Waffle ─
Bunyi ketel menandakan air yang telah mendidih mengalihkan perhatian Seungyoun dari menyiapkan sarapan untuknya dan Eunsang.
Meninggalkan bubur sum-sum yang sedari tadi ia buat, untuk mematikan kompor.
Eunsang masih lelap. Semalam bermain hingga larut dengannya. Tak henti bercanda hingga lelah.
Menyusul ke dalam kamar mereka.
“Hallo, jagoan pippi belum mau bangun?”
Tangannya ia letakkan di punggung mungil putranya yang berbaring miring. Ini sudah pukul 9, tumben saja belum bangun.
Bibirnya ia bawa untuk mengecupi seluruh wajah Eunsang. Dari jidat polosnya, kelopak yang masih tertutup, hidung bangir nan mungilnya, dagu yang menggembul dan pipi yang menggembil.
“Sayang, ayo bangun.”
Belum ada tanggapan, Seungyoun memilih berbaring di samping putranya. Memandang langit-langit kamar mereka yang penuh dengan bintang glow in the dark.
Menerawang.
Setelah ia mengajukan surat permohonan undur diri dari jabatan juga pekerjaan. Seungyoun memilih untuk di rumah terlebih dahulu. Menghabiskan seluruh waktu yang ia miliki bersama Eunsang.
Kalau bosan, ia akan berjalan-jalan.
Banyak yang menentang keputusannya, sebenarnya. Apalagi ditambah masih hitungan bulan ia diangkat menjadi manager. Tapi, keputusan Seungyoun sudah bulat.
Ingin menghabiskan banyak waktu bersama Eunsang, lebih fokus dengan pertumbuhan Eunsang, dan juga menikmati hidupnya tanpa deadline.
.
“Ppi.”
Suara itu mampu membawa Seungyoun kembali dari kelananya.
“Oh! Hey! Jagoan sudah bangun?”
Mengusak hidung mungil putranya dengan miliknya. Menggelitiki pelan perut Eunsang. Disambut tawa bahagia dari malaikatnya.
Mengurusi Eunsang untuk bebersih.
Kali ini mereka mandi terlebih dahulu.
Bermain bebek berwarna kuning di bathub mereka. Bermain busa hingga Eunsang enggan berhenti.
Membujuknya agar Eunsang makan setelah selesai mandi. Ia iming-imingi bubur sum-sum yang selalu Eunsang sukai.
.
“Ppi, bul sum sum.”
“Huum, Esa suka?” Seungyoun menyuapinya dengan telaten. Membersihkan noda dari bibir Eunsang yang belepotan.
Anggukan diterima Seungyoun sebagai jawaban.
“Esa mau ketemu eyang ga, hari ini?”
“Eyang?” Kepala Eunsang meneleng. Imut sekali ya Tuhan...
“Iya, ketemu eyang.”
“Oom Woo?”
“Lho, kok oom Woo, sih?”
Seungyoun bertanya penasaran.
“Men, oom Woo.”
“Esa mau permen dari oom Woo?”
Surainya bergoyang seiring Eunsang menganggukan kepala mungilnya.
“Oke, nanti kita ketemu oom Woo di cafe eyang, ya...”
Anggukan semangat lagi.
“Dipelet permen doank padahal sama oom Woo-mu itu, nak.”
.
Selepas pukul 1 siang, Seungyoun mengeluarkan mobilnya dari basement. Menuju cafe milik mamanya yang tidak begitu jauh dari unit tempat tinggalnya.
.
Cafe mamanya terhitung sudah lama berdiri. Memiliki berbagai cabang di banyak kota.
Seungyoun sedang berdiskusi pada mamanya, bagaimana jika ia mengurus cafe milik mamanya saja? Apakah boleh?
Dan hasilnya menggembirakan, mama Cho mendukung penuh ide Seungyoun. Tetapi Seungyoun masih ingin mempertimbangkannya masak masak.
Kalau mama Cho sendiri memang sangat mendukung, tetapi di sisi lain beliau juga ingin Seungyoun di rumah saja, mengurus Eunsang.
Maka dari itu masih dalam tahap diskusi.
.
Seungyoun menarik tuas rem setelah sukses parkir di depan cafe. Membawa Eunsang dalam gendongan beserta barang-barang milik bocah mungil itu.
Bunyi bel di atas pintu cafe membuat sapaan selamat datang spontan terdengar.
Seungyoun memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela juga tempat bermain untuk Eunsang.
Cafe mamanya sangat cozy, memiliki spot bermain untuk balita, spot membaca di lantai atas, dan juga spot pendukung untuk sekadar nongki nongki asik juga menghiasi feed instagram dengan apik.
Untuk menu, tentu saja kopi yang utama. Tambahan jus dan beberapa minuman lainnya. Camilan juga makan berat disediakan pula.
Seungyoun memilih green tea latte mint dan sepotong waffle untuk menemani duduknya. Membiarkan Eunsang bermain sejenak sebelum putranya itu mengambil jatah tidur siangnya.
“Hey.”
Seungyoun mendongak, menemukan lelaki tampan yang memanggilnya.
“Udah lama?” Lanjutnya, menyeret kursi di depan Seungyoun untuk kemudian duduk di atasnya.
“Baru aja. Tumben udah di sini jam segini?”
Lelaki tadi melepas ransel yang menjadi beban di pundaknya, ia letakkan pada salah satu kursi yang menganggur.
“Kebetulan abis ada acara sekitar sini sih, daripada bolak-balik ya mending langsung.”
Seungyoun mengangguk mengerti, “udah pesen?”
“Udah, sekalian mau makan siang. Anak gue mana?”
“Anak apaan anjir. Tuh, mainan,” dagunya menunjuk Eunsang yang masih asik dengan perosotannya.
“Makin lucu dia tuh, nanti biar gue culik lah. Bawa pulang.”
“Sembarangan.”
Pesanan Seungyoun datang saat Eunsang menghampirinya.
“Oom Woo!” Teriaknya girang, hampir berlari, menerjang lelaki yang sudah siap dengan rentangan tangan, menenggelamkan Eunsang dalam pelukan.
“Halo, Jagoan!”
“Oom Woo, men.”
“Permen? Esa mau permen?”
Eunsang mengangguk antusias dalam gendongan lelaki yang kini kembali mendudukan diri di atas kursinya.
“Nih, buat Esa. Sun dulu tapi, sini,” telunjuk lelaki itu ada di atas salah satu pipi miliknya.
Eunsang mengecup pipi oom nya dalam-dalam. Berhadiah tiga permen yang kini dalam genggaman.
“Jangan sering-sering kasih permen napa, Kak. Ga liat apa itu gigi Esa pada griwing.”
“Kaya sering aja, Youn. Engga ya, seminggu sekali.”
“Au dah ah, mau makan dulu.”
“Iya iya, duluan aja.”
Seungyoun larut dalam makanannya. Sesekali memperhatikan Eunsang dalam gendongan lelaki di depannya.
Meninabobokan dengan telaten. Perlahan kelopak mata Eunsang meredup. Melewati alam mimpi untuk beberapa waktu di siang ini.
“Ngantuk banget dia, Youn.”
“Cape kayanya sih. Semalem begadang, minta bercanda mulu. Mana tadi bangun jam 9 an dia tuh.”
“Kok lucu banget.”
“Lucu dari mana sih? Gue juga ikut cape.”
“Lucu, anak kecil ngajak begadang.”
“Aktif banget, heran,” bersungut memasukkan potongan waffle ke dalam kunyahannya.
“Makan yang banyak.”
“Hm, nanti manggung jam berapa?”
“Agak sorean sih, lagian di sini sekalian mau ngerjain penelitian.”
Seungyoun mengangguk.
“Sini, Esa biar aku pindah ke kantor mama, biar Kakak bisa ngerjain tugas.”
“Nanti dulu, abisin dulu makannya.”
“Kak.”
“Hm?”
“Makasih.”
“Buat?”
“Buat nerima tawaran nyanyi di sini, hehe.”
“Lho, gue juga makasih, Youn. Bisa nyalurin hobi.”
“Suara Kak Woo bagus banget lagian, Youn kan meleleh.”
“Perlu dipanggilin kak Elsa, ga? Biar membeku lagi.”
Derai tawa merdu melewati gendang telinga Seungyoun, menyenangkan.
“Ya ga gitu juga sih, Kak,” sungutnya.
“Makasih, Youn. Tapi suara Youn juga bagus banget padahal. Kapan kapan karaoke aja kita.”
Seungyoun menggaungkan tawa dalam kesetujuan. Sudah lama sekali ia tidak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Sekadar karaoke misalnya.
Pesanan milik lelaki di depan Seungyoun datang dan Esa sudah beralih ke pangkuannya.
“Mau jadi ambil alih cafe?”
“Masih diskusi sih, Kak. Tapi masih pengen sama Esa dulu.”
“Ya dibawa santai aja, Youn. Jangan jadi beban.”
Seungyoun mengangguk, membiarkannya menikmati makan siang miliknya.
“Youn ada mau request lagu? Biar nanti gue bawain? Masih di sini sampe entar, kan?”
“Masih, Kak. Uhm, yang judulnya 'Sorry' aja. Lagunya Kakak.”
Lelaki itu mengangguk.
.
Kalau kalian penasaran, dia Kim Woosung. Kakak tingkat Seungyoun yang kini menjadi dosen dan melanjutkan studi S3 nya.
Memiliki suara yang sangat unik, hingga Seungyoun meminta Woosung sesekali bernyanyi di cafe mamanya. Awalnya Seungyoun pesimis, karena bisa di pastikan Woosung memiliki segudang aktifitas lain.
Tetapi Woosung mengiyakan, meminta satu sore setiap minggu untuk mengambil alih mic menjadi pengeras suaranya.
Kalau kalian bertanya dari mana mereka dekat. Mereka dekat dari musik. Sama-sama bersuara bagus juga kepintaran mereka dalam mengkomposisikan lagu.
Mereka dekat di kegiatan luar kampus dan masih menjaga komunikasi hingga saat ini.
Tentang kedekatannya dengan Eunsang. Salahkan Woosung yang terlalu supel dan terlalu menyenangkan untuk putranya.
Ia tak pernah bertanya tentang Eunsang. Tetapi menyayangi Eunsang dengan tulus.
Woosung juga terkadang meluangkan waktunya untuk mengajak Seungyoun dan Eunsang menghabiskan hari.
Seungyoun bersyukur mengenalnya. Mengenal Woosung dalam hidupnya.
.
“Kak, gue ke ruangan mama dulu ya.”
“Iya, gih sana pindahin dulu Esa, sekalian Youn istirahat juga.”
Seungyoun mengangguk, pamit undur diri. Membiarkan Woosung berkutat dengan berkas penelitian miliknya.
Seungyoun mengangkat bahu, sempat terlintas dalam benak. Mungkin ia juga bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi jika sesuatu tidak terjadi... Mungkin. Ah sudahlah.
.
Seungyoun keluar dari ruangan mamanya ketika menjelang sore.
Senjanya temaram, memantulkan matahari oranye dalam tahtanya.
Ia memilih duduk di lantai dua, bisa memandang lembayung yang bersiap bergantian dengan kerlip bintang. Bisa juga dengan leluasa menikmati alunan suara merdu dari Woosung.
Seungyoun bertepuk tangan ketika Woosung menyelesaikan bait terakhir lagunya. Menemukan manik yang lainnya. Bertukar senyum menenangkan.
.
“Gimana tadi penampilan gue?”
“Breathtakingly beautiful. As always.”
“Bisa aja, Youn.”
“Lho beneran.”
Selesai Woosung melengkapi jam manggungnya, Seungyoun menyusulnya dengan Eunsang dalam genggaman. Masih ingin berjalan-jalan anak mungil ini.
“Udah mau pulang?”
Woosung mengambil tas perlengkapan Eunsang dari salah satu pundak Seungyoun.
“Gue aja, Kak.”
“Gendong aja itu, Esa nya.”
Seungyoun menurut, membawa Eunsang dalam gendongan. Berpamitan pada mamanya dan berjalan keluar.
“Bawa mobil?”
“Bawa, Kakak?”
“Ada, tuh tadi bawa motor.”
“Kok ga pake jaket?”
“Ada di jok. Ini kalo Esa masih bangun, di dudukin di mana?”
“Di belakang, kan ada tempat duduk khusus Esa. Lagian gue juga udah minta tolong supirnya mama sih, hehe.”
“Oh, okay.”
Meletakkan tas yang sedari tadi di lengannya ke dalam mobil Seungyoun.
“Makasih, Kak.”
“Sama-sama, Youn. Hati-hati di jalan pulang.”
Meraih Eunsang untuk ia kecup pipinya dan jemarinya ia larikan ke surai Seungyoun. Mengusaknya hingga masai.
“Berantakan, Kak.”
Sungutnya, berhadiah cubitan mungil di hidung bangirnya.
“Udah jadi pippi padahal, masih aja lucu.”
“Yang lucu Esa, bukan Youn.”
“Iya iya, astagaa gemes. Udah sana naik. Tuh sopirnya nungguin.”
Woosung tersenyum, eum... tampan sekali.
Melambaikan tangannya ketika mobil Seungyoun berjalan menjauh.
“Hati-hati di jalan, Kak Woosung. Sampai bertemu esok lagi.”
Suara Seungyoun masih terlalu kentara. Membawanya dalam dekik benaknya, menyimpannya.
Cho Seungyoun dengan segala pesonanya. Yang selalu Woosung damba dan juga ia sebut dalam doanya.
.
.
©coffielicious