Coffielicious

Mandu-

Bermarga Cho, terbiasa dipanggil dengan Seungyoun. Memilih untuk memiliki unit sendiri setelah mendapat pekerjaan mapan di kota besar. Meski seluruh kebutuhan miliknya sudah terpenuhi oleh keluarganya.

Ibunya tak pernah melarang apapun. Hanya mengarahkan hal hal yang mungkin perlu Seungyoun ketahui, atau yang sekiranya ia belum mengerti.

Ayahnya pergi, memilih untuk bertemu Tuhannya terlebih dahulu, menjadi salah satu bintang untuk Seungyoun rindukan.

.

“Aku hamil.”

Mengatakannya dengan enteng ketika ia duduk di kediaman ibunya. Menyesap teh mint segar yang selalu menjadi favoritnya.

Pupil mata ibunya hanya melebar sedikit.

Ia terkejut, Youn tahu, sangat. Tetapi memilih untuk tenang.

Youn ingin menangis, bukankah ini telah mencoreng arang di muka ibunya. Tetapi, usapan pelan di punggungnya membuat ia mendongakkan kepala.

“Berapa minggu?”

“Jalan 9 minggu, Ma.”

“Wah, pasti kuat sekali. Kapan akan Youn periksa lagi?”

“Hm? Mungkin minggu depan, di tempat Jinhyuk praktek.”

“Kabari Mama, hm? Biar mama antar.”

“Bukankah merepotkan?”

“Merepotkan apa? Astagaaa, dia juga cucuku, Youn. Dan ngomong ngomong, pindah di sini dulu aja. Mama pengen ngurusin Youn.”

Youn diam, beringsut turun dari kursi, bersimpuh di kaki mamanya, kemudian tersedu. Ia tak mampu membendungnya, di hadapan orang pertama yang ia sebut namanya.

.

Memasuki 11 minggu, Youn terkadang masih muntah-muntah. Tidak apa. Sudah agak berkurang dibanding yang lalu.

Oh! Tentang ngidam, tahu apa? Ia ingin sekali banyak boneka, mulai dari beruang, kera, gajah, bahkan snoopy. Mamanya lumayan protes ketika satu waktu, sepulang mereka memeriksa kandungan, Seungyoun memborong boneka putih snoopy, mulai dari sekecil ganci sampai setinggi orang dewasa.

Mama Cho menggeleng gemas. Kemudian mencubit pipi Youn yang menggembil keras keras. Tak lupa kecupan singkat ia semat.

.

Tepat minggu ke-16, Youn kembali bertemu Jinhyuk.

Kali ini sangat berseri, Jinhyuk bilang, bayinya sehat dan ia sudah diberikan nyawa.

Ah, terharu sekali.

Juga, ia melihatnya lewat USG. Tetesan haru menyelubunginya.

.

Dimulainya tengah trimester ke-dua ini, Youn rajin berolahraga ia juga memilih untuk mengambil cuti.

Padahal awalnya ingin resign saja, meneruskan usaha ibunya. Tetapi sang atasan menggendolinya dengan berbagai iming-iming. Lagipula, Youn masih cinta pekerjaannya kok. Jadi yaa oke-oke saja.. lumayan kan masih mendapat salary tiap bulan. Dengan kerjaan kecil-kecilan yang terkadang ia bantu.

.

Memasuki trimester ke-tiga, Youn mulai membeli barang-barang lucu untuk bakal anaknya.

Mamanya lebih bersemangat, membelikan terlalu banyak tetek bengek. Membuat Youn mengerang protes.

.

Hari kelahiran tiba, tengannya digenggam erat-erat oleh sang mama. Youn tersenyum, ingin menertawai kekhawatiran mamanya yang berlebihan.

“Youn kuat, Ma... ada Jinhyuk dan yang lain.”

Mama Cho mengangguk, mengusap surai berantakan Youn, sayang.

Mama Cho memilih untuk undur diri, menunggu di luar, mendoakan yang terbaik.

.

Raungan tangis dari dalam membuat Mama Cho mengusap wajahnya kasar. Teharu, lega, dan lainnya.

.

Cho Eunsang, seindah kerling netra yang masih terlalu dini.

Terbungkus erat dengan kain lembut berbulu, menampilkan kepala yang masih terlalu mungil dalam dekap Seungyoun yang begitu hangat.

Yang mungkin akan memberi secercah warna di malam sepi milik Seungyoun yang terkadang ia lalui dengan tangisan rindu.

Papa, Eunsang lahir dengan sehat. Semoga papa selalu baik dan bahagia di belahan bumi bagian lainnya.

Youn berbisik pelan di telinga putranya.

“Putra papi, selamat datang.”

Mengecup pelipis rapuhnya pelan.

Berjanji untuk menghadapi hari untuk lebih percaya diri. Dengan dirinya, dengan Eunsangnya.

.

.

©coffielicious

Melangkahkan tungkainya malas ketika bel apartemennya berbunyi. Ini weekend astaga, kurang ajar sekali mengganggu sepagi ini.

Seungyoun mengerjab, jemarinya ia larikan ke kedua netranya, mengusaknya kasar. Di hadapannya, seorang lelaki membawa sekotak tempat makan berisi kue beras, 'saya tinggal di seberang' katanya.

Seungyoun hanya mengangguk dan menerima sekotak camilan dari tangan yang lainnya, menawarkan untuk mampir sejenak, namun ditolak halus. Mengangkat bahu, kemudian menggumamkan 'terima kasih', lalu lelaki itu beranjak pergi.

.

Yang tidak disangka oleh keduanya, mereka menjadi dekat, mungkin efek umur yang ternyata tidak jauh berbeda, pembahasan yang selalu klik ditiap-tiap topik yang mereka bangun.

Di bulan pertama, Youn menawarkan perkenalan, dijabat tangan dengan apik, meyebutkan nama dengan tegas dan senyuman yang tak luntur 'Han Seungwoo,' katanya.

Masih di bulan pertama, Youn menawarkan diri menyetirkan Seungwoo keliling kota. Mengingat Seungwoo dari kota yang lumayan jauh.

Ngomong-ngomong Seungwoo datang ke kota besar untuk pekerjaan.

Di bulan ke-dua saling bermain ke unit masing-masing.

Di bulan ke-tiga, mulai berani menginap dan memakai barang milik satu dengan yang lain.

Di bulan ke-empat, menghabiskan malam dengan sekadar menegak soju, meracau hingga kesadaran mereka luruh.

Di bulan ke-lima, berbagi mencecap rasa di mulut satu sama lain. Seungwoo bernapaskan kopi dan Seungyoun yang bernapaskan teh mint segar.

Di bulan ke-enam, mereka mulai berjalan bersama, menyusuri pertokoan kota tua dengan gelak tawa.

Di bulan ke-tujuh, mereguk surga dunia bersama. Mencapai imajenasi langit tertinggi, berdua. Mengosongkan otak, kecuali nama masing-masing dalam benak. Bermimpi tentang akhir indah seperti ending secuil fairytale.

Di bulan ke-delapan, Youn menemukan Seungwoo memainkan cincin di jari manisnya.

Tersenyum, ia menggenggam jemari yang jauh lebih panjang miliknya, mengelus punggung tangan dengan jempol kecil miliknya.

“Pasti dia nunggu kakak deh, ngga kangen apa, delapan bulan?”

“Ya kangen, Youn... tapi,”

“Hm? Tapi?”

“Lo gimana?”

“Apanya yang gimana kak? Kita kan temen, kakak udah punya tunangan, dan gue yang bebas kan? Santai aja lagi. Kapan pernikahannya?”

“Bulan depan.”

“Oh, ooohh...” Seungyoun mengangguk mengerti.

“Kok 'oh'?”

“Ya gue harus respon kaya gimana lagi?”

“Dateng ke pernikahan gue, Youn.”

“Haha, oke Boss!” Jemari Youn menggesturkan tanda hormat.

“Kayanya gue masih ada kerjaan yang gue lemburin deh Kak, gue boleh pulang dulu?”

Youn beranjak dari sofa coklat di unit Seungwoo yang tadi ia sempat menyamankan diri. Menyembunyikan satu berkas yang ia bawa sedari tadi. Kemudian pamit undur diri.

“Oh, boleh iya kerjain aja dulu, jangan kecapaian tapi ya. Sehat-sehat, Youn.”

“Iya kak!”

.

Malam itu, Seungyoun menghabiskan stok tisu di nakasnya. Berhadiah mata bengkak di keesokan harinya.

.

Beberapa bagian mereka berubah, seiring berjalannya waktu. Seungwoo maklum, ia hanya bingung ketika melihat Seungyoun di atap, pada satu sore, senja.

“Youn?”

“Oh kak, tumben ke atap?”

“Pengen aja, senja nya bagus.”

Youn mengangguk setuju. Di sana, lembayung masih menggantung, mentari sudah ingin rehat dari bumi tempat mereka menapak. Beranjak untuk berbagi shift dengan belahan bumi yang lain. Digantikan dengan kerlip bintang dan bulan sabit.

“Youn, apa kabar?”

Seungwoo meloloskan pita suaranya.

“Baik, baik banget. Kak Woo?”

“Baik juga.”

“Gimana persiapan pindahannya kak?”

“Ga pindah sih, kan kesini cuma gantiin, dan lagi gue dapet job deket rumah.”

“Wah beruntung kalo gitu.”

“Minggu depan, gue udah ga di sini.”

Youn mengangguk, “iya, Kak Woo udah bilang. Kak Woo mau bawain oleh-oleh apa?”

“Ngga ada, kemarinan udah gue beliin ganci.”

“Oh, okay.”

“Gue mau ngasih ini ke Youn.”

Kertas tebal nan apik, berlapis beludru, warna safir yang lembut, tenang nan elegan.

“Wow, keren kak udah nyebar undangan. Makasih banyak gue jadi bisa ngerasain kondangan.”

“Bawa pasangan, Youn.”

“Yeee santai, pasangan mah banyak.”

Seungyoun terkesiap, ketika perutnya bergejolak, ia agak berlari ke arah wastafel yang terdapat di pojok. Seungyoun memuntahkan air, tetapi ia begitu lemas.

“Lo sakit? Ayo periksa!”

Seungwoo panik, mengelus punggung Seungyoun, menenangkan.

“Gue ga papa.”

“Jelas jelas lo muntah!” Nadanya naik satu oktaf dari biasanya.

“Astaga, kak. Kapan hari gue udah periksa kok, dikasih obat juga.”

“Emang sakit apa?”

“Salah minum susu, hehe. Tapi sekarang udah ga papa.”

“Beneran kan?”

“Astagaa, iya kak, beneran.”

“Kak Woo, besok-besok kalo udah punya pasangan... pasangannya dijaga baik baik ya, gue tau Kak Woo bisa dipercaya.”

“Iya, Youn. Pasti.”

“Besok naik kereta? Anter kakak, boleh? Atau dijemput?”

“Pake kereta dan boleh nganter.”

.

Suasana stasiun riuh rendah, mereka berkerumun dengan manusia lain dengan tujuan yang berbeda.

“Youn.”

“Hm?”

“Makasih banyak.”

“Youn juga kak, makasih banyak.”

Seungwoo tersenyum, menggapai jemari mungil Youn dalam genggamannya. Hangat sekali, Seungwoo enggan melepas.

“Kak udah dateng tuh keretanya, sana siap siap, mau apa ketinggalan kereta?”

“Engga.”

Perlahan, genggaman mereka terlepas. Seungwoo berbalik untuk kembali, kembali pada kota asal, kembali pada tambatan hati yang semestinya.

Seungyoun menentang tungkainya yang memaksa tinggal, ia seokkan pada Seungwoo yang masih bisa ia jangkau.

“Kak, gue suka lo.”

Kecupan kilat Youn sematkan, tak perlu susah susah mendapat balasan, ia berbalik, berlari menuju lavatory terdekat. Mengambil ponsel untuk memblokir seluruh kontak Seungwoo.

Seungyoun yakin, kereta sudah berangkat.

“Sampai jumpa, papa.”

.

“Selamat, Youn. Lo ngisi, 7 minggu.”

Jinhyuk memberinya berkas hasil periksa miliknya.

“Astaga, gue seneng banget, Hyuk! Makasih banyak!”

Youn beranjak pergi dari ruangan Jinhyuk, beralih menuju taman rumah sakit. Membuka berkas dengan tangannya yang bergetar, salah satunya mengelus perut yang masih rata.

“Halo malaikat kecil, mulai hari ini, karena papi tau kamu ada di sini, ayo berjalan bersama. Kuat bareng ya, baby nya papi.”

.

.

©coffielicious

Sabtu-

Hari nya masih sama, seperti Sabtu yang lalu-lalu. Bangun lebih siang dan mengulur waktu dengan rebah malas sembari mengelus ponsel kesayangannya.

Tetapi siangnya berbeda, kedatangan tamu yang tak diundang membuatnya mau tak mau beranjak untuk sekadar membuatkan minuman.

“Ayo kencan.”

Lelaki yang lebih tua berkata disela ia menyesap teh dari cangkirnya.

“Tumben banget, biasanya kamu pulang lembur. Aku dianggurin.”

Lelaki yang lebih muda mengambil remote tv untuk ia gunakan.

“Ngerajuk nih?”

“Kenapa harus, kan ga biasa juga. Lagian aku masih pengen rebahan kaaaakk.”

Lelaki yang lebih muda menjulurkan tungkai di sofa panjang yang ia duduki.

“Kakak tunggu di cafe Lampion, jam 4 sore, ga ada penolakan. Dandan yang manis Youn ku.”

Yang lebih tua beranjak, tanpa tedeng aling-aling mencuri satu kecupan di bibir yang lainnya, kemudian pergi tak tahu diri.

.

Seungwoo pening, sungguh. Dentingan yang berasal dari pintu cafe tadi, membawa obsidiannya pada seseorang berpakaian modis di hadapannya. Rambutnya manis, tertata rapi. Pun dengan seulas senyum yang masih dilukiskan.

Netranya nyalang memerhatikan setiap jengkal mili dari sosok yang memandangnya pula.

“Cho Seungyoun?”

Memastikan dengan ragu, semanis ini? secantik, seanggun, seindah ini?

Bolehkah Seungwoo meminang Seungyoun sekarang saja, Mama Cho?

Tahu tidak? Stok darah dari otak Seungwoo hampir meleber melewati hidung?

Dengan wig, surai panjang kecoklatan. Alis yang tergambar sempurna. Tulang hidung mengangkat, menyombongkan diri. Bibir terlukis, memerah dengan cara yang begitu jahanam, menyunggingkan senyum.

Wah, tanpa adat.

Sehelai sweater rajut dengan pink lembut, mampu menyembunyikan jemari mungil pada lengan kepanjangannya.

Seutas rok pendek, putih bersih, memproyeksikan tungkai tanpa cacat, terpampang nyata. Oh, surga.

Pupil Seungwoo, dengan kurang ajar melebar dengan sempurna. Bertubi mendapat keindahan sedemikian rupa, tangannya hampir tremor, tetapi mampu mengendalikan diri.

Astaga, ku beri tahu, Cho Seungyoun seindah itu, kawan.

.

Walaupun enggan, tentu saja Youn datang, jam 4 sore tepat. Menemukan Seungwoo yang sedang menyesap kopi perlahan. Setelah sebelumnya menelisik tampilan Youn dari ujung kepala hingga tungkai yang ia biarkan diterpa angin bandel.

Seungwoo membuka kemeja flanelnya, mengaitkan pada tubuh bagian bawah Seungyoun yang terekspos bebas.

“Esensinya apa pake baju begitu?”

Daripada terkesan, Seungwoo malah seperti..... marah?

“Jangan marah.”

Meremat kemeja yang beristirahat manis di atas paha yang masih ingin menunjukkan diri.

“Tau ga, hampir mimisan?”

“Ko gitu?”

“Begini, Youn. Bayangin ketika pacar lu muncul dengan outfit kaya gini, apa tidak gila? Mana masih di luar ruangan.”

“Terus kalo di dalem ruangan mau ngapain?”

“Main uno, Sayang. Udah ah, diliatin orang-orang, pulang aja kita.”

“Ga mau, mau kencan dulu.”

“Dengan syarat, kemeja kakak ga boleh dilepas.”

Ugh, Han Seungwoo dan keposesifannya, “okay.”

.

“Berarti, surprise aku berhasil, kak!”

Parkiran penuh dengan kendaraan yang mengistirahatkan diri. Youn meloncat dengan kalimat yang tadi ia lontarkan.

“Banget, sini kasih hukuman dulu.”

Seungwoo menarik Youn untuk masuk ke dalam mobil. Lumayan tergesa, menutup pintu serampangan.

Tak lama, oyakan bibir keduanya yang bertemu yang terproyeksikan.

“Besok lagi, di rumah aja kalo mau kaya gini, bangsat banget tau ga?”

Youn mencebik, mencuri satu kecupan di bibir yang lainnya.

“Hehe, lucu deh kalo posesif gini. Makin sayang.”

Seungwoo mendumal, antara kesal, gemas dan nano-nano.

.

Ngomong-ngomong, Bapak Han Seungwoo memilih melajukan kendaraannya ke kediamannya, menginvasi Seungyoun semau beliau.

Doakan saja Youn mampu untuk sekadar duduk dua hari kedepan.

.

.

'Jamie, gue pinjem setelan lu ya! Mo kencan sama Kak Woo.' – Cho Seungyoun dengan ide gilanya.

.

©coffielicious

` Dua

Paginya lumayan berbeda, hari ini hari pertama ia akan menjejakan kaki di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Rasanya... campur aduk?

Kerah kemejanya ia betulkan beberapa kali, menelisik tas jinjingnya, adakah sesuatu terlewat atau tertinggal. Kancing lengan bajunya ia kaitkan. Sabuknya ia kencangkan.

Selukis bibir melengkung coba ia tampilkan.

Tungkainya beranjak, lengan kanannya ia ulurkan untuk menjinjing wadah buku yang tak seberapa. Bertolak pergi.

“Aku berangkat.”

.

Satu kedipan, Elang memandang dengan saksama. Ia tahu seseorang yang sedang berdiri dengan posisi tegap, istirahat di tempat. Memori otaknya mundur ke beberapa waktu lalu.

Senja, sungai, dan pergelangan kaki yang terkilir, serta satu patah dua patah kata yang tertukar.

“Bintang.”

Ia bergumam pelan, menemukan satu nama dalam memorinya.

.

Hari pertama dan MOS, menguras semua tenaga. Beruntung saja sekolah ini tidak besar tidak pula terpencil. Tanpa perploncoan hanya sedikit gertakan.

Elang sudah membuat sedikit kekacauan, menumpahkan es teh pada teman sekelasnya, ia hanya melirik, meminta maaf acuh dan pergi. Juga desas desus tentang ia lulusan salah satu junior high school ternama di luar kota.

Kedikan bahu acuhnya, terpampang nyata saat ia didapuk menjadi salah satu ketua kelompok. Netranya nyalang, mencari sesosok lelaki yang lebih pendek darinya, namun ia mampu asumsikan bahwa ia sebagai kakak tingkatnya.

Ia datang, dengan setumpuk stopmap, berbicara pada rekannya. Kemudian pupilnya bersibobrok dengan Elang. Sedikit, kelereng itu melebar.

Elang tak acuh, memilih untuk berkutat pada kegiatan awal, menyiapkan catatan.

.

Masih di hari pertama, siang hari. Diisi oleh pemateri-pemateri yang membuatnya sukses tak mampu menahan kantuknya. Berakhir ia menghadap wakil panitia MOS.

“Lang, lu tidur.”

“Iya, tau. Ngantuk, maapin. Udah, gue mau dikasih hukuman apa?”

“Lu ga lupa gue kan?”

“Ngga.”

Elang memainkan ballpoint disela jemarinya.

“Hukumannya, ntar sore pulang sama gue.”

Elang mengangkat satu alisnya, bertanya.

“Ke sungai yang waktu itu, kan rangkaian MOS sampe sore banget, jadi bisa liat senja bareng.”

“Ga, Tang. Gue ada acara, diganti aja hukumannya.”

“Lu, nolak gue?”

“Iya.”

Bintang meringis pelan,

“oke, dateng lebih pagi 2 hari kedepan, bersihin aula dan ga ada tidur waktu pemateri ngasih bahan.”

“Iya, udah kan?”

“Lang, bawa ponsel?”

“Bawa, mau lu sita?”

“Kaga, bukain coba.”

“Mau lu apain?”

“Add line. Lang?”

“Apa lagi?”

“Coba panggil nama gue.”

Elang diam, tapi setelah itu, ia menatap Bintang.

“Halo Bintang.”

Bintang terpaku pada selukis senyum yang merekah di bibir pemuda di hadapannya, otaknya chaos, kedipannya terlupa, dan satu tepukan menyadarkannya.

“Gue balik.”

Bintang menyadarkan diri, napasnya yang tadi tertahan ia embuskan perlahan.

“Oalah, Elang brengsek. Kenapa gue begini coba.”

.

©loveedensor2019

` Satu

Bintang duduk dengan lutut menekuk, masih menikmati senja di ufuk barat, meski belakang punggungnya, nan jauh di sana mulai memunculkan satu persatu kerlip benda di angkasa. Atensinya tersita saat ia mendengar erangan kecil tak jauh dari posisinya. Ia bisa saja memilih acuh, tetapi mengingat ini senja ia menghampiri perlahan asal suara. Menemukan seseorang yang memegang pergelangan kaki miliknya, mengaduh kecil.

“Lo, ga papa?”

Pertanyaan bagus, Bintang, jelas-jelas ia mengaduh.

“Ga.”

“Oh, sorry-sorry mana yang sakit, kalo boleh tau?”

“Kaki.”

Lelaki yang ditemuinya bergumam pelan, tapi Bintang masih mendengarnya. Berjongkok dan memberi sedikit pijatan.

“Ayo, gue anter ke klinik.”

“Ga usah, biar ntar gue kompres.”

“Sekarang aja sini lah, daripada lu pulang pincang.”

.

“Gue Bintang.” Selesai dengan tetek bengek kompresan yang ajaib ada di tas milik Bintang, ia mengulurkan tangan pada lelaki di sampingnya.

“Elang.”

Singkat padat jelas, okay.

“Lu darimana?”

“Pulang daftar sekolah.”

“Sendirian? Kok sampe jam segini.”

Netra Bintang masih terpaku pada lembayung yang diproyeksikan terlampau sempurna.

“Tadi banyak yang perlu diurus dan iya, sendiri.”

Lelaki yang menyebut dirinya 'Elang' mengikuti arah pandang Bintang. Lembayung senja, gelombang jingga, dan megahnya cakrawala.

Mereka bertemu, di satu waktu yang membisu, menyaksikan mereka tumbuh, seiring janji yang mereka pegang teguh.

.

©loveedensor 2019

° Langkah

Kalo Jum'at kemarin mereka jalan jalan ke SCH, kali ini Wonwoo ngerasa kalo dia lagi diculik sama Jinhyuk. Di kursi belakang motor Jinhyuk, Wonwoo ngelongokin kepalanya lewat bahu lelaki di depan dia.

“Gue, mau dibawa ke mana?” Ga sadar Wonwoo nyandarin dagunya di bahu, Jinhyuk nahan napas.

“Beli migosu.”

“Jauh banget ini dari daerah rumah Hyuk, beda provinsi pula, astaga.”

“Lucu banget, diem dulu, ntar lu tau.”

“Awas aja macem-macem gue aduin kak Woo.”

“Kaga, yaelah.”

Tangan kiri Jinhyuk ngambil tangan Wonwoo di ujung jaketnya, dia masukkin ke sakunya sendiri. Wonwoo mau nolak, tapi kedinginan, yaudah.

Kendaraan semakin menipis, jalan ga serame tadi, jalannya makin nanjak, makin naik. suhunya makin rendah. Wonwoo masukkin kedua tangannya ke saku jaket Jinhyuk pada akhirnya.

Motor Jinhyuk jalan ke arah timur, ngebelakangin matahari, ngebelakangin senja yang lagi bagus bagusnya.

Sekitar 10 menit kemudian, pake drama di jalan tanjakan tadi ada mobil yang muntahin asepnya ke mereka. Wonwoo ngomel. Lucu banget. Jinhyuk cuma geleng geleng, gemes aja.

Wonwoo turun dari boncengan waktu motor mereka berhenti di parkiran, depannya ada tulisan gede-

'GARDU PANDANG'

agak ga rela tangannya nyapa udara yang seharusnya. Dia kan lupa bawa jaket tadi.

Jinhyuk ngambil jaket dari jok motornya.

“Sorry tadi lupa ngasihin.”

Wonwoo nunduk waktu Jinhyuk nyampirin jaket ke pundak dia. Ngasihin hotpack juga, tapi ga jadi, malah dikantongin, Wonwoo ngelebarin bola matanya.

“Ayo cari makan!”

“Hotpacknya siniin dulu.”

“Ga usah.”

Wonwoo manyun, diem waktu Jinhyuk ngelepasin helm yang masih bertengger di kepalanya. Masih diem waktu tangan mereka bertaut, ada sengatan listrik kecil yang dirasain Wonwoo, tapi acuh.

“Lu aneh.” Wonwoo ngelepasin tautan tangan mereka.

“Gue engga.”

Wonwoo ngedikin bahu, acuh. Dia benerin kacamata yang bertengger manis di hidungnya, berhenti buat ngadep ke arah barat, netranya ngejelajah sekitar.

Jauh di depannya, matahari mau pamit undur diri, menerangi bumi bagian lain. Awan-awan sekitarnya nge-gerombol berdesakan, lomba ngasih setiap warna yang mampu dia cerna. Di belakang, gagahnya gunung yang mulai menggelap, pucuknya masih oranye, masih pengen minum cahaya rawi. Di kanan kirinya, lembayung biru masih menyeru, dia masih pengen bertahta di antara senja.

Cakrawala langit, nunjukkin keagungan-Nya. Kelereng jernihnya dia tutup sejenak, indera pendengarnya dia pasang baik baik. Kemudian indera penciumnya, membau hal lain yang beberapa hari ini di jarak sekitarnya.

“Damai banget, Jeon.”

Wonwoo masih bergeming, kemudian,

“makasih, Hyuk.”

Pupilnya nunjukkin diri, lehernya dia puter ke Jinhyuk, yang rada kurang ajar buat pemandangan sekarang. Ga sadar, Wonwoo nahan napas. Dia lepasin pelan pelan, pita suaranya ngelakuin apa yang otaknya suruh,

“gue penasaran.”

Berhasil, Wonwoo berhasil ngambil atensi Jinhyuk, dengan senja sebagai latar. Jinhyuk nunggu Wonwoo selesein pertanyaannya.

“Kenapa lu ajak gue ke sini?”

“Karena gue pengen.”

Jinhyuk ngedikin bahu, pelan, tangannya ngambil jemari Wonwoo ke sela-sela buat ngisi kosong derijinya. Dia eratin dan Wonwoo diem, dia ga nolak, ga mau nolak, ga tau kenapa.

Mereka baru deket sekitar sepekan ini, walaupun kenal udah lumayan lama, tapi baru juga kan deketnya.

Wonwoo milih buat ikut alur yang dibikin Jinhyuk. Ngeratin jemari yang ngedusel di sela nya, dia suka. Sudut bibirnya keangkat naik, dan sekali lagi dia bilang,

“makasih, Jinhyuk.”

Jinhyuk senyum, secerah itu. Masukin genggaman tangan mereka ke saku jaketnya.

.

Sampai di tempat makan, Wonwoo ngebiarin Jinhyuk pesen makanan buat dia, terserah apa aja, toh di sini ga ada seafood.

Mereka duduk sampingan, dengan tautan tangan yang masih terikat. Waktu pesenan mereka dateng, Jinhyuk milih buat pindah duduk di seberang Wonwoo.

.

“Kapan hari, Youn nginep rumah lu ya, Jeon?”

Jinhyuk ngasih topik di suapan dia yang ke tiga setelah rada mumbling tentang panas di makanannya.

Wonwoo ngangguk, giginya masih sibuk ngoyak makanan di mulutnya.

“Youn sempet cerita sama gue deh.” Jinhyuk nyesap jeruk anget yang tadi dia pesen.

“Tentang?” Wonwoo ngambil tisu, dia usapin ke ujung bibir Jinhyuk. Kelopak Jinhyuk bekerja ekstra buat kedip berkali-kali dalam waktu sepersekon, shock attack sejenak.

“Tentang dia yang pengen lebih deket sama lu.” Jakunnya turun naik setelah pita suaranya tau gimana kerjanya.

Wonwoo ngangguk ngerti, kak Woo juga udah bilang tentang itu.

“Iya, gue ngerti, mungkin Youn sama kak Woo udah pacaran sekian tahun ini, tapi ya.. gue rada susah bersosialisasi aja, Hyuk. Gimana ya, rada susah ngejelasinnya. Toh mereka bentar lagi tunangan, kak Woo, walaupun rada telat skripsinya, masa depannya udah lumayan terang. Papa juga percaya kak Woo bisa nerusin perusahaan. Yaa, moga aja kedepannya gue sama Youn bisa deket. Siapa tau bisa nge gibahin kak Woo.”

Wonwoo ngomongnya lempeng, tapi Jinhyuk ketawa. Dia baru kali ini denger Wonwoo ngomong panjang lebar di depannya. Amazing aja.

“Gue beruntung, gue ga pernah percaya gosip kampus yang katanya lu super dingin.”

Jinhyuk naro garpunya, ngelanjutin,

“Iya tau, ga papa pelan pelan aja deket sama Younnya. Anaknya asik kok.”

“Hm, tentang gosip kampus, ya gue sih bodo amat, toh gue masih baik baik aja.”

“Jeon, kenapa lu mau gue ajak jalan?”

Kurang ajar, Jinhyuk tuh, bisa ngasih warning dulu ga sih? Liat sekarang, Wonwoo kesedak.

“Sori-sori, astaga.”

Jinhyuk pindah ke samping Wonwoo, nepuk pelan punggungnya.

“Kan gue punya utang.” Wonwoo bilang setelah kesedaknya reda.

“Sebatas utang, nih?”

“Ya, ga juga. Agak suntuk juga berkutat sama tetek bengek kampus.”

Jinhyuk ngangguk, beranjak bentar buat pesen minum lagi.

“Buku-buku yang kemarin beli, udah dibaca berapa?”

“Baru satu, ringan sih, cuman rada males aja.”

Wonwoo naikin alis waktu 2 gelas susu dianter ke meja mereka.

“Lu mau bikin gue ketiduran di jalan? Minum susu begini?”

“Lucu banget, Jeon. Ya nanti gue ajak mampir ke hotel aja lah.”

“Bajingan, Hyuk. Gue aduin kak Woo.”

“Santai sih, ga bakal.”

.

Puas makan dilatari lembayung senja, selepas maghrib mereka bertolak pulang. Wonwoo udah pake jaket dengan hotpack di tangannya, pada akhirnya di perjalanan dia masukin di saku jaket Jinhyuk beserta jemarinya.

.

Jinhyuk nurunin Wonwoo tepat di depan pagar rumah keluarga Jeon.

“Makasih.”

Jinhyuk ngulurin tangannya, nelusurin lengan atas Wonwoo, turun, nemuin jemari yang dia isi sela-selanya.

“Gue juga makasih.”

Wonwoo eratin gengaman tangan mereka, pipinya rada panas, tapi dia berharap temaram lampu jalan samarin ronanya.

“Besok ada kelas jam berapa?”

Jinhyuk narik Wonwoo agak ke depan, salah satu tungkai Jinhyuk ada di antara penopang panjang yang lainnya. Tukeran pandangan, satu tangan Jinhyuk yang nganggur dia ulurin ke pipi Wonwoo.

“Kelas pagi.”

Wonwoo ngambil pelan telapak yang ngelus pipinya, dia pegang, dia genggam, dia telusur baik baik.

“Gue jemput ya.”

“Emang lu ada kelas pagi?”

Wonwoo kaya ngebandingin tangan mereka, nemuin noda tanda lahir kecil di jari manis Jinhyuk dalam penjelajahannya.

“Biar ada alesan nyari sarapan.”

Wonwoo ngangguk, “oke.”

“Sana masuk, istirahat.”

Pelan, Wonwoo mundur. Mau ga mau tangannya dingin lagi.

“Gue pulang ya... hati-hati, jangan?”

“Harus Hyuk, hati-hati di jalan.”

.

©coffielicious2019

³ SCH

Wonwoo berhenti di samping pintu kelas, nemuin Jinhyuk yang lagi fokus sama ponsel di tangannya. Wonwoo beringsut ngambil lengan Jinhyuk, dia seret rada jauhan dari kelasnya. Kelas udah agak sepi sih, udah agak tadi bubarnya, tapi masih ada beberapa orang.

Jinhyuk ngedongak, ga sempet ngelak waktu Wonwoo nyeret dia. Terus omelan Wonwoo dia denger.

“Harusnya nunggu di parkiran aja.”

“Gue udah nunggu agak lama, dan lu ga muncul, ya udah gue susulin.”

“Gue ke perpus bentar, ngembaliin buku, lu ke parkiran gih.”

“Oke. Jeon?”

Wonwoo noleh, pandangannya nanya.

“Lu manis banget.”

Wonwoo ngelengos “Bangke.”

Jinhyuk senyum, ngeliat semburat merah di pipi pualam Wonwoo. Kontras banget sama kemeja kuning yang Wonwoo pake.

Jinhyuk ngga nurut, sama sekali. Dia nungguin Wonwoo di luar perpustakaan. Wonwoo muterin bola matanya males. Milih buat jalan duluan, ga bilang apa-apa, Jinhyuk ngambil tas yang dicangklong sebelah dari pundak Wonwoo.

“Gue bisa sendiri.”

Tapi Jinhyuk berhasil ngambil, beberapa mahasiswa di koridor ngeliatin mereka bisik-bisik. Jinhyuk acuh, Wonwoo juga, dikit.

“Udah bilang Bang Seungwoo?”

“Udah, lu?”

“Bang Woo ngasih wejangan, suruh jagain lu pokoknya, sama minta bawain hotpack.”

Wonwoo ngangguk, ngambil tas dia yang tadi diambil Jinhyuk setelah sampai di parkiran. Ngambil helm yang disodorin Jinhyuk.

Jinhyuk diem di samping motor, merhatiin Wonwoo yang dibales tatapan tanya. Dia maju dikit, kaitin pengait helm punya Wonwoo, refleks Wonwoo agak mundur.

“Apaan, gue bisa sendiri.”

Jinhyuk angkat bahu, mundurin motor dan mulai nge starter. Wonwoo naik, nyamanin duduknya di belakang.

“Jeon.”

“Hm?”

“Tangan lu ntar dingin, masukin jaket gue aja.”

“Ga, gue ada hot pack, ayo jalan!”

.

©coffielicious2019

² Tentang mereka dan sekitar mereka.

Jalannya santai, dari parkiran dia mainin kunci mobil ditangannya. Mandat dari kak Woo buat jemput dek Woo dia laksanain sekarang.

Lehernya dia panjangin, berakhir nemuin Wonwoo di meja agak pojok perpusat. Masih terang banget di sini, sunyi, banyak orang, tapi aktifitas masing-masing.

Pelan, Youn nyeret kursi depan Wonwoo, duduk, bikin cowo yang lainnya ngedongak.

“Youn.” Dapet senyuman lucu.

“Udah slese tugasnya?” Ngerapiin duduknya, ngantongin kunci mobil di jaketnya.

“Udah dari tadi, maaf ya jadi ngerepotin.” Wonwoo naro bookmarks di buku yang dia genggam.

“Ga ada, kata kak Woo suruh jemput sebelum makan malam, biar makan bareng di rumah.”

“Ah oke, gue kembaliin buku sebentar.”

Youn ngangguk, pikirannya berkelana sejenak. Wonwoo ini, anaknya lumayan canggung sama orang baru, tapi bahkan mereka udah kenal lama. Kadang Youn juga bingung gimana ngadepinnya, walaupun Youn sendiri easy going.

Wonwoo tuh, sebelas dua belas sama kakaknya, gantengnya, manisnya, charismanya, bahkan slengeannya juga hampir sama. Sama orang terdekatnya, sama gengnya mereka. Receh, sereceh itu.

Tapi Youn belum bisa nyentuh bagian lain dari Wonwoo, meski dia udah pacaran sama kakaknya sekian tahun. Sodara kembar Youn, Soonyoung itu se geng sama Wonwoo, sedeket itu.

Kadang Youn iri, ya gimana, mereka kan calon keluarga, Youn pengen deket juga. Tapi ya, udahlah ya. Seiring berjalannya waktu aja, moga mereka bisa berbagi pisuh bersama, mungkin?

Ga sadar, Youn udah sampe di samping mobilnya dan satu suara,

“Youn, nanti boleh mampir ke apotek dulu, ga?”

Youn balik dari kelana pikirannya, dia baru sadar Wonwoo pake kemeja tipis.

“Boleh, emang mau beli apa?”

Youn ngambil jaket di jok tengah mobilnya, ngasihin ke Wonwoo, yang langsung dipake sama dia.

“Vitamin aja sih sama bunda nitip P3K, di rumah abis katanya.”

.

Lagu di mobil masih pake playlist dari Youn, Wonwoo mau protes apa? Toh lagunya ga jauh beda sama selera Wonwoo.

“Youn temennya Jinhyuk kan, ya? Se-geng maksud gue.”

Atensi Youn pindah bentar.

“Iya, kan wakil kak Woo juga.”

“Hmm.... dia gimana?”

Youn diem bentar, ngeraba obrolan apa yang mau dibangun sama Wonwoo.

“Jinhyuk, gangguin Wonwoo apa gimana?” Youn cari aman dulu.

“Engga, gue punya utang aja sih sama Jinhyuk, mungkin udah cerita juga ke kalian.”

“Ensiklopedia?” Youn senyum, pengen ketawa sebenernya, lucu banget Wonwoo ini. 'Youn lu juga lucu, pleaseee T_T'

Wonwoo ngangguk, Youn ngelanjutin,

“dia minta lu ngapain, Won?”

“Nemenin ke gramedia expo.” Tentang makan siang, biar Wonwoo simpen dulu.

“Yang di SCH? Udah bilang kak Woo?”

“Udah, kata kakak, boleh. Tapi mau tanya Youn dulu, Jinhyuk... gimana?”

Ga sadar, Wonwoo mainin hotpack di saku jaketnya dia.

“Baik, Won. Baik banget, cuman kadang ketutup sama begonya dia aja, haha.”

Wonwoo ngangguk, dia ga bicara setelah itu dan Youn juga sungkan mau tanya-tanya.

Youn belokin mobilnya ke arah rumah keluarga Jeon. Markirin mobilnya apik. Sebelum turun, Wonwoo tahan lengan Youn.

“Youn, jagain kak Woo baik-baik ya.”

“Pasti.”

Youn senyum.

.

©wawa.2019

¹ Ensiklopedia

Adalah satu waktu dimana Wonwoo mencari buku ensiklopedia miliknya, yang ini sudah hari ke-3 ia belum menemukannya. Ia harus membuat catatan kaki di jurnalnya. Berakhir ia mendekam di perpustakaan kampus sepanjang hari yang seharusnya ia habiskan untuk memanjakan console game miliknya.

Setumpuk dengan lima buku tebal menutupi pandangannya. Jemarinya mengapit tabung kecil berisi tinta, untuknya sedikit demi sedikit menumpahkan isi melalui ujung runcingnya dengan seksama. Perkalimatnya ia susun pelan-pelan, kutipan dari buku, internet, juga otaknya bekerja sama menyusun paragraf dengan baik. Hingga ia terdistraksi pada satu suara di hadapannya.

“Kurasa ini milikmu, Wonwoo-ssi.”

Tinggi menjulang di hadapannya, Wonwoo mendongak demi menatapnya. Menghentikan gerak laju jemari yang menari di atas kertas putih yang sedari tadi menemaninya. Yang di hadapannya menunjukkan senyum lebar, lebar sekali, Wonwoo takut bibirnya akan sobek. Tatapannya turun pada buku di genggaman lelaki yang menghampirinya.

Wonwoo mengerjab, “ ensiklopedia milikku!”

Pupilnya melebar, teriakan tertahannya bersamaan dengan laju tangannya mengambil buku tebal dari lelaki yang masih saja menyunggingkan senyum, namun tak berhasil. Wonwoo menarik kembali tangannya.

Lelaki itu menyeret kursi di seberang Wonwoo, mendudukkan diri di atasnya, meletakkan ensiklopedia, dan menyingkirkan tumpukan buku yang menghalangi pandangannya. Wonwoo menukikkan alisnya heran.

“Terima kasih.” Tak ambil pusing, Wonwoo melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti, tetapi lelaki di hadapannya sama sekali tak membiarkannya.

“Tidak mau bertanya dari mana aku menemukannya?”

“Untuk?” Lagi-lagi kegiatan meliukkan jemari berhias ballpoint di atas kertas putih Wonwoo, berhenti, beralih menatap lelaki yang kini sejajar di hadapannya untuk sejenak memberikan afeksi.

“Terima kasih, kau boleh pergi.” Wonwoo kembali bergenggaman dengan alat tulisnya.

Lelaki itu mengedik, mengambil ponsel Wonwoo yang kebetulan tidak terkunci, menampilkan musik instrumen yang sedang diputar oleh sang pemilik. Wonwoo refleks merebut, namun kalah cepat dengan genggaman tangan kiri dari lelaki di hadapannya.

“Sebentar.”

Jemarinya lincah menari di atas ponsel Wonwoo dan berujar, “jangan hapus atau blokir nomorku, kau berhutang padaku, Wonwoo-ssi.”

Lancang sekali.

Lelaki itu melenggang pergi, setelah sebelumnya berbisik tepat di lima senti depan wajah rupawan Wonwoo,

“Lee Jinhyuk.”

Dengan tambahan kekurangajaran tangannya mengusak pucuk kepala Wonwoo.

Wonwoo bergeming, memilih acuh, kemudian kembali berkutat pada kegiatannya semula, mengabaikan sedikit kupu-kupu yang terbang di perutnya.

.

Wonwoo hanya belum tahu, jika ini adalah awal dari semua hal yang ia jalani kedepannya dengan si lelaki senyum matahari.

.

©wawa2019

.

Wonhosh local AU

.

Read more...