The Last Station

Just imagining with your OTP


Gerbong 9, ramai. Ia melangkah ragu, sedikit melongok mencari celah untuk sekadar berdiri. Dan tepat, di depan pintu pada akhirnya. Berpegang pada teralis.

Tubuhnya yang tinggi mampu melewati banyak orang dengan pandangannya.

Dan sama.

Hari ini, Rabu.

Berkemeja kelabu, cocok sekali dengan hujan yang masih betah tumpah.

Ia mengerjab.

Gerbong Sembilan, pukul sembilan belas tiga puluh lima. Kereta dari Manggarai menuju Cikarang beranjak, meninggalkan jejak yang tak kasat.

Obsidiannya kini beralih, membiarkan memindai sekilas lalu.

Kemudian bertumpu pada lelaki berkemeja kelabu, bertopi biru yang semu. Bersedekap di sudut pintu, merelakan matanya menyayu.

Tumpuan kakinya ia coba untuk tak goyah. Kemudian satu denting notifikasi merubah atensinya.

‘Aku menunggu di depan mall.’ ‘Owkay.’

Instrument kalimba mengalun dari speaker kereta, sekadar mengisi suara sebelum ada.

Transit Jatinegara. Pintu kiri terbuka dari arah datangnya kereta.

Gerbong masih penuh, kalimba kembali mengalun, dan deretan orang menunduk dengan seragam.

Melaju dinamis.

Kali ini Klender. Pintu kiri kembali terbuka, mengurangi beban beberapa kepala.

Dan piano menggantikan kalimba yang sempat memenuhi ujung-ujung ruang gerbong sengan saksama.

Buaran. Dan ini stasiun terakhirnya.

Lelaki berkemeja kelabu itu, yang tak ia sangka, menangkap obsidiannya dalam satu kuncian dan mengangguk.

Kerjabnya cepat, seirama dengan langkahnya keluar.

Kemudian kereta pergi. Menyisakan lamunan yang tak henti.

“Hai-“

.

.

@coffielicious