Time
.
Sejun x Subin AU
.
Sejun menemukan kertas perkamennya berserakan di atas bangku yang terbiasa ia duduki. Mengedikkan bahu acuh, masih bersyukur semua perkamennya utuh.
Menatanya, membawanya pulang.
.
Suara ribut dari gang sempit melewati pendengarannya. Sejun hampir saja berlalu jika ia tidak menemukan kucing mungil yang hampir saja terinjak sempurna.
“Stop!”
Mereka menoleh serentak, melirik sok hebat. Berjumlah tiga orang dengan mata yang sama sekali tak ramah.
“Kau mengganggu kesenangan kami anak muda.”
Sejun menoleh lega ketika anak kucing berlalu pergi. Sejun hanya memandang mereka, “well, you’ll get your karma?”
“Karma? Haha, bitch!”
Satu pukulan mengenai rahangnya, ia tak sempat menghindar. Kemudian disusul dengan pukulan-pukulan lain yang membelenggunya.
“POLISI!”
Teriakan itu mampir ke telinga Sejun ketika ia sudah terkapar.
“Hey, you okay?”
Sejun diam, ia diseret dan didudukkan di bangku terdekat.
“Kak Sejun?”
Mukanya mungil sih, lucu pula. Jangan bayangkan suaranya, lebih gentle dari perkiraanmu.
“Hm?”
Sejun melihatnya menegak ludah, membuka ranselnya dengan tergesa. Mengeluarkan kotak P3K dengan ceroboh. Sejun terkekeh pelan, lucu sekali anak ini.
“Ada apa, Kak?”
“Ga papa, lucu. Bawa P3K kemana aja.”
“Buat jaga-jaga, Kak.”
Sejun meringis pelan ketika kapas beralkohol itu menyapa luka di sudut bibirnya.
“Maaf, Kak,” katanya pelan.
“No need to, gue yang makasih.”
Sejun agak terkejut dengan plester olaf yang Subin tempelkan di ujung hidungnya.
“Ya! Kenapa olaf?” Sejun memprotes tidak terima.
“Ugh, adanya itu, Kak,” katanya takut-takut.
“Makasih deh,” Sejun beranjak dari duduknya untuk berbalik ke arah jalan pulang. Meinggalkan Subin yang masih berkutat dengan peralatan P3K nya.
.
.
Sejun menepukkan kedua tangannya, “selesai,” puas, ia pandangi lukisan sayap di depannya. Gambaran ketidak sempuraan dalam sebuah kesempurnaan? Seakan menggambarkan dirinya sendiri. Terkenal dengan kepandaiannya, ketampanannya. Namun ia begitu rumpang. Ketika salah satu sayap mengepak terlalu sempurna pada goresannya, mampu memukau setiap netra yang akan menemukannya. Maka yang lainnya adalah sebaliknya. Hitam kelam, seakan tak ada kehidupan. Hanya ia dengan sudut yang mengerikan.
Meletakkan kanvas miliknya, kemudian beranjak untuk mencuci jemarinya yang kotor oleh cat.
.
.
Sejun menemukan Subin tepat di hadapnnya, tidak jauh dari gang tempo hari. Tidak lebih baik, kali ini dengan lebam di sudut pipi yang terlalu kentara.
Sejun menggaruk lehernya canggung, “hai.”
Sejun melihatnya mengerucutkan bibirnya, oh! Lucu sekali, “apa lagi, Kak?”
Sejun membuka ritsliting jaketnya, bisa ia lihat Subin yang memundurkan dirinya perlahan.
“Mereka memukulinya, jadi ya…”
Subin mendekatinya, mengambil anak anjing dari dekapannya, membelainya perlahan. Sejun diam di tempatnya, terpesona dengan apa yang ada di depannya. Memotretnya dalam kotak ingatannya, sesempurnanya.
“Kak, ayo ikut!”
Ujaran dari yang lainnya membuyarkan keterpekuran pikirannya sedetik lalu. Subin membawanya ke klinik terdekat membiarkannya diurus oleh ahlinya.
Di perjalanan pulang mereka, Subin menajak Sejun untuk mampir ke kedai tteokbokki. Memesan dua porsi dan bercengkarama ringan, Sejun akan memperhatikan setiap gerak kecil dari Subin. Bagaimana ia memakan makanannya dengan hati-hati. Bagaimana bibirnya memerah karena terlalu pedas. Dan bagaimana wajahnya mampu membayangi Sejun beberapa waktu kebelakang.
.
Ketika mereka mampir ke kedai tteokbokki untuk ke dua kali. Sejun agak kaget melihat wallpaper Subin. Itu goresan kanvas miliknya di tembok atap sekolah. Apakah Subin sering mampir kea tap sekolah? Apakah yang membawa perkamennya ke atas bangku waktu itu adalah Subin?
Sejun mengedik, membiarkan pikirannya berkelana sambil lalu.
.
.
Sejun mengelus sebelah pipinya yang tergores memanjang. Perih sekali. Di tangannya ia membawa satu set cat dan kuas, ingin merilis stress dengan menggoreskannya ke tembok, mungkin. Ia tumpukan salah satu tangan pada pegangan tangga. Membuka pintu yang akan membawanya ke atap dan menemukan lelaki yang menjadi objek gambarnya tempo hari.
“Subin?” Sejun menyapanya perlahan.
“Kak Sejun?”
Ada diam yang lumayan lama, Subin yang melihat Sejun juga lukisan bergantian. Seakan mengumpulkan satu persatu mozaik untuk ia susun.
“Kak Sejun yang ngelukis ini?”
Sejun mengangguk, membiarkan cat di tangannya ia letakkan perlahan, menelisik Subin yang hampir saja membuka mulut, kemudian maniknya beralih pada salah satu sisi pipi Sejun yang terluka.
“Kali ini apa, Kak?”
Sejun mundur ketika Subin mendekatinya dengan langkah lebar. Menekan sudut pipi yang terdapat luka.
“Aww sakit, Bin. Hei”
“Kali ini apa? Coba jawab!” katanya setengah murka.
“Kamu tau?” Sejun beranjak menuju bangku tua, mendudukkan diri di atasnya. Membiarkan Subin menunggunya meneruskan kalimat. Maniknya menerawang, “ada satu waktu, dimana keinginan kita yang ga selalu terkabul?”
Anggukan Sejun terima, Subin mulai mengurus lukanya dengan beberapa alat seadanya.
“Luka ini, salah satu hasil dari patahnya mimpi gue. Haha, gue makin ngelantur.” Sejun mengerjabkan maniknya ketika bersibobrok dengan Subin. Ditatap dan ditelisik sejauh yang ia mampu.
“Kak, gue di sini.”
Sejun terkesiap pelan, kemudian menguasai diri. Tersenyum akan kebodohannya dengan manik yang berkaca, “sorry, gue harus pergi.”
“Kak, gue selalu di sini.”
Kalimat terakhir sebelum Sejun dengan pengecutnya kabur dari hadapan Subin. Ia belum rela ketika ia harus membagi cerita, tetapi bibir kurang ajarnya meloloskan kalimat yang tak seharusnya.
.
Sejun memasuki unitnya perlahan, menemukan sepatu lain yang menua di depan pintunya, “aku pulang.”
Seorang lelaki tua, duduk di atas sofa dengan angkuhnya. Kemudin teriakan yang familiar menyapa gendang telinganya.
“Kamu harus meneruskan perusahaan Papa!”
Sejun diam di tempat, membiarkan kalimat lain yang tak ingin ia dengar memantul.
“Udah, Pa? Pulang gih!” Sejun beranjak menemui anak anjing yang ia beri nama Polly.
“Papa ga akan biarin kamu jadi pelukis, ngga akan pernah. Cukup mama kamu yang hancur, kamu engga.”
“Aku, ga pernah ngerasa hancur, Pa. tolong biarin aku ngeraih mimpi aku sendiri tanpa campur tangan Papa.”
Satu tamparan keras mampir di wajahnya. Sejun menatap Papanya berkaca, “ini yang bikin mama hancur, Papa selalu memotong semua mimpi kami. Papa yang diam-diam ngehancurin semua lukisan mama demi belas kasih, memanjat social dengan pura-pura jadi penyemangat di belakang mama. Padahal omong kosong,” Sejun beranjak. Mengambil salah satu jurnal yang selalu mamanya tulis semasa hidupnya. Menyerahkannya pada sang papa.
“Permintaan mama ga muluk-muluk. Ketika beliau tua dan masih bisa melukis, setidaknya ia mampu ngerawat aku sama Papa di dekapan beliau. Papa ga pernah tau perjuangan mama. Mimpi mama ada bahkan sebelum kenal Papa. Dan dengan bodohnya, Papa ngehancurin dalam sekejap mata,” Sejun berlalu kembali keluar dari unitnya. Membawa Polly dan menyambar ranselnya asal. Menendang tempat sampah yang masih terdapat vas bunga yang menghantam pipinya tempo hari.
Ia memilih berlari, menuju stasiun kereta bawah tanah. Membeli tiket untuk membawanya ke makam mamanya. Ingin berdiam di sana sementara waktu.
.
.
Sejun berjalan di koridor untuk menuju perpustakaan. Mengacuhkan tatapan siswi yang tak tanggung-tanggung memperhatikannya hingga ujung jalan. Memasuki ruang dingin nan senyap ia berjalan menuju salah satu rak, mengembalikan buku yang ia selesai baca. Mengambil buku lain untuk ia lahap.
Menghabiskan waktu istirahatnya dengan buku yang kini bertumpuk.
“Kak.”
Sejun mendongak, di hadapannya Subin berdiri, meremas ujung fabrik seragamnya. Menunduk dan memberanikan diri memundurkan kursi di seberangnya.
“Maaf, Kak.”
Sejun menutup bukunya, membiarkan terbengkalai, menyeret Subin menjauh dari tempat baca.
Mereka berdiri berhadapan di lorong rak buku yang lumayan jarang dikunjungi.
“Gue yang minta maaf.”
“Tapi Kakak ngilang akhir-akhir ini, ga ada lukisan baru juga di tembok atap.”
Sejun tersenyum, membawa tangan Subin ke dalam genggaman, “banyak kejadin, Bin. Lu mau nunggu gue, kan?”
Subin meneleng bingung.
“Gue… kayanya tertarik sama lu.”
Ada jengitan kecil yang Sejun rasakan di telapaknya, “ lu mau nunggu gue terbuka sama lu, kan? Gue percaya sama omongan lu, lu selalu di sini.”
Subin mengangguk, “gue… selalu di sini, Kak.”
Sejun tersenyum, mengusak surai lembut di hadapannya, “masih ada banyak waktu, kita jalani bareng-bareng.”
Benar, masih ada waktu untuk mengenal satu sama lain. Berawal dari bolos, perkamen, kucing kecil, puppy, dan luka. Juga penghias lukis di perjalanan mereka.
Subin menahan napas, ketika Sejun menariknya, membawanya dalam dekap erat yang dirindunya.
.
.
.
©coffielicious