Two Faces

.

Wip

.

Ia mengerang, menggelengkan kepala hingga rambutnya yang kian memanjang makin masai, “Arrrgghh, astaga penjaja kopi sialan!!” umpatannya tak berhenti, menyalahkan penjaja kopi pinggir jalan yang tak sengaja menarik tali rambutnya dan kini seperti yang kalian terka, ia belum bisa mengkuncir rambutnya sedangkan tangannya masih berlumuran cat lukis miliknya.

Bibir manisnya masih mengeluarkan sumpah serapah ketika seseorang masuk ke dalam ruangan. Ia mengernyit, “Apa yang terjadi?”

“Kau tahu?? Tadi penjaja kopi dengan kurang ajarnya memasuki ruanganku dan menarik tali rambutku! Dan salahkan Wonwoo yang pergi setelah membiarkan penjaja kopi itu masuk, ah sialan!” ia makin mengibaskan rambutnya, mencoba menahannya di belakang punggung selagi ia membungkuk.

“Lalu apa?”

“LALU APA KAU BILANG?”

Lelaki yang belum satu menit berada di sana menutup telinga, “Oh, aku salah kalimat tanya.”

“Lihatlah rambutku yang makin panjang ini, hei Han Damn Seungwoo!! Bisa kau lihat dia begitu liar turun di telinga dan wajahku! Menghalangiku! Hei aku akan menggunting botak saja sekalian, HAH!” ia berkata menggebu.

Lelaki itu, Han Seungwoo mengernyit, “Emmm, kau sedang fase bulanan?”

“APA LAGI MAKSUDMU, HAH?”

Seungwoo semakin meringis, namun ia perlahan mendekati perempuan yang masih berkutat dengan cat air yang memenuhi tangannya, menciprat di apronnya, juga rambut blondenya yang membandel.

“Hei diamlah, Seungyeonnie.” Seungwoo kini berada di belakangnya.

“Apa lagi maksudmu dengan diam, hah?!”

Seungwoo memejamkan matanya, meringis dan menahan tawa. “Semakin bergerak, semakin masai rambutmu, diamlah dulu.”

Perempuan itu, bernama Seungyeon perlahan terdiam, “Oke.”

Seungwoo mengeluarkan tali merah panjang dari sakunya, tadi ia tak sengaja membawa pita milik keponakannya. Dengan pelan, ia mengambil helai rambut yang menyusuri wajah Seungyeon, menyatukannya di belakang, dan menatanya. Mengikatnya seperti ekor kuda, kemudian membiarkan jemarinya menelusuri lembutnya.

You got a tattoo.”

Perkataan itu membawa Seungyeon kembali ke bumi setelah lamunnya juga mengembuskan napas tertahannya, “O-oh, thanks and yea, I got a tattoo.” Seungyeon mengingkir, menyelesaikan lukisannya dengan susah payah.

Seungwoo memperhatikannya, “Apa artinya?”

It’s passion.”

Seungwoo mengangguk, kini memilih duduk di ujung ruangan.

“Oh, ada apa kemari?” Menuangkan cat merah pada satu titik menggunakan tangannya.

“Hanya lewat, mengapa tidak menggunakan sarung tangan?”

“Tercebur, lihat itu.” Seungyeon menunjuk sarung tangan yang berlumuran cat cokelat yang tergeletak dekat kakinya.

Seungwoo mengangguk mengerti, “gambar apa yang akan kau buat?”

“Entah,”pundaknya mengedik, “hanya menuangkan pikiranku. Kau tak pulang?” Seungyeon berbicara dari bahunya.

“Menunggumu?”

Seungyeon tertawa, “tidak perlu, kau pulanglah.”

“Menginap lagi?”

“Tidak, aku pulang larut, kau pergilah Seungwoo.”

“Kau benar-benar ingin menghukumku seperti ini?”

Seungyeon diam, menghentikan tangannya yang baru saja ia ceburkan pada cat air biru di hadapannya.

“Setidaknya, beri aku kesempatan untuk sekadar berteman jika memang kau benar-benar tak ingin kita menjalin hal yang lebih dari itu.”

“Pulanglah Seungwoo. It’s late.”

Tak ada suara setelah itu. Membiarkan ruangan berwarna-warni itu berkonotasi dengan suasana diantara mereka.

Seungwoo mengalah, meletakkan satu tote bag di atas meja di hadapannya, “Setidaknya, jangan lupakan makan malam, Seungyeonnie.”

I can’t Seungwoo.”

Seungwoo berhenti dari langkahnya menuju pintu.

Im sorry I can’t.” menggigit pipi dalamnya, tak membiarkan sakit menyapanya.

.

.

.

Seungwoo menghampiri Wonwoo yang memperhatikan lukisan tangan di ujung ruangan.

Two faces?”

Wonwoo menoleh dan mengedik.

“Dia tidak datang?”

“Entahlah.”

“Ia bahkan tak mengucapkan selamat tinggal.”

Wonwoo tak menjawab, menelan kembali kata-kata yang hampir keluar.

“Wonwoo… aku, bahkan tidak tahu apapun, tapi kenapa aku jatuh sejauh ini?”

Wonwoo menghela napas perlahan, “You’ll know, someday. Aku pergi.” Menepuk pundak Seungwoo dan menjauh.

Seungwoo masih di sana, satu jam, dua jam… hingga seorang laki-laki menghampirinya.

Mengenakan kemeja putih, membiarkan kain di lengannya tergulung rapi. Ia tinggi, hampir sepadan dengan Seungwoo.

“Maaf tuan, galeri akan ditutup.”

Seungwoo menoleh dan mengangguk, memandangi sekali lagi lukisan di hadapannya.

Dua wajah, lelaki dan perempuan, di bawah lukisan itu ada tiga huruf, c, s, dan y.

Lelaki yang tadi menghampirinya membungkuk, mengambil sesuatu yang terjatuh dan memberikannya pada Seungwoo.

Lelaki itu mengerjab ketika Seungwoo memandanginya penuh selidik, “Who are you?”

Lelaki itu semakin kebingungan, “Im sorry, Sir?”

WHO ARE YOU?” Seungwoo berteriak, kali ini sambil mengguncang tubuh lelaki di depannya.

You okay, Sir?”

“KATAKAN SIAPA?”

Lelaki itu menggigit bibir, “Well, mari berkenalan… Cho Seungyoun.” Memberikan tangannya untuk dijabat.

Seungwoo memenjamkan kelopaknya, yang perlahan ia buka, ia menatap langsung pada manik kelam, terlihat kebingungan.

Seungwoo masih menelisik, mencoba mencari jawaban lewat obsidiannya.

Lelaki itu, Cho Seungyoun, mengerjab. “Ada yang bisa saya bantu?”

No, im sorry, maaf meneriaki anda tadi.” Kemudian Seungwoo bergegas pergi.

Seungyoun masih di sana, tangannya ia masukkan pada kantung celananya, meremas pita merah yang akan selalu menjadi pengingatnya.

I’m sorry, Seungwoo. I really do.” Pandangannya terjatuh pada lukisan yang menjadi pemandangan Seungwoo selama berjam-jam.

Lukisan miliknyanya.