin kamu ke aku, maksa kamu tunangin aku, juga maksa kamu nikahin aku padahal aku punya kanker serviks. Yang jelas-jelas ga bisa ngasih kamu keturunan. Aku egois banget, ya kan?”
Minseo tersenyum lemah, “mungkin kalo aku ga egois, kamu bisa nentuin masa depan pilihan kamu sendiri.”
Minseo menyesap teh manis yang sedari tadi menemaninya.
“Coba kalo dari awal Youn ngasih tau tentang Esa. Mungkin kamu bakal lebih tegas buat nolak pernikahan kita.”
Minseo menjatuhkan tatapannya pada Seungwoo yang juga memandangnya.
“Kita semua salah, Woo. Kita semua pincang di sini.”
Minseo mengusapkan jemari pada pipinya yang basah.
“Maaf, karena egois. Maafin aku, Woo.”
Seungwoo mendekat, mencoba mendekap Minseo untuk ia tenangkan.
“Maaf, Minseo. Maaf.”
Uraian peluk mereka basah. Menyesali banyak hal yang tak seharusnya ada.
Minseo mendorongnya pelan.
“Aku tanya sekali lagi. Kamu masih cinta Youn?”
Dalam tatap sekian jengkal. Minseo merasakan anggukan.
“Ya, aku masih cinta Youn.”
“Makasih udah jujur.”
Minseo mengusak surai suaminya hingga berantakan. Merasakan hatinya porak poranda dengan badai yang ia buat sendiri.
“Kita semua pincang, Woo. Tapi aku pengen kalo kamu kembali berjalan tegak.”
Minseo menggenggam tangan suaminya, menyulurkan jemari pada jari manis milik yang lainnya. Ia lepas cincin yang dua tahun lebih ini bertengger manis menghiasinya.
“Ayo bercerai.”
Suaranya bergetar menyakitkan, Seungwoo tak meresponnya. Otaknya chaos, memproses dua kata yang diucapkan istrinya barusan.
“Aku ga mau jadi penghalang jalan cinta kalian. Aku pengen kamu lengkap. Jadi, ayo kita bercerai.”
Minseo menangis, bersamaan dengan Seungwoo yang masih menatapnya dengan netra yang berkaca.
Seungwoo bersimpuh, “maaf, Minseo. Maaf.”
Hari Minggu itu, kelabu, menjadi saksi bisu untuk waktu yang membeku.
.
.
©coffielicious