Sushi dan Wasabi ─
Menjadi putra bungsu terakhir dari keluarga kecil membuat Seungwoo begitu disayang. Hampir semua kebutuhannya terpenuhi sedari dini.
Tapi, ada satu hal yang tidak Seungwoo miliki. Kebebasan.
Semuanya telah terpenuhi, maka sebagai gantinya, Seungwoo harus mematuhi apapun yang orangtuanya perintahkan.
Awalnya, dari Sekolah Dasar, ia harus menduduki sekolah favorit. Dengan embel-embel peringkat yang tak pernah keluar dari 5 besar, paralel.
Waktu SMP hingga SMA pun begitu.
Seungwoo pikir, ketika ia menentukan masa depan, ia bisa memilih sendiri. Tidak, semuanya sudah ada yang menyetiri.
Hingga ia dikenalkan dengan Kim Minseo, salah satu putri rekan kerja ayahnya.
Ayahnya membujuknya dengan berbagai macam pertimbangan, kakak perempuannya pun begitu. Melihat mereka semua bahagia, mau tak mau Seungwoo mengangguk pasrah.
Hingga ia bertemu dengan Cho Seungyoun. Lelaki ceria, rupawan, yang juga mampu membuatnya terjatuh berkali-kali dengan segala tingkahnya.
Saat ia pulang untuk pertama kalinya setelah delapan bulan bekerja di kota orang. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia akan menentukan pendampingnya sendiri.
Tidak semulus yang mampu ia bayangkan.
“Minseo terkena kanker serviks, Seungwoo. Bisakah kau menjaganya untuk kami?”
Seungwoo diam, hanya menatap kejauhan. Ingin ia berteriak. Bahwa ia memiliki kehidupannya sendiri.
Seungwoo tak memiliki pilihan lain, kecuali menikahi Minseo yang memang sudah menjalin hubungan dengannya. Dengan dorongan orangtuanya tentunya.
Pernikahan mereka berjalan lancar, Seungwoo mampu menebar senyum sepanjang acara. Lehernya terkadang memanjang, mencari seseorang yang sekiranya akan datang. Seseorang yang memutus semua perantara komunikasi dengannya.
Namun ia tak menemukannya sama sekali.
.
Tahun pertama pernikahan mereka berjalan mulus, bertengkar untuk sesuatu yang kecil memang wajar. Tapi tidak sampai meledak-ledak. Toh masih terhitung pengantin baru.
Lagipula, Minseo masih suka bolak-balik rumah sakit untuk penyakitnya. Ia wanita kuat, perempuan yang sangat hebat.
Hanya Seungwoo yang merasa begitu bangsat ketika ia masih selalu menerima bayang Seungyoun dalam benaknya.
Seungwoo sebisa mungkin menempatkan diri sebagai suami yang baik juga siaga.
Untuk Minseo, untuk keluarganya.
Satu hari, ibundanya mengunjungi kediamannya dengan Minseo sebelum mereka pindah.
Ibundanya menatapnya dalam sekali, menelisik Seungwoo pelan.
Minseo sedang bekerja saat itu, Seungwoo bisa dengan leluasa bermanja dengan ibundanya.
.
Seungwoo mendudukkan dirinya di lantai dengan ibundanya yang ada di atas sofa. Menghabiskan waktu dengan menonton film bersama.
Ibundanya mengelus surai Seungwoo lembut.
“Bagaimana, Minseo?”
“Baik. Semuanya baik,” jemarinya memencet tombol pengatur volume di remote.
“Bunda bahagia?” Seungwoo mendongakkan kepalanya, merebah pelan di paha ibundanya.
“Sayang?” Jemarinya masih mengelus surai putranya.
“Seungwoo bahagia, jika Bunda bahagia.”
Tak terasa air matanya mengalir, ia tak mampu menyembunyikan apapun dari ibundanya.
“Maafkan Seungwoo, maaf.”
Ibundanya menggeleng keras.
“Maaf karena belum mampu mencintai Minseo seperti yang ayah dan Bunda harapkan, maafkan Seungwoo.”
Sesenggukannya tumpah di hadapan wanita pertama yang ia hormati, yang ia sangat kasihi.
Hari itu, Seungwoo menceritakan tentangnya, juga lelaki yang telah habis mengambil asanya.
.
Tahun kedua pernihakan mereka masih sama. Hanya mereka yang pindah ke kota besar.
Minseo mendapat tawaran pekerjaan, juga untuk perawatannya agar membaik.
Ada satu harapan yang Seungwoo sematkan. Satu harapan, agar ia leluasa untuk mencapai asa.
Cho Seungyoun, masih menjadi satu asa dalam tahta tertinggi dalam dirinya.
.
Mereka bertemu, dengan satu tatap sendu juga rindu yang bergemuruh.
Mati-matian Seungwoo ingin mengejar Seungyoun dalam pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun. Tapi tidak ketika ada istrinya yang menunggunya.
Seungwoo hanya menjawab seadanya ketika istrinya menanyainya tentang Seungyoun.
.
Pertemuan ke-dua mereka, di taman pelataran unit tempat tinggalnya.
Seungwoo memperhatikannya dari jauh.
Hatinya menghangat melihat Seungyoun yang dengan telaten menyuapi balita yang ia dudukan di atas stroller.
Seungwoo tersenyum semakin lebar ketika Seungyoun tertawa melihat balita itu mengantuk.
Seungwoo menuruti tungkai yang melangkahkan diri mendekati Seungyoun, ia mendudukan diri di bangku paling dekat dengan Seungyoun.
“Masih tinggal di sini?”
Seungwoo meloloskan suara dalam pikirannya.
“Masih, Kak.”
Seungwoo menelisik, bola matanya bergerak panik. Memilih mencari pengalih lain dengan meletakkan mangkuk pada tatakan.
“Kamu sehat?” Seungwoo bodoh, mengapa memakai kata ganti, 'kamu'?
Tapi tertawaan di depannya ia dengarkan dengan saksama.
Mencoba mencari topik yang pernah ada di antara mereka untuk menetralisir jantungnya sendiri yang berdebam.
“Masih suka nge gym?”
Jawabannya sama dengan apa yang diharapkan Seungwoo, tapi pertanyaan terakhir agak mengganggunya.
Menelisik jemari mungil yang lainnya, bermain dengan gantungan kunci berbentuk rubah.
Ia masih menyimpannya. Mereka membelinya sepasang, satu waktu ketika mereka berjalan menyusuri kota bersama.
Seungwoo mendapatkan satu pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya.
“Anak siapa, Youn?”
“Anak gue, Kak.”
Jawabannya masih terlalu luas, seluas langit sore yang menaungi keduanya. Menelisik manik milik lelaki di hadapannya, sendu. Seakan ingin mengatakan sesuatu yang ia pendam.
Ketika Seungyoun berdiri, ia melakukan apa yang otaknya perintahkan. Membawa lelaki di hadapannya ke dalam peluk eratnya.
“Youn, gue kangen.”
Dalam dekapannya, Seungyoun kini dalam jangkauannya. Seungwoo menghirup semua bau yang menguar dari tubuhnya. Campuran mint yang selalu ia rindukan, kini bercampur dengan bedak bayi juga minyak telon.
Merasakan ada tangis kecil yang diusap oleh lelaki dalam peluknya, yang kemudian memilih melepaskan diri.
.
Seungwoo berhasil mengejarnya hingga lift, menyambar satu gantungan kunci yang tertinggal di bangku.
Ia takjub, tadi sempat mengelus pipi balita yang tertidur dalam stroller. Indah sekali.
Seungwoo terhenyak ketika mendengar isakan Seungyoun, ia mengulurkan tangan untuk mengelus surainya. Ingin sekali ia memeluknya kembali. Ingin mengatakan bahwa ia begitu merindukannya, sangat.
Ingin ia rengkuh dalam buaiannya, menceritakan seluruh keluh kesah yang mengganggunya.
Ingin ia mengatakannya dengan sempurna, bahwa Seungwoo mencintai Seungyoun sebanyak asa yang ia mampu dalam kuasa.
Denting lift, juga pintu yang belum tertutup sempurna, “gue juga, Kak.”
Lalu senyap. Seungwoo menahan sesak. Seungyoun merindukannya, benar?
Petang itu, Seungwoo habiskan menyendiri di bawah naungan senja yang mengintip. Berakhir ia tak pulang hingga dini hari. Membiarkan tubuhnya tertepa angin malam yang kain menyeruak.
Benaknya berteriak ricuh, Seungyoun juga merindukannya.
Dalam bayangnya. Refleksi Seungyoun begitu kentara, tetapi raut wanita mendistraksinya dengan ampuh.
Ia menghela napas. Berharap bahwa segalanya akan baik-baik saja.
.
Seungwoo panik ketika istrinya jatuh pingsan, tepat setelah memberinya segelas teh manis.
Tanpa pikir panjang, ia berlari untuk meminta pertolongan, hanya Seungyoun yang terlintas dalam otaknya.
.
Seungyoun mengemudi seperti yang diharapkan Seungwoo.
Dengan putranya yang masih terjaga dalam gendongannya. Seungyoun mengecupnya sayang. Seungwoo menatapnya sendu, ia tahu tak akan pernah mampu memiliki bayi yang selalu ia dambai.
.
Seungwoo kalut, istrinya diharuskan untuk melakukan operasi. Histerektomi. Operasi yang sangat besar, besar resiko juga biaya.
Operasi yang menjadi mimpi buruk istrinya, batinnya bergemuruh ricuh.
Dalam kekalutannya ia menemukan Seungyoun yang menggendong putranya, mencoba membuatnya menggapai alam mimpi.
Ada tawa merdu disela-sela lullaby yang Seungyoun senandungkan. Hati Seungwoo menghangat, seakan mereka mengurangi beban yang ia panggul.
Otaknya memerintahkan hal yang aneh.
“Gue, boleh gendong dia bentar?”
Seungyoun berjengit pelan, kemudian menemukan suaranya.
“Boleh aja sih, Kak. Cuman kayanya Kakak masih cape. Anak gue berat.”
“Siapa tau capenya ilang.”
Seungwoo mengulurkan kedua tangannya. Setelah tatapan ragu Seungyoun usai, kini ada balita dalam gendongannya.
Menelisik melalui maniknya, ia menemukan bibir segar yang masih saja menggumamkan ocehan. Hidung mungil nan bangir, kembang kempis mencuri oksigen dari sekitar. Kerling netra yang mengerjab polos memandangnya. Pipi kemerahan yang menggembil sempurna.
Hatinya menghangat, memberikan siraman kelegaan yang tak mampu ia ukur.
Perlahan, kelereng mungil itu tertutup sempurnya. Mencoba mengarungi alam mimpi dalam buaian Seungwoo yang menenangkan.
“Youn, dia tidur, lucu banget.”
Masih memandanginya takjub, merabanya pelan. Merasakan tekstur lembut kulit bayi dalam punggung jemarinya.
Tangannya meraih jaket untuk membungkuskannya, agar terhalang dari suhu yang kian merendah.
“Namanya siapa?” Elusan pada pipinya tidak berhenti.
“Eunsang, Cho Eunsang.”
Tak henti, obsidiannya menangkap setiap jengkal visual makhluk mungil yang tak jauh dari sejengkal. Mencoba mengingatnya, merasalan hangat sanubari saat menggendongnya.
Seungwoo mengulurkan Eunsang setengah tak rela ketika Seungyoun memintanya.
Matanya sendu, menatap Seungyoun yang mencium pipi putranya. Seakan seluruh kasih ia tumpahkan.
“Nona Kim, sakit apa, kalau boleh tahu?”
Kenyataan menamparnya, tak berjeda. Baru saja sanubarinya terangkat dari lelah, namun kini kembali terhantam tak berdaya.
“Kanker serviks dan harus operasi pengangkatan rahim.”
“Maaf, Kak.”
“Ga perlu, Youn.”
Tak ada yang berbicara setelahnya. Hanya Seungyoun yang kini memilih berpamitan untuk kembali.
Seungwoo menahannya, ingin tahu lebih banyak tentang Eunsang. Batinnya menyeruak, ia juga menginginkan seorang anak, keturunan darah dagingnya sendiri.
Maka, dengan kurang ajar, Seungwoo memerintahkan pita suaranya untuk berkata tanpa gentar.
“Gue boleh ngerawat dia? Sama istri gue.”
Ada satu jantung Seungwoo yang jatuh. Menjatuhkan dirinya pada perut dengan berdebam menyakitkan.
“Kenapa harus Esa? Kenapa harus anak gue?”
Getar suara Seungyoun menggaung di telinganya. Namun egonya masih tinggi, kekalutannya mendominasi.
“Daripada Esa ga ada ibunya, kan?”
Dilihatnya Seungyoun semakin memundurkan diri. Menatap Seungwoo tak percaya. Netranya berkaca, siap meruntuhkan pertahanan yang ia bangun.
“Youn...”
“Jangan gerak, Kak. Tolong.”
Air mata Seungyoun seakan menyadarkannya. Betapa bodohnya ia, betapa egoisnya ia.
Ia ingin meminta maaf, ketika Seungyoun kembali bersuara.
“Gue, ibu sekaligus ayah buat anak gue, Kak,” suaranya bergetar begitu hebat.
“Ga ada orang lain. Ga ada yang boleh ambil Esa dari pelukan gue. Dia punya gue, Kak. Satu-satunya. Tolong. jangan ambil Esa, biarin dia di sini sama gue. Tolong, Kak.”
Seungwoo diam, merasa sangat bersalah. Merutuki diri sendiri yang berkata begitu kejam.
Seungyoun memintanya untuk tidak menemuinya lagi. Seungyoun mendekatinya dengan senyum juga air mata yang meluruh. Mengambil talapak Seungwoo dalam genggaman. Membiarkannya bersentuhan dengan pipi Eunsang.
“Terima kasih menidurkan Esa, Papa. Kami pamit dulu.”
Seungwoo terpaku, air mukanya mengkeruh. Ia bahkan tak mampu mengejar saat Seungyoun kian menjauh.
“Eunsang, anakku,” ia terjatuh.
Dunianya seakan runtuh. Ia menyakiti banyak hati tanpa ampuh.
“Maaf, maaf.”
Hanya demikian yang mampu Seungwoo rapalkan seperti mantra.
Menyesali seluruhnya tanpa cela.
.
.
.
@coffielicious