Coffielicious

Rooftop ─

Hari ini, satu diantara sekian hari yang akan Seungwoo lingkari besar-besar di kalender.

“Mas, udah?”

Itu, suaminya. Lelaki pujaan Seungwoo yang beberapa hari ini menjadi suaminya.

“Udah, dek. Berangkat sekarang?”

Anggukan yang Seungwoo terima membuatnya menginjak pedal gas mobil mereka.

.

Hari ini mereka resmi pindah. Pindah untuk menghuni rumah yang mereka beli dari hasil jerih payah berdua.

Seungwoo tersenyum puas melihat Seungyoun yang berlari memasuki rumah baru mereka dengan ceria.

Truk pengangkut barang-barang sudah sampai terlebih dahulu. Jadi, tugas mereka adalah menatanya.

“Dek, ga mau istirahat dulu?”

“Ga usah, Mas. Nanti keburu males. Apa Mas mau rehat dulu? Biar Adek yang beberes.”

“Engga, ayo beberes bareng.”

Menepuk ubun-ubun Seungyoun pelan sebelum memasukkan dalam pelukannya.

“Lucu banget sih, suami siapa.”

“Suaminya Mas Seungwoo.”

Jawaban polosnya membuat Seungwoo gemas setengah mati. Mengigit pipi milik suaminya agar semakin menggembil.

“Sakit, Mas. Udah ih, ayo beberes.”

.

“Dek, udah jam 1 pagi ternyata. Udahan yuk.”

Seungyoun meregangkan tubuhnya. Dibalas kretekan tulang mengeluh lelah di beberapa bagian.

“Ke atap dulu, Mas. Pengen liat.”

“Boleh.”

Membawa salah satu tangan Seungyoun dalam genggaman.

Memukan satu ranjang usang di atap rumah baru mereka.

Membersihkannya dengan lap yang ada di sekitar mereka.

Merebah, menghadap langit penuh bintang dalam proyeksi manik mereka.

“Cerah banget, Mas.”

“Iya, kaya kamu di hidup Mas.”

“Apa deh.”

Seungyoun mengambil ponsel miliknya, memilih memutar lagu untuk mereka bagi.

Seungwoo memiringkan diri, menemukan Seungyoun yang memandang langit. Sempurna. Mereka, langit juga Seungyounnya, sempurna.

Jemarinya terangkat, merapikan helai surai yang mampir di pipinya tak tahu malu.

Senyuman mereka tercipta dengan sendirinya, saling berbagi cerita tentang hari yang mereka lalui.

Satu lagu terputar.

'I Can't Help Falling in Love with You'

Seungwoo membawa Seungyoun bangun dari rebah.

Membawa pinggang dalam genggam. Menumpukan yang lainnya pada bahu kokoh sebagai penopang.

Kaki mereka bergerak halus mengikuti irama.

Seperti air sungai yang mengalir menuju muara.

Seperti itu pula cinta mereka.

Bertukar selayang pandang. Senyum malu tak lupa tersematkan.

Tertawa kemudian. Tergelak bahagia.

Diiringi irama dengan kata. Bumantara lengkap dengan lintangnya. Juga dua hati yang siap untuk berbagi hingga ujung usia.

Seungwoo meraihnya, meraih bibir di depannya dengan miliknya. Menyalurkan seluruh asa dalam raga. Merengkuhnya dengan segala kuasa.

“Aku mencintaimu.”

.

.

©coffielicious

Sushi dan Wasabi ─

Menjadi putra bungsu terakhir dari keluarga kecil membuat Seungwoo begitu disayang. Hampir semua kebutuhannya terpenuhi sedari dini.

Tapi, ada satu hal yang tidak Seungwoo miliki. Kebebasan.

Semuanya telah terpenuhi, maka sebagai gantinya, Seungwoo harus mematuhi apapun yang orangtuanya perintahkan.

Awalnya, dari Sekolah Dasar, ia harus menduduki sekolah favorit. Dengan embel-embel peringkat yang tak pernah keluar dari 5 besar, paralel.

Waktu SMP hingga SMA pun begitu.

Seungwoo pikir, ketika ia menentukan masa depan, ia bisa memilih sendiri. Tidak, semuanya sudah ada yang menyetiri.

Hingga ia dikenalkan dengan Kim Minseo, salah satu putri rekan kerja ayahnya.

Ayahnya membujuknya dengan berbagai macam pertimbangan, kakak perempuannya pun begitu. Melihat mereka semua bahagia, mau tak mau Seungwoo mengangguk pasrah.

Hingga ia bertemu dengan Cho Seungyoun. Lelaki ceria, rupawan, yang juga mampu membuatnya terjatuh berkali-kali dengan segala tingkahnya.

Saat ia pulang untuk pertama kalinya setelah delapan bulan bekerja di kota orang. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia akan menentukan pendampingnya sendiri.

Tidak semulus yang mampu ia bayangkan.

“Minseo terkena kanker serviks, Seungwoo. Bisakah kau menjaganya untuk kami?”

Seungwoo diam, hanya menatap kejauhan. Ingin ia berteriak. Bahwa ia memiliki kehidupannya sendiri.

Seungwoo tak memiliki pilihan lain, kecuali menikahi Minseo yang memang sudah menjalin hubungan dengannya. Dengan dorongan orangtuanya tentunya.

Pernikahan mereka berjalan lancar, Seungwoo mampu menebar senyum sepanjang acara. Lehernya terkadang memanjang, mencari seseorang yang sekiranya akan datang. Seseorang yang memutus semua perantara komunikasi dengannya.

Namun ia tak menemukannya sama sekali.

.

Tahun pertama pernikahan mereka berjalan mulus, bertengkar untuk sesuatu yang kecil memang wajar. Tapi tidak sampai meledak-ledak. Toh masih terhitung pengantin baru.

Lagipula, Minseo masih suka bolak-balik rumah sakit untuk penyakitnya. Ia wanita kuat, perempuan yang sangat hebat.

Hanya Seungwoo yang merasa begitu bangsat ketika ia masih selalu menerima bayang Seungyoun dalam benaknya.

Seungwoo sebisa mungkin menempatkan diri sebagai suami yang baik juga siaga.

Untuk Minseo, untuk keluarganya.

Satu hari, ibundanya mengunjungi kediamannya dengan Minseo sebelum mereka pindah.

Ibundanya menatapnya dalam sekali, menelisik Seungwoo pelan.

Minseo sedang bekerja saat itu, Seungwoo bisa dengan leluasa bermanja dengan ibundanya.

.

Seungwoo mendudukkan dirinya di lantai dengan ibundanya yang ada di atas sofa. Menghabiskan waktu dengan menonton film bersama.

Ibundanya mengelus surai Seungwoo lembut.

“Bagaimana, Minseo?”

“Baik. Semuanya baik,” jemarinya memencet tombol pengatur volume di remote.

“Bunda bahagia?” Seungwoo mendongakkan kepalanya, merebah pelan di paha ibundanya.

“Sayang?” Jemarinya masih mengelus surai putranya.

“Seungwoo bahagia, jika Bunda bahagia.”

Tak terasa air matanya mengalir, ia tak mampu menyembunyikan apapun dari ibundanya.

“Maafkan Seungwoo, maaf.”

Ibundanya menggeleng keras.

“Maaf karena belum mampu mencintai Minseo seperti yang ayah dan Bunda harapkan, maafkan Seungwoo.”

Sesenggukannya tumpah di hadapan wanita pertama yang ia hormati, yang ia sangat kasihi.

Hari itu, Seungwoo menceritakan tentangnya, juga lelaki yang telah habis mengambil asanya.

.

Tahun kedua pernihakan mereka masih sama. Hanya mereka yang pindah ke kota besar.

Minseo mendapat tawaran pekerjaan, juga untuk perawatannya agar membaik.

Ada satu harapan yang Seungwoo sematkan. Satu harapan, agar ia leluasa untuk mencapai asa.

Cho Seungyoun, masih menjadi satu asa dalam tahta tertinggi dalam dirinya.

.

Mereka bertemu, dengan satu tatap sendu juga rindu yang bergemuruh.

Mati-matian Seungwoo ingin mengejar Seungyoun dalam pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun. Tapi tidak ketika ada istrinya yang menunggunya.

Seungwoo hanya menjawab seadanya ketika istrinya menanyainya tentang Seungyoun.

.

Pertemuan ke-dua mereka, di taman pelataran unit tempat tinggalnya.

Seungwoo memperhatikannya dari jauh.

Hatinya menghangat melihat Seungyoun yang dengan telaten menyuapi balita yang ia dudukan di atas stroller.

Seungwoo tersenyum semakin lebar ketika Seungyoun tertawa melihat balita itu mengantuk.

Seungwoo menuruti tungkai yang melangkahkan diri mendekati Seungyoun, ia mendudukan diri di bangku paling dekat dengan Seungyoun.

“Masih tinggal di sini?”

Seungwoo meloloskan suara dalam pikirannya.

“Masih, Kak.”

Seungwoo menelisik, bola matanya bergerak panik. Memilih mencari pengalih lain dengan meletakkan mangkuk pada tatakan.

“Kamu sehat?” Seungwoo bodoh, mengapa memakai kata ganti, 'kamu'?

Tapi tertawaan di depannya ia dengarkan dengan saksama.

Mencoba mencari topik yang pernah ada di antara mereka untuk menetralisir jantungnya sendiri yang berdebam.

“Masih suka nge gym?”

Jawabannya sama dengan apa yang diharapkan Seungwoo, tapi pertanyaan terakhir agak mengganggunya.

Menelisik jemari mungil yang lainnya, bermain dengan gantungan kunci berbentuk rubah.

Ia masih menyimpannya. Mereka membelinya sepasang, satu waktu ketika mereka berjalan menyusuri kota bersama.

Seungwoo mendapatkan satu pertanyaan yang sedari tadi mengganggunya.

“Anak siapa, Youn?”

“Anak gue, Kak.”

Jawabannya masih terlalu luas, seluas langit sore yang menaungi keduanya. Menelisik manik milik lelaki di hadapannya, sendu. Seakan ingin mengatakan sesuatu yang ia pendam.

Ketika Seungyoun berdiri, ia melakukan apa yang otaknya perintahkan. Membawa lelaki di hadapannya ke dalam peluk eratnya.

“Youn, gue kangen.”

Dalam dekapannya, Seungyoun kini dalam jangkauannya. Seungwoo menghirup semua bau yang menguar dari tubuhnya. Campuran mint yang selalu ia rindukan, kini bercampur dengan bedak bayi juga minyak telon.

Merasakan ada tangis kecil yang diusap oleh lelaki dalam peluknya, yang kemudian memilih melepaskan diri.

.

Seungwoo berhasil mengejarnya hingga lift, menyambar satu gantungan kunci yang tertinggal di bangku.

Ia takjub, tadi sempat mengelus pipi balita yang tertidur dalam stroller. Indah sekali.

Seungwoo terhenyak ketika mendengar isakan Seungyoun, ia mengulurkan tangan untuk mengelus surainya. Ingin sekali ia memeluknya kembali. Ingin mengatakan bahwa ia begitu merindukannya, sangat.

Ingin ia rengkuh dalam buaiannya, menceritakan seluruh keluh kesah yang mengganggunya.

Ingin ia mengatakannya dengan sempurna, bahwa Seungwoo mencintai Seungyoun sebanyak asa yang ia mampu dalam kuasa.

Denting lift, juga pintu yang belum tertutup sempurna, “gue juga, Kak.”

Lalu senyap. Seungwoo menahan sesak. Seungyoun merindukannya, benar?

Petang itu, Seungwoo habiskan menyendiri di bawah naungan senja yang mengintip. Berakhir ia tak pulang hingga dini hari. Membiarkan tubuhnya tertepa angin malam yang kain menyeruak.

Benaknya berteriak ricuh, Seungyoun juga merindukannya.

Dalam bayangnya. Refleksi Seungyoun begitu kentara, tetapi raut wanita mendistraksinya dengan ampuh.

Ia menghela napas. Berharap bahwa segalanya akan baik-baik saja.

.

Seungwoo panik ketika istrinya jatuh pingsan, tepat setelah memberinya segelas teh manis.

Tanpa pikir panjang, ia berlari untuk meminta pertolongan, hanya Seungyoun yang terlintas dalam otaknya.

.

Seungyoun mengemudi seperti yang diharapkan Seungwoo.

Dengan putranya yang masih terjaga dalam gendongannya. Seungyoun mengecupnya sayang. Seungwoo menatapnya sendu, ia tahu tak akan pernah mampu memiliki bayi yang selalu ia dambai.

.

Seungwoo kalut, istrinya diharuskan untuk melakukan operasi. Histerektomi. Operasi yang sangat besar, besar resiko juga biaya.

Operasi yang menjadi mimpi buruk istrinya, batinnya bergemuruh ricuh.

Dalam kekalutannya ia menemukan Seungyoun yang menggendong putranya, mencoba membuatnya menggapai alam mimpi.

Ada tawa merdu disela-sela lullaby yang Seungyoun senandungkan. Hati Seungwoo menghangat, seakan mereka mengurangi beban yang ia panggul.

Otaknya memerintahkan hal yang aneh.

“Gue, boleh gendong dia bentar?”

Seungyoun berjengit pelan, kemudian menemukan suaranya.

“Boleh aja sih, Kak. Cuman kayanya Kakak masih cape. Anak gue berat.”

“Siapa tau capenya ilang.”

Seungwoo mengulurkan kedua tangannya. Setelah tatapan ragu Seungyoun usai, kini ada balita dalam gendongannya.

Menelisik melalui maniknya, ia menemukan bibir segar yang masih saja menggumamkan ocehan. Hidung mungil nan bangir, kembang kempis mencuri oksigen dari sekitar. Kerling netra yang mengerjab polos memandangnya. Pipi kemerahan yang menggembil sempurna.

Hatinya menghangat, memberikan siraman kelegaan yang tak mampu ia ukur.

Perlahan, kelereng mungil itu tertutup sempurnya. Mencoba mengarungi alam mimpi dalam buaian Seungwoo yang menenangkan.

“Youn, dia tidur, lucu banget.”

Masih memandanginya takjub, merabanya pelan. Merasakan tekstur lembut kulit bayi dalam punggung jemarinya.

Tangannya meraih jaket untuk membungkuskannya, agar terhalang dari suhu yang kian merendah.

“Namanya siapa?” Elusan pada pipinya tidak berhenti.

“Eunsang, Cho Eunsang.”

Tak henti, obsidiannya menangkap setiap jengkal visual makhluk mungil yang tak jauh dari sejengkal. Mencoba mengingatnya, merasalan hangat sanubari saat menggendongnya.

Seungwoo mengulurkan Eunsang setengah tak rela ketika Seungyoun memintanya.

Matanya sendu, menatap Seungyoun yang mencium pipi putranya. Seakan seluruh kasih ia tumpahkan.

“Nona Kim, sakit apa, kalau boleh tahu?”

Kenyataan menamparnya, tak berjeda. Baru saja sanubarinya terangkat dari lelah, namun kini kembali terhantam tak berdaya.

“Kanker serviks dan harus operasi pengangkatan rahim.”

“Maaf, Kak.”

“Ga perlu, Youn.”

Tak ada yang berbicara setelahnya. Hanya Seungyoun yang kini memilih berpamitan untuk kembali.

Seungwoo menahannya, ingin tahu lebih banyak tentang Eunsang. Batinnya menyeruak, ia juga menginginkan seorang anak, keturunan darah dagingnya sendiri.

Maka, dengan kurang ajar, Seungwoo memerintahkan pita suaranya untuk berkata tanpa gentar.

“Gue boleh ngerawat dia? Sama istri gue.”

Ada satu jantung Seungwoo yang jatuh. Menjatuhkan dirinya pada perut dengan berdebam menyakitkan.

“Kenapa harus Esa? Kenapa harus anak gue?”

Getar suara Seungyoun menggaung di telinganya. Namun egonya masih tinggi, kekalutannya mendominasi.

“Daripada Esa ga ada ibunya, kan?”

Dilihatnya Seungyoun semakin memundurkan diri. Menatap Seungwoo tak percaya. Netranya berkaca, siap meruntuhkan pertahanan yang ia bangun.

“Youn...”

“Jangan gerak, Kak. Tolong.”

Air mata Seungyoun seakan menyadarkannya. Betapa bodohnya ia, betapa egoisnya ia.

Ia ingin meminta maaf, ketika Seungyoun kembali bersuara.

“Gue, ibu sekaligus ayah buat anak gue, Kak,” suaranya bergetar begitu hebat.

“Ga ada orang lain. Ga ada yang boleh ambil Esa dari pelukan gue. Dia punya gue, Kak. Satu-satunya. Tolong. jangan ambil Esa, biarin dia di sini sama gue. Tolong, Kak.”

Seungwoo diam, merasa sangat bersalah. Merutuki diri sendiri yang berkata begitu kejam.

Seungyoun memintanya untuk tidak menemuinya lagi. Seungyoun mendekatinya dengan senyum juga air mata yang meluruh. Mengambil talapak Seungwoo dalam genggaman. Membiarkannya bersentuhan dengan pipi Eunsang.

“Terima kasih menidurkan Esa, Papa. Kami pamit dulu.”

Seungwoo terpaku, air mukanya mengkeruh. Ia bahkan tak mampu mengejar saat Seungyoun kian menjauh.

“Eunsang, anakku,” ia terjatuh.

Dunianya seakan runtuh. Ia menyakiti banyak hati tanpa ampuh.

“Maaf, maaf.”

Hanya demikian yang mampu Seungwoo rapalkan seperti mantra.

Menyesali seluruhnya tanpa cela.

.

.

.

@coffielicious

Sawi Fermentasi─

Dua bulan.

Aku beristirahat kurang lebih dua bulan, setelah operasi pengangkatan rahimku. Kalau kau bertanya tentang apa yang aku rasakan adalah nano-nano.

Tak perlu kau bayangkan, karena akan menyakitkan. Biarkan aku yang menanggungnya sendiri.

Aku berunding dengan suamiku, bagaimana jika mengundang teman teman sekantor kami. Untuk sekadar syukuran karena aku pulih.

Meski beberapa bagian dari diriku hilang, tak mungkin kembali.

.

Perkenalkan, aku Kim Minseo penyandang istri Han Seungwoo dua tahun lebih ke belakang.

Pengidap kanker serviks yang diharuskan mengangkat rahimku. Bisa kau prediksi untuk masa depanku. Tak mungkin keluarga kecilku memiliki keturunan, kecuali mengadopsi.

Tidak apa, ini takdirku. Yang ingin aku bicarakan adalah suamiku, masih sudikah ia bersamaku? Bersama perempuan yang tak mampu memberinya keturunan sama sekali?

Aku ingin banyak mengadu, kepada siapapun yang mampu kuadui.

Aku ingin menyumpah serapah tentang hidupku. Tapi aku tak ingin menyerah. Dengan memiliki Han Seungwoo di sampingku, aku kuat.

Aku ingin menguat dengan sendirinya. .

Satu hari diantara kesibukan yang rekan kerja kami miliki, kami memilih mengundang mereka di akhir pekan, dengan dalih menghabiskan Sabtu malam.

Hampir seluruh rekan kerja di devisi kami, kami undang.

Dan, aku juga ingin berterima kasih kepada Tuan Cho, telah menyupirkanku ke rumah sakit juga terkadang menjengukku disela-sela kesibukannya.

Aku ingin bertanya, lebih tepatnya. Apakah Tuan Cho dan suamiku lumayan dekat? Bolehkah aku bertanya-tanya kepadanya? Bukankah malam itu, saat suamiku menjemputku, mereka bertukar sapa? Apalagi ditambah dengan suamiku yang dengan percaya memintanya untuk mengantar kami.

Semoga kegundahanku tidak berlanjut.

.

Seungwoo meletakkan beberapa jajanan pasar juga pattieserie di tempatnya. Aku melihatnya, ia begitu antusias menyusunnya. Senandungnya berdengung pelan.

“Senang?” Aku menepuk pundaknya pelan.

“Tentu,” ia mengecup keningku sayang.

.

Seungwoo adalah lelaki bungsu dari keluarga kecil bahagia yang aku tahu. Aku jatuh padanya saat ia menolong seorang anak kecil mendorong gerobaknya untuk berjualan.

Aku selalu menemukannya tiap sore, sebelum aku memberanikan diri berkenalan dengannya.

Aku melihatnya sebagai pahlawan, ia mau mengorbankan apapun. Untuk kebahagiaan orang lain.

Ia sempurna, dalam visualku, ia sempurna.

Boleh aku menjabarkannya?

Netranya jernih, seperti lautan dalam tak terperi. Aku ingin menyelaminya, berenang menuju lubang tak berujung. Aku ingin berkaca dengan obsidian yang menenggelamkanku tanpa cela.

Netranya, menyimpan begitu banyak rahasia.

Ia sendu saat-saat tertentu ia sendiri.

Ia sendu bahkan saat ia berada di atasku mereguk rindu.

Ia sendu, saat menggoyangkan gantungan kunci berbentuk rubah kecil yang selalu ada dalam saku.

Ia sendu, saat menatap jauh, menerawang. Ada apa, suamiku? Tidakkah kau ingin berbagi, barang secuil? Agar aku juga bisa merasakan kesenduanmu.

.

Tubuhnya selalu hangat saat mendekapku, merengkuhku dalam peluknya. Hidungnya akan mengusak suraiku dan bibirnya akan mendaratkan kecup di ubun-ubunku.

Namun bagiku itu belum cukup, bisakah aku menghadirkan kembali warna dalam obsidiannya? Bisakah aku mencari celah untuk menenggelamkan diri di dalamnya?

Bisakah aku menyakinkan diri bahwa kau masih milikku seutuhnya?

.

Tepukan pelan di pundakku membuatku menoleh, aku tersenyum ramah, “Hangyul?”

Lelaki gagah itu, Lee Hangyul. Salah satu rekan kerjaku. Aku suka sekali memanggilnya bayi, dia lucu, sangat.

“Aku tu gagah, Kak. Bukan bayi.”

Ia berkata satu waktu, aku mengulurkan tangan mencubit pipi gembil miliknya yang akan memerah menggemaskan. Ia lelaki kuat, dalam konotasi dan denotasi.

Aku selalu berdoa, agar ia selalu mendapatkan yang terbaik. Bayiku, Lee Hangyul.

Ngomong-ngomong tentang bayi, apakah tuan Cho akan membawa serta putranya?

Oh! Itu dia, bersetelan kasual. Membawa ponsel dalam genggaman.

“Tuan Cho,” aku membungkuk hormat.

“Cho Seungyoun, Nona Kim.”

Ia mengoreksiku.

“Seungyoun saja, anda bahkan lebih tua dariku,” kekehnya.

Aku mengangguk, ragu. Membiarkan ia berjalan menjauh setelah kupersilahkan untuk masuk.

.

Acaranya simpel, hanya sambutan dan makan serta ucapan selamat atas berhasilnya operasiku. Mereka menyemangatiku dengan sempurna. Aku terharu dibuatnya.

“Esa kok ga diajak deh?”

Sayup-sayup kudengar suara Hangyul dari kursi di sebelahku.

“Malem banget, Gyul.”

Kini kudengar suara lain menanggapi, itu Seungyoun. Ia masih menyesap teh manis mintnya.

“Lha, biasanya pulang kerja juga malem, Kak.”

“Gemes banget, Gyul. Beda itu, astaga.”

Aku menyaksikan mereka, bersenda gurau ringan, mempererat ikatan mereka.

Tak lama, aku pamit undur diri sejenak. Membiarkan mereka masih larut dalam obrolan ringan.

.

Aku mengambil pakaian hangatku, untuk kembali menyusul ke ruang tamu. Aku mencari suamiku namun tak menemukannya.

Aku berjalan keluar, mencoba mencari pemandangan malam yang kian larut.

Aku beralih ke samping rumah, mencoba menelisik lebih banyak rasi yang mampu ku proyeksi.

Namun, mereka menghentikanku.

Mereka, suamiku dan Seungyoun.

Duduk berdampingan dengan jarak yang jauh, aku ingin mengagetkan mereka, tapi perkataan suamiku menghentikanku.

“Masih suka tidur larut, Youn?”

Tak ada jawaban dari yang lainnya. Hanya satu kalimat, seakan menjauhkan diri.

“Udah malem, Kak. Mau pulang dulu.”

“Youn.”

Aku melihatnya, dengan jelas ia di hadapanku. Namun ainnya lurus, berbinar perih menatap lelaki di hadapannya. Obsidiannya tidak sendu, seakan menyalurkan rindu yang sekian lama membelenggu.

Kedua kelerengnya berbicara mencoba menahan lelaki di hadapannya untuk tinggal lebih lama. Netra sehitam jelaganya kali ini berkata-kata, namun bukan denganku, dengan lelaki yang kini membelakangiku.

Aku mundur, menahan sesak yang kian menyeruak. Aku bersembunyi semampuku, menahan isak dengan risak.

“Youn.”

Aku mendengar suamiku memanggilnya, seakan menyalurkan seluruh asa yang tersisa.

“Youn, gue kangen.”

Suaranya terdengar kembali, menyalurkan seluruh perasaan yang mampu ia utarakan.

Aku meluruh, mendudukkan diriku sendiri. Menahan kedua genggaman tanganku di atas dadaku. Memukulkannya tanpa arti.

“Maaf Kak, gue pulang dulu.”

Aku mendengarnya dengan sendu.

Langkah kakinya yang pelan semakin mendekat, aku berdiri kemudian beringsut cepat, pergi untuk mencoba menghapus sesak.

.

“Nona Kim.”

Seungyoun menghampiriku dengan senyum tulusnya. Ia meraih kedua tanganku untuk digenggamnya.

“Hei, saya belum mengucapkan dengan baik. Selamat atas operasi anda yang berhasil, Noona. Mulai saat ini, hiduplah sehat-sehat.”

Ia tersenyum tulus sekali, tanpa sadar air mataku turun dari tempat yang seharusnya ia berada.

“Lho, Nona Kim kok nangis. Boleh Seungyoun peluk?”

Aku ditariknya dalam dekap, hangat sekali. Bolehkah aku mendengar dongengnya? Dongeng tentangnya, suamiku, dan Eunsangnya?

“Mulai hari ini, Nona harus janji kalau akan baik-baik saja. Jangan sungkan minta tolong sama rekan kerja. Saya kemari sekalian mau pamit.”

Aku mendongak, melepaskan diri dari pelukan menenangkannya.

“Pamit?”

“Huum, mulai besok Senin akan ada manager personalia yang baru.”

Aku mengerjab bingung.

“Saya resign, Eunsang masih membutuhkan perhatian lebih. Jadi, selalu sehat sehat Nona Kim.”

Ia membungkuk pelan, pamit undur diri.

“Seungyoun,” aku menamparnya telak. Kemudian menangis tersedu.

Ia terlihat kaget dengan tindakanku, namun sama sekali tak protes.

Suamiku berdiri di sana, menghampiriku, menghampiri kami. Aku menghadiahkan padanya satu pukulan di rahangnya, telak.

“Jelaskan! Apapun yang kalian miliki, jelaskan!” Isakku melirih, “jangan buat aku menerka, jelaskan!”

.

Satu penopangku kini luruh, kami pincang, kami bertiga pincang.

Hati kami retak, pecah menjadi serpihan kecil menyakitkan.

Suara kami menghilang, tertelan angin malam yang kian redup.

Semesta pun bergemuruh, menjatuhkan seluruh tumpangan yang sedari lama ia tempuh.

.

Seluruh pertanyaan dalam benakku terjawab.

Semuanya terbuka dengan sempurna.

Menyakitkan, kotak yang mereka buka dihadapanku terlalu kejam.

Aku ingin berlari, berteriak seegois yang aku ingini.

Aku ingin menyatu dengan angin, agar ia membawaku terkungkung dalam deru.

Aku ingin pergi, membawa seluruh perih dalam diri.

Aku ingin tertidur begitu lama, dimana aku bisa membangun mimpi tanpa duri menyertai.

.

.

©coffielicious

Ojingeo Bokkeum─

Kembali mengemudikan mobil dengan tergesa, dengan tempat tujuan yang sama, namun dengan kasus yang berbeda.

Mengecupi kening Eunsang dalam dekapannya, panas. Badan Eunsang panas sekali.

Mengusap air matanya yang masih mengalir, tanpa mau berhenti.

“Sebentar, Sayang, sebentar lagi kita sampai.”

.

Masih di IGD yang sama, lalu lalang yang membuatnya semakin kalut.

.

Eunsang demam tinggi sedari kemarin, Seungyoun sudah melakukan semua hal yang ia mampu.

Memarutkan bawang merah untuk ia balurkan pada punggung sempit Eunsang. Memberikannya madu dengan air hangat, mengompresnya sehari semalam, hingga mendekapnya di atas dadanya, skin to the skin.

Namun sudah hampir 24 jam berlalu, demam Eunsang sama sekali belum turun. Makanan yang Seungyoun suapkan selalu ia muntahkan, wajahnya memerah, bibirnya pucat, sayu.

Seungyoun menangis ketika Eunsang sama sekali tak membuka mata saat ia coba bangunkan. Menyambar perlengkapan Eunsang dengan tergesa. Mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, mendekap Eunsang sebegitu erat.

Menemukan jam digital di dashboard mobilnya menunjukkan pukul 23:19 ketika mengemudi ke rumah sakit, lumayan larut.

.

Administrasinya ia urus secepat mungkin, dokter memindahkan Eunsang ke ruangan khusus. Ia diminta untuk menunggu setelah dokter bertanya beberapa hal.

Ia mendengarkan penjelasan dokter dengan saksama, mengangguk mengerti dalam kekalutannya.

“Berhenti khawatir, Tuan. Putra anda kuat sekali. Hanya mungkin ia kaget dengan perubahan suhu yang ekstrim, juga sepertinya beberapa gigi belakangnya akan tumbuh. Anda sudah melakukan hal yang baik dan benar. Tidak terlambat, putra anda akan segera sembuh.”

Senyumnya menenangkan, Seungyoun menghembuskan napas lega.

Memilih undur diri untuk menemui putranya.

Menyusuri lorong sepi nan lengang. Bau obat-obatan mengudara.

Memilih berbelok ke kantin rumah sakit, sejenak mencari seteguk air untuk membasahi kerongkongannya.

.

Menemukan putranya terlelap damai. Menempatkan punggung tangannya pada dahi Eunsang. Menghela napas lega, demamnya lumayan turun, hanya perlu diinfus untuk mengganti makanannya sejenak.

Mendudukan diri di kursi yang tersedia, mengulurkan tangan untuk membelai surai putranya. Menyenandungkan pengantar tidur. Suaranya melirih.

Merebahkan kepalanya, tangannya menggenggam jemari mungil milik Eunsang.

“Pippi dengan Eunsang, bersama, menghadapi dunia.”

Kesadarannya makin menghilang, mencoba mencari mimpi di dunia yang ia bangun sendiri.

.

Tepat pukul 02:15, Seungyoun terbangun, dengan badannya berpindah di sofa ujung ruangan. Menemukan orang lain di ruangan putranya.

“Hyuk.”

Jinhyuk beranjak dari kursi, mendekati sofa tempat Seungyoun berbaring. Mengangkat kepalanya pelan, menempatkan pada pahanya sendiri.

Mengelus surai Seungyoun, menenangkan.

“Lu baru tidur dua jam. Tidur lagi aja, shift gue udah abis.”

Seungyoun memiringkan badannya, wajahnya ia hadapkan pada perut Jinhyuk, mencari kenyamanan.

Lengannya ia kalungkan di pinggang lelaki yang memangku kepalanya.

“Kok tau gue di sini?”

“Tadi ada yang bilang.”

“Esa demam, gue takut. Gue takut banget, Jinhyuk. Gue takut ga ketemu dia lagi,” isakkan kecil terdengar oleh Jinhyuk.

“He’s fine now. Sekarang dukungan lu biar dia makin kuat, sama kaya yang selalu lu bisikkin ke Esa tiap mau pergi tidur kan? Pippi, Eunsang, paman Jinhyuk, paman Wooseok, dan mama Cho, bersama menghadapi dunia.”

Senyuman Seungyoun ia rasakan. Tangannya masih mengelus surai Seungyoun lembut.

“Mau cerita sesuatu? Lu keliatan lesu banget, Wooseok curhat kemarin.”

Seungyoun makin mendusel, “ntar aja, gue mau tidur. Lu ga boleh pergi.”

“Iya, iya.”

Elusan pada surainya tidak berhenti, juga tepukan kecil pada punggungnya ia rasakan. Semakin menyamankan diri, kembali pada alam mimpi yang sedari tadi ia dambai.

.

Seungyoun baru saja mengambil makan siang yang ia pesan di pelataran rumah sakit. Sementara waktu, ia tinggalkan Eunsang bersama mamanya. Mama Cho datang pagi tadi.

“Youn,” ia berdiri menjulang di hadapannya.

Seungyoun tak menggubris, bertolak untuk mengacuhkan.

“Gue minta maaf.”

Lengannya ditahan oleh yang lainnya.

“Please, let me ask an apologize. Gue salah, gue minta maaf, Youn.”

“Ya,” melepaskan jemari yang mencengkeram lengannya, namun tak berhasil.

“Kita perlu ngobrol sebentar.”

Tarikannya kuat, Seungyoun tak kuasa melepaskannya.

.

Taman rumah sakit sepi. Lelaki tadi membawanya kemari.

Seungyoun diam, memilih untuk beranjak berhadapan, meluncurkan bogemnya pada salah satu wajah lelaki di depannya.

“Ouch.”

Memutar pergelangannya.

“Udah puas?”

Seungyoun menamparnya keras, netranya berkaca ketika bersibobrok dengan yang lainnya.

“Ga puas, Kak. Ga akan pernah.”

Jemarinya bergetar hebat, menjatuhkan plastik makanan yang tadi dibawanya.

“Gue benci, Kak, benci banget.”

Lelaki yang lebih tinggi mengambil Seungyoun ke dalam dekapan miliknya, menguncinya meski mendapat penolakan.

“Ceritain tentang Esa.”

“Ga. Lepasin gue sekarang, kalo lu Cuma mau ngobrolin ini, mendingan ga usah.”

“Gue minta maaf, ga seharusnya gue ngomong begitu. Maafin gue selalu nyakitin lu, Youn,” dibawanya Seungyoun duduk di bangku terdekat. Mengambilkan plastik yang tadi ia jatuhkan. Menggenggam jemari mungil milik yang lainnya yang langsung mendapat penolakan telak.

Seungyoun diam, tak ingin menanggapi apapun.

“Maafin gue, yang seharusnya dari awal ga ada di kehidupan lu. Maaf karena ga pernah jujur tentang Kim, istri gue. Maaf selalu narik ulur. Maaf gue buta tentang Esa. Maaf karena sempat hampir ngerebut Esa dari lu. Gue minta maaf Youn, tentang semuanya.”

Seungyoun berdiri, “udah kan? Gue balik.”

“Youn, hari ini istri gue operasi.”

Ada diam yang menguar jauh diantara mereka.

“Semoga lancar, Kak. Dan gue berharap, ini pertemuan kita yang terakhir. Kakak udah punya keluarga kecil yang harus Kakak jaga baik-baik. Gue juga punya keluarga kecil yang harus gue jaga.”

Menghela napas,

“Jadi, gue berharap banget kalo suatu saat kita papasan, anggap lu ga kenal gue. Anggap kalo kita ga pernah ada sesuatu. Anggap kalo kita orang asing. Jangan pernah temui gue secara sengaja.”

Seungyoun mengambil plastik yang masih dalam genggaman Seungwoo.

“Dan lagi, gue, lu, ga pernah jadi kita. Kak Woo sama kehidupan kakak. Youn sama hidupnya Youn. Makasih pernah ngasih Esa. Makasih buat ngasih Youn temen di hidup Youn selamanya.”

Seungyoun berdiri.

“Kak Woo, gue udah bahagia, dan tugas Kakak sekarang cuman bahagia. Lupain Youn, Kak.”

Mengambil tangan lebar milik Seungwoo untuk ia genggam.

“Buat kali ini, buat yang terakhir. Youn sayang Kakak.”

Menempatkan telapaknya pada pipi miliknya, merasakannya nyaman, namun bukan miliknya.

Jemari Seungwoo mengelus pipinya, Seunyoun tersenyum sembari memejamkan matanya.

Merekam perasaan untuk ia kunci dalam kotak yang ingin ia buang seluruhnya.

“Sampai jumpa, Kak Woo.”

Netranya menatap obsidian di depannya. Tersenyum menyakitkan, tak ingin sedikit sekali luntur.

Seungwoo menariknya dalam pelukan.

“Maaf, Youn, maaf.”

Seungyoun mengelus surai Seungwoo, menariknya pelan.

“Jaga Nona Kim baik-baik.”

Mengecup dahinya halus, seakan mengucap perpisahan.

“Youn, tolong.”

“Ya?” Sabar, Seungyoun menjawabnya, melepaskan dekapan yang membelenggu, melindungi diri sendiri dari duri yang tak lagi ingin ia lalui.

“Gue boleh ketemu Esa, sekali lagi?”

Seungyoun mengerjab, “Ya, sekali.”

Seungyoun berbalik, berkata di balik punggungnya.

“Sekali, Kak. Dan jangan pernah temui Esa lagi.”

Berjalan menjauh, menjauh dari luka, menjauh dari semua yang mampu menyakitinya.

“Biar Youn lepas Kak Woo baik-baik, sampai jumpa.”

Senyum untuk yang kesekian kali, kemudian benar benar pergi.

.

.

©coffielicious

Regal-

Baru saja pintu apartemennya tertutup dan belnya berbunyi. Seungyoun masih menggendong Eunsang di punggungnya. Mengernyit heran, ada yang bertamu selarut ini.

Senin malam dan baru saja pulang kerja.

Melewari intercom, ia menemukan secuil raut lelah.

Memilih membukakan pintu,

“Youn, gue boleh minta tolong? Setirin ke RS?”

Seungyoun, sigap menangkap kunci, mengambil tas dan dompet kemudian sedikit berlari.

Di sana, Seungwoo membopong istrinya yang terkulai.

.

Eunsang ia dekap erat, mengemudikan mobil secepat yang ia mampu.

Eunsang masih bangun, ia mengerjabkan mata, seakan heran, apa yang terjadi dengan pippinya.

“Sebentar, Sayang. Pippi minta maaf karena ngebut, hm? Esa mau tidur dulu?”

Mengecup pelipis Eunsang saat lampu merah. Mengelus ujung kepala agar terlelap.

Tapi sepertinya Eunsang masih ingin menemani perjalanan Seungyoun.

Menyuapkan satu dua biskuit regal untuk menemani mata melek milik putranya.

.

IGD masih begitu terang, dokter dan suster berhamburan menolong nona Kim.

Seungwoo menunggu di luar ruangan setelah nona Kim diharuskan rawat inap.

Masih dengan Seungyoun, menyanyikan lullaby untuk putranya. Tidak berefek banyak, Eunsang malah semakin terkekeh.

Seungyoun tertawa pelan, “apa yang lucu? Ayo tidur, sudah larut.”

.

Seungwoo memperhatikannya, Seungyoun masih bersetelan, minus jas dan dasinya. Jasnya untuk membungkus putranya, yang tertawa halus dalam gendongannya. Hatinya menghangat, ia tidak tahu mengapa.

“Gue boleh gendong dia bentar?”

Seungwoo seakan kaget dengan permintaannya sendiri. Pun dengan Seungyoun.

“Boleh aja sih Kak, cuman kayanya Kakak masih cape. Anak gue berat.”

“Siapa tau capenya ilang.”

Seungwoo mengulurkan kedua tangannya. Seungyoun menatapnya ragu, kemudian membuka jas pembungkus tubuh Eunsang, perlahan memberikannya pada Seungwoo.

Hatinya meluruh, putranya sama sekali tidak rewel, menatap Seungwoo yang menggendongnya.

Putranya malah seakan menyamankan diri di atas dada milik Seungwoo.

Seungwoo bersenandung pelan, Eunsang mengerjabkan matanya berat.

“Youn, dia tidur, lucu banget.”

Seungyoun tersenyum, “iya Kak, makasih. Sekarang biar gue gendong. Nanti lengannya pegel.”

“Ga, biar begini dulu.”

Seungwoo menduduki bangku ruang tunggu, membungkuskan jaketnya pada Eunsang.

“Namanya siapa?”

Seungyoun masih berdiri, memotret pemandangan di depannya dalam memori. Meminum banyak-banyak, sebanyak yang ia mampu, sebanyak yang ia mau. Menguncinya dalam satu kotak kecil untuk ia kenang di masa yang akan datang.

“Eunsang, Cho Eunsang.”

Seungyoun menyampirkan jasnya pada pinggang.

“Gue maksa, sekarang biar dia gue gendong Kak.”

“Kenapa?”

“Biar ga cape,” mengambil Eunsang dalam dekapan papanya. Jantungnya berdenyut nyeri ketika sesaat lengannya bergesekan dengan milik yang lainnya.

Menciumi pipinya yang semakin gembil, saat Eunsang dengan sempurna sudah dalam jangkauannya. Ia tersenyum, bayinya tersenyum, seakan mendapat bunga tidur yang indah dalam lelapnya.

Membenahi gendongannya, kemudian mendudukan diri.

“Nona Kim, sakit apa, kalo boleh tahu?”

“Kanker serviks, dan harus diangkat rahimnya.”

Seungyoun diam, menelisik Seungwoo yang kini menatap kosong.

“Maaf, Kak.”

“Ga perlu, Youn.”

“Gue, boleh pulang duluan? Kasian Esa, ya kalo Kakak ga keberatan sih,” merapikan gendongannya dan beranjak berdiri.

“Youn,” tarikan pada lengannya membuatnya berhenti.

“Ceritain tentang Esa.”

Seungyoun bergeming, kepala mungil Eunsang yang meneleng, ia benarkan.

“Apa yang mau Kakak tau?”

“Ya semuanya, kok bisa dia anak lu? Sama... siapa?”

Seungyoun masih diam, mengeratkan jas yang kini menjadi tumpuannya.

“Ya, anak gue, udah.”

“Sama siapa, Youn? Apa gue perlu cari tau sendiri?”

“Ga ada yang perlu dicari tau, Esa anak gue.”

“Gue boleh ngerawat dia? Sama istri gue?”

Berjengit, Seungyoun mundur. Kaget dengan permintaan Seungwoo barusan.

Baru saja hatinya bungah karena Eunsang sejenak mendapat sentuhan papanya. Tapi, seakan tak rela, jantungnya menjatuhkan dirinya sendiri, tanpa ingin berhenti berdenyut menyakitkan.

“Kenapa harus Esa? Kenapa harus anak gue?”

Suaranya bergetar.

“Seenggaknya gue tau siapa orang tuanya kalo gue pengen ngerawat anak.”

Enteng sekali, tidakkah ia berpikir bahwa ini sangat kejam.

“Kayanya lu kurang tidur deh, Kak. Makin ngelantur gini.”

“Ngga, gue serius, daripada Esa ga ada ibunya, kan?”

Seungyoun melebarkan pupilnya, marah, sedih, kesal, kecewa paling mendominasi.

Ia mundur, bertumpu pada dinding di belakangnya.

“Youn...”

“Jangan gerak, Kak. Tolong.”

Seungyoun terduduk, bibirnya mengecup pelipis Eunsang yang masih mengarungi alam mimpi.

“Maaf, maafkan pippi. Maafkan pippi, Esa ya..”

Air matanya luruh.

“Gue, ibu sekaligus ayah buat anak gue, Kak,” getar suaranya tak mampu ia sembunyikan.

“Ga ada orang lain, Kak. Ga ada orang lain yang boleh ambil Esa dari pelukan gue. Dia punya gue, Kak. Satu-satunya. Tolong, jangan bawa pergi, tolong biarin dia di sini sama gue. Tolong, Kak.”

Seungyoun semakin beringsut mundur, mendudukan dirinya di lantai, mengecupi pelipis Eunsang tanpa henti.

Mengusap air matanya yang semakin deras, ia ingin berhenti.

“Kak, gue minta tolong, jangan temui gue atau Esa lagi. Gue sama Esa pamit.”

Berdiri, mendekati Seungwoo yang masih bergeming heran Mengambil telapak tangan lebar yang dulu sering menenangkan dirinya sendiri.

Ia mengenggamnya pelan, mengarahkannya pada pipi putranya.

“Terima kasih menidurkan Esa, Papa. Kami pamit dulu.”

Berbalik, berjalan terseok, ingin menjauh dari semua hal. Membawa Eunsang dalam ketimpangan miliknya. Berharap segalanya yang terbaik untuk putranya.

“Kami sayang papa,” sayup, ia bisikkan di telinga pelitanya.

“Tetap bersama pippi, Jagoan.”

.

.

.

©Coffielicious

Dakjuk-

Weekend, berarti hari Seungyoun full milik Eunsang. Ini masih hari Sabtu pagi, tetapi tepukan kecil di pipinya mengganggu tidur nyenyaknya.

“Esanya pippi udah bangun.”

Suaranya serak, khas bangun tidur. Mengecupi pipi gembil putranya yang kian memerah ia usak.

Berceloteh riang, membuat Seungyoun tertawa lepas.

Jika bertahun lalu ia mengerang protes jika bangun pagi. Maka, dengan hadirnya Eunsang, membuat Seungyoun lebih rela bangun pagi. Bersyukur karena Eunsang berarti masih ada di sisinya.

Pagi mereka, biasanya akan diawali dengan Seungyoun memasak dan Eunsang yang ia dudukkan di kolam bola-bola. Diteruskan dengan mereka menyantap makan pagi.

- Seungyoun belajar banyak, terutama untuk putranya.

Belajar lebih bisa bangun pagi, membagi waktu, dan beradaptasi.

Sedangkan memasak, untunglah ia memiliki skill sedari dini. Untuk membuat biskuit atau camilan untuk Eunsang pun, Seungyoun rela begadang. -

Setelah makan pagi, Seungyoun hanya akan membiarkan Eunsang bermain dalam jangkauannya. Terkadang, ada Jinhyuk dan Wooseok yang berkunjung, juga mama Cho. Bermain dengan Eunsangnya.

Barulah sekitar pukul 9 pagi mereka beranjak mandi. Bermain dengan bebek karet seukuran kepalan tangan. Saling berciprat air dengan putranya, meski ia belum mengerti. Hanya tawa riang yang mengalun dengan nada yang Seungyoun selalu ingin dengar.

Menonton serial kartun dan mungkin mengajari Eunsang dengan mainan di sekitar mereka adalah kegiatan selanjutnya.

Eunsang sedang suka-sukanya menirukan Pippinya berbicara. Maka, Seungyoun akan bercanda dengan hal itu.

Membunuh waktu dengan Eunsang adalah satu hal, dengan banyak tawa juga canda. Seiring keajaiban yang Eunsang bawa.

Mereka akan rebah lelah di siangnya. Bersisian untuk tertidur, mengarungi alam mimpi yang berbeda untuk sejenak.

.

.

Sabtu sore, berarti jalan-jalan di taman sekitar apartemen. Bersama dengan balita-balita lain.

Eunsang sudah tampan, dengan balutan sweater hangat berwarna abu, senada dengan celananya. Dipakaikannya sepatu, ugh sepatunya mungil sekali. Seungyoun gemas.

Tak lupa beanie rajut membungkus kepala mungilnya, menyembunyikan telinga Eunsang dari suhu yang kian merendah.

Seungyoun membawanya dengan stroller, sembari menyuapkan sup untuk makan sorenya.

Taman sudah ramai, bertegur sapa dengan beberapa tetangga yang sering dilihatnya.

-

Seungyoun tidak tuli, banyak gosip simpang siur di sekitarnya.

Ada yang mengatakan ia bercerai, ada yang mengatakan ia mengangkat anak, ada yang mengatakan ia menghamili anak orang, dan lain-lainnya.

Namun ia memilih acuh. Fokusnya adalah Eunsang kali ini. Masa depannya untuk Eunsang.

Jika ada yang bertanya apakah Seungyoun menyesal? Jawabannya adalah, iya.

Seharusnya ia masih sendiri, menikmati travelling kesana kemari. Menegak panasnya alkohol di tenggorokan. Berdansa menggila di club. Bertolak pergi tak tahu diri.

Itu adalah tahun tahun lalu.

Semakin Eunsang tumbuh dan berkembang.

Menyaksikan tawanya sebagai pengobat dikala lelah dan resah. Menyaksikan setiap langkah yang Eunsang tapakkan. Menyaksikan Eunsang mengerjakan pita suaranya, yang ia dengar sebagai melodi tak tergantikan. Menyaksikan Eunsang terlelap dalam dekap, sebagai penutup hari yang selalu ia tunggu.

Kali ini, ia memilih untuk bersyukur. Sebagaimana Eunsang selalu membawa keajaiban tak terperi.

Tidak apa masa mudanya terenggut, untuk Eunsang segalanya akan Seungyoun kerahkan.

Tetapi, jika boleh memilih. Ia ingin memutar waktu. Ingin mendapatkan Eunsang dengan cara yang lebih baik, dengan dirinya yang siap, dengan seseorang yang mungkin bisa ia dekap.

Namun itu pengandaian.

Sekarang, semuanya sudah menjadi bubur. Seungyoun memilih untuk memberikannya bumbu dan lauk agar bubur itu tak berakhir sia-sia.

Yang bisa Seungyoun lakukan adalah menerimanya dengan lapang dada. Menghadapi segala hal bersama Eunsang semakin menguatkannya.

Pesan yang selalu Seungyoun bisikkan pada Eunsang di setiap malamnya adalah kalimat yang akan ia ingat.

“Pippi dengan Eunsang, bersama, menghadapi dunia.”

'Lucu, anak balita kau bisikkan demikian, Cho,' kata Jinhyuk satu hari. Ia melanjutkan,

'Pippi, Eunsang, paman Jinhyuk, paman Wooseok, dan mama Cho. Nah itu baru benar'

Seungyoun memukul bahu Jinhyuk main-main.

-

Celotehan balita dan banyak orang, masih menjadi latar Seungyoun dan Eunsang di taman.

Seungyoun masih menyuapi Eunsang dengan menunya kali ini bakso dan makaroni.

Eunsang sedang ada di fase dimana ia mau memakan apapun, kecuali buah alpukat. Entahlah.

Seungyoun memutar otak, terkadang alpukatnya bahkan ia jadikan es krim susu, jus, bahkan ia campur dengan buah-buahan lain menjadi sup buah. Tapi tetap saja ia sama sekali tidak mau.

Akhirnya Seungyoun menggantinya dengan menu lain.

Tapi kan, alpukat seenak itu.

Ya sudahlah, mungkin Eunsang memang belum mau.

Baru saja Seungyoun akan menyuapkan sesendok terakhir pada Eunsang, ia menemukan putranya dengan kepala yang terkantuk.

Ia malah diam dan ingin tertawa, astagaaa ngantuknya anak ini.

Meletakkan mangkuk sup ke bangku terdekat, kemudian membenarkan letak kepala Eunsang dalam strollernya. Menyelimutinya dengan kain berbulu lembut nan empuk, seperti pipi Eunsang.

Tak lupa mengoleskan minyak telon untuk menghalau nyamuk bandel yang akan menghisap darah putranya.

Seungyoun membereskan mangkuk yang tadi dibawanya.

Menemukan seseorang lain yang duduk di bangku, sedang memerhatikannya.

Sungyoun menahan napas, memilih untuk duduk di bangku yang sama, dengan jarak yang ingin ia buat selebarnya.

“Masih tinggal di sini?”

Suaranya kentara, tanpa getar. Masih menjadi mimpi berada di radius kurang dari 125 cm dari lelaki yang lainnya.

“Masih, Kak.”

Menemukan suaranya, mencoba untuk tetap tenang. Meletakkan mangkuk pada tatakan stroller milik Eunsang.

“Kamu, sehat?”

“Hum? Sehat lah, ga liat apa gue segagah ini? Lucu banget Kak Woo kalo pake kata 'kamu' hahaha.”

Tawanya sumbang, ia merasakannya sendiri. Ingin mengubur diri, ingin membawa Eunsang menjauh, ingin mendekap Eunsang seerat yang ia mampu.

“Masih suka nge gym?”

“Udah jarang, tapi ya masih. Kakak sama siapa ke sini? Nona Kim mana?”

Ia merasakan tatapan Seungwoo untuknya, ia memilih memainkan gantungan kunci berbentuk rubah di tangannya. Sesekali mengecek Eunsang yang masih tenang dalam lelapnya.

“Sendiri dan Kim udah naik tadi. Kebetulan liat Youn, jadi ya udah, disamperin.”

Seungyoun mengangguk mengerti.

“Ya udah Kak, gue naik dulu deh. Mau beberes.”

Seungwoo memerhatikan balita dalam stroller yang Seungyoun hampir dorong.

“Anak siapa, Youn?”

Seungyoun menoleh, menemukan netra yang masih terlalu teduh menatapnya di bawah langit sore.

“Anak gue Kak, hehe.”

Cubitan kecil ia dapatkan dalam dadanya, 'ini anak kamu, Kak Woo, anak kita' batinnya menjerit keras.

“Lu, nikah?”

“Engga, kenapa?”

“Terus?”

“Terus apa, Kak? Astagaa, gemes.”

Seungyoun beranjak dari duduknya, hampir berpamitan ketika ia mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak diucapkan Seungwoo.

“Anak adopsi?”

Jantungnya luruh, ingin sekali mengangkat tangannya untuk ia bogemkan untuk Seungwoo.

Tapi ia diam, berbalik sejenak.

“Bukan, anak gue kak. Anak kandung, gue ke atas dulu? Kasian digigitin nyamuk.”

“Youn.”

Tubuhnya limbung, seiring tarikan pergelangan tangannya oleh lelaki yang lebih tua.

Menemukan dirinya sendiri berada dalam dekapan Seungwoo, menghirup baunya tanpa ampun.

Mati-matian ia menahan tangis rindu yang ingin ia tumpahkan sebanyak yang ia mau.

“Youn, gue kangen.”

Bendungan air matanya meluruh.

Seungyoun tak ingin sama sekali membalasnya, tidak.

Jemarinya mengusap air mata yang dengan lancang ia turunkan, perlahan melepaskan diri dari dekap yang terlalu menghipnotisnya.

“Keren banget Kak Woo bilang kangen.”

Telapaknya ia angkat untuk menepuk-nepuk lengan atas Seungwoo.

“Gue duluan, Kak.”

“Lu belum jawab pertanyaan gue, Youn.”

Seungyoun tak ingin mendongak, sama sekali tak ingin menunjukkan matanya yang memerah.

“Pertanyaan yang mana?”

Seungyoun merapikan selimut milik Eunsangnya, menahannya dimasuki angin sore yang kian kencang.

“Barusan.”

“Yeee, pernyataan itu mah. Udah ah, gue masih tinggal di unit yang sama. Kapan-kapan ajak nona Kim main.”

Seungyoun hampir menepuk keras jemari Seungwoo yang bertengger di pipi Eunsang. Tapi urung, ia membiarkannya.

“Pipinya gembil banget, kayanya emang dia anak lu deh.”

“Udah dibilang kan, anak kandung gue. Kak, beneran gue balik dulu.”

Tanpa mendengar jawaban Seungwoo, Seungyoun berbalik. Berjalan tergesa, menuju unit miliknya yang terasa begitu jauh.

Sial,

“Bareng aja sih, nih gantungan kuncinya ketinggalan.”

Lift terasa begitu sempit, bau Seungwoo mengudara, seakan memenuhi rongga dadanya.

Ia tak mampu menahannya lagi, ia menangis, mati-matian menahan isak.

Tidak ketika Seungwoo di sampingnya. Tapi ia meluruh, menumpukan kepalanya pada pegangan stroler, kali ini membiarkan Seungwoo mendengar isakan miliknya.

“Youn, hei.”

Seungwoo mengelus kepalanya, pelan sekali, lembut sekali.

Seungyoun menurunkan telapak yang mengelusnya, tak ingin terlena dengan ini.

“Ga papa Kak, sumpah. Gue rada cape aja akhir akhir ini.”

Denting lift berbunyi, melihat masih ada tombol menyala merah ketika ia ingin keluar.

“Gue juga, Kak.”

Dalam satu tarikan napas, memberanikan diri mengatakannya implisit ketika pintu lift sejengkal tertutup sempurna.

Seungyoun mendorong stroller masuk ke dalam unitnya, pelan ia melangkah. Mengusap air yang keluar dari matanya, masih belum ingin berhenti.

.

.

Meletakkan Eunsang di ranjangnya, mengelus pipi Eunsang lembut.

“Esa udah dipegang loh, sama papa. Di pipi pula. Papa bilang, pipi Esa gembil. Esa kangen papa? Sama ya, kita jadinya kangen banget sama papa. Tapi sayang, Esa sama pippi aja di sini. Papa udah punya orang lain buat beliau jaga. Biar Esa di sini, nemenin pippi.”

Menciumi pipi putranya tanpa henti.

“Maafkan Pippi, hm?”

Mengecup kening Eunsang, menyalurkan seluruh cinta yang mampu ia curahkan.

Ini Eunsangnya, putranya, pelitanya, keajaibannya.

Membiarkan Eunsang masih lelap. Juga membiarkan dirinya luruh, menumpahkan asanya yang terlalu lama.

Beringsut memeluk Eunsang dari samping. Menahan kepalanya dalam lipatan lengan kanannya sendiri. Meringkuk, menekuk kedua lutut.

Mencari perlindungan diri sendiri.

Kali ini masih ingin meluruh.

Ia rindu, sangat.

Rindu suara tegasnya, yang melembut ketika mengantar dongeng ke penghujung mimpinya.

Rindu jemarinya. Yang akan mengisi kosong sela sela deriji mungil miliknya.

Rindu baunya yang memenuhi rongga dada, menenangkannya.

Boleh ia menyesap sisa yang tertempel di fabriknya? Boleh ia berharap? Masih bolehkah ia merindukannya?

Degukannya berhenti, terlelap dalam lelah, terlelap dalam rindu yang belum mampu ia utarakan dengan sempurna. Terlelap dalam fana yang bahkan masih terlalu kejam untuknya.

.

.

©coffielicious

Sup Krim Jagung-

Seungyoun pernah bilang kan, keajaiban apa lagi yang akan Eunsang bawa?

Dan hari ini keajaiban itu datang lagi, bagian manager personalia. Seungyoun diangkat menjadi manager personalia. Seungyoun mengerjab bingung ketika ia dipanggil menghadap jajaran direksi bersama beberapa orang lainnya.

“Kami sudah memutuskan dengan masak-masak Tuan Cho, anda lah yang paling tepat menduduki kursi tersebut.”

.

.

Hari pengangkatan, ditutup dengan makan bersama di ujung acara. Seungyoun ingin menolak, namun teman-temannya membujuknya untuk ikut. Memilih menitipkan Eunsang dengan mama Cho.

Bertemu juga dengan wajah wajah baru, pengisi posisi baru. Sekalian berkenalan dan mengakrabkan diri.

Mulai besok, jam terbangnya akan tinggi, tekanan pekerjaan yang semakin berat.

Seungyoun sudah mendiskusikannya dengan mama, beliau bilang bagaimana dengan menyewa suster? Tetapi, Youn sangsi. Entahlah.

Setelah Seungyoun berbicara dengan direksi, bolehkah ia membawa Eunsang bekerja bersamanya serta? Masih bingung sebenarnya.

Akhirnya diambillah jalan tengah. Pagi Seungyoun menitipkan Eunsang, siangnya akan ia bawa serta menemaninya bekerja.

Jadilah ruang kerja Seungyoun memiliki ranjang bersekat dan mini playground.

.

.

Berjalan satu minggu, Seungyoun memijat keningnya, whoa pening sekali. Ini jam makan siang, berarti waktunya menjemput Eunsang dari tempat penitipan.

Bertemu dengan Hangyul di lobi, “mau ditemani, kak?”

“Ga usah, Gyul. Ntar lu dikira mamanya Esa.”

“Kok jadi mamanya Esa sih?” Hangyul sewot.

“Soalnya gemesin, udah sana makan siang.”

Seungyoun beranjak untuk meneruskan perjalanannya mengambil malaikat mungilnya. Di luar kantor, ia menemukan pegawai baru yang sedang menunggu lampu merah untuk menyeberang.

Perempuan, cantik sekali, menganggukkan kepala sopan pada Seungyoun.

“Akan menyeberang, Nona Kim?”

“Ya, Tuan.”

Seungyoun mengangguk, “Bersama saja.”

Perempuan anggun itu kembali mengangguk.

“Mau cari makan?”

“Iya, Tuan. Sekalian bertemu dengan suami saya.”

“Ooh.”

Seungyoun mengangguk mengerti.

Mereka berjalan menyeberang. Ternyata berbelok ke arah yang bersamaan, Youn berhenti lebih dulu di tempat penitipan. Melambai sejenak dan meneruskan langkah.

.

.

Eunsang masih asik bermain, balita berumur satu setengah tahun itu asyik berlarian. Seungyoun memblokir jalannya, menangkapnya, mengangkatnya dan memutarkannya di udara.

Tawanya menular, deretan gigi kelinci terpampang nyata, netranya menyipit seiring hidungnya yang naik, juga pipi yang menggembil sempurna.

Gemas, menciuminya tanpa ampun.

“Esa tidak lelah, hm?”

Mengigit kecil pipi Eunsang, saking gemasnya. Mengusak sayang surai putranya yang kian memanjang.

“Esa sudah mam?”

Gelengan dan anggukan, lucu sekali.

“Kita makan ya, Sayang. Sup krim jagung, mau?”

Eunsang menganggukkan kepala mungilnya berkali-kali, membuat rambutnya bergoyang lucu.

Menggendongnya di satu lengan. Membawa perlengkapan Eunsang di lengan yang lainnya. Berpamitan pada guru yang ada di tempat penitipan.

.

.

Sudah larut, Eunsang baru saja terbangun dari tidurnya. Berarti ia akan begadang dengan Eunsang nanti.

Memakaikan jaket pada malaikat mungilnya, berceloteh riang seakan bercerita. Seungyoun menganggapinya juga.

Menggendongnya di punggung, kemudian beranjak turun untuk pulang.

Oh, ada nona Kim di pelataran.

“Sedang menunggu jemputan, Nona?”

Perempuan itu mengangguk sopan.

“Ya, Tuan. Tuan Cho menunggu jemputan juga?”

“Hm? Tidak, saya bawa mobil. Atau Nona Kim ikut saya saja?”

“Terima kasih, Tuan. Suami saya sebentar lagi sampai,” senyumnya menenangkan.

“Ah, kalau begitu biar saya temani.”

“Tidak perlu, Tuan. Sungguh,” tolaknya halus.

“Tidak baik perempuan menunggu sendirian.”

Perempuan itu hanya diam, kemudian ia bersuara pelan, “terima kasih.”

Seungyoun tersenyum, memilih meminta valet untuk mengambilkan mobil miliknya dan membawakan perlengkapan milik Eunsang.

Tak lama, mobil metalik berhenti di depan mereka. Sesosok lelaki keluar dari pintu kemudi. Berjalan memutar dan menghampiri nona Kim.

“Menunggu lama?”

Suara itu, masih terlalu kentara. Seungyoun menahan napasnya sejenak kemudian menghembuskannya perlahan.

Seungyoun mengerjab, baru saja akan pamit. Nona Kim memanggilnya.

“Terima kasih, Tuan Cho.”

Membungkuk, sopan, anggun, dan cantik sekali. Cocok dengan orang yang menjemputnya, lelaki gagah yang kini berdiri tidak jauh dari tempat Seungyoun berpijak.

“Cho Seungyoun?” Suaranya, melawan desau angin malam.

Seungyoun mengangguk, “oh! Kak Woo! Apa kabar?”

Mati-matian menemukan pita suaranya untuk bekerja tanpa gemetaran. Meremas ujung jaket miliknya hingga kusut.

Seungyoun mundur, ketika Seungwoo mendekatinya. Seungwoo berhenti, mungkin ia mengerti.

“Baik, Youn. Baik sekali.”

Seungyoun mengangguk, “kalau begitu, saya duluan Nona Kim. Sudah ada pawangnya, jadi sudah lega. Sampai jumpa.”

Nona Kim tersenyum, mengucap terima kasih sekali lagi.

“Pulang duluan, Kak! Dijaga istrinya baik-baik. Sampai ketemu kapan-kapan.”

.

.

Seungyoun berbalik, berjalan tergesa menuju mobilnya. Menurunkan Eunsang dari gendongan di punggungnya. Memeluknya, kali ini menangis, perlahan, semakin mendeguk.

“Pipi menemukannya, Pipi bertemu dengan papa.”

Menciumi pipi putranya, sayang.

“Maaf kan Pipi, belum bisa menemukan Esa dengan papa. Esa, malaikat Pipi, tumbuh dengan baik, Nak. Tetap di sini, di dekapan Pipi.”

Ia menangis, Eunsang perlahan mengarungi alam mimpi dengan sendirinya. Seakan membiarkan Seungyoun menumpahkan asa yang sudah terlalu lama dipendamnya.

Mendeguk lara, ia mendekap Eunsang di atas dadanya, meminta maaf berkali-kali. Meminta maaf tentang ia yang belum berani untuk memantapkan hati untuk lepas.

Meminta maaf tentang pincangnya yang semakin nyata. Meminta maaf karena Eunsang harus menyaksikan air matanya yang luruh. Meminta maaf tentang semua hal yang bahkan bukan kesalahannya.

.

.

Ia memilih menyerah, menelpon Wooseok untuk menyetirkannya pulang.

Ia masih mengalirkan air matanya, Wooseok tak bertanya apapun. Hanya mengusap surainya sayang.

“Gue di sini, Youn. Gue di sini.”

Memeluknya hingga Seungyoun jatuh tertidur dengan Eunsang yang ia dekap erat di atas dadanya.

.

.

©coffielicious

Jjampong-

Langkahnya tergesa, menekan tombol lift dengan emosi.

“Ish, cepatlah.”

Bibir mungilnya bersumpah serapah. Satu tungkainya mengetuk lantai yang tak bersalah.

Ketika sampai di lantai yang ia tuju. Ia berlari semampunya. Membuka salah satu unit apartemen, mendobraknya tanpa ampun.

“Cho!” Berteriak memutari unit dan menemukan empunya yang sedang berjongkok tak berdaya di depan wastafel.

“Seok,” lemah sekali.

“Esa mana?”

“Tidur.”

“Syukurlah,” Wooseok bergegas meletakkan paper bag yang sedari tadi ia bawa di meja terdekat, memapah Seungyoun kemudian.

“Jinhyuk lagi ada pasien, lu sama gue dulu. Gue beliin bubur.”

Youn mengangguk, bertumpu pada Wooseok sepenuhnya.

“Ngerepotin banget gue tuh.”

“Emang.”

“Jahat, Seok.”

“Kalo gue jahat, gue ga di sini. Mending sekarang lu duduk di ranjang, gue siapin buburnya,” Wooseok hampir beranjak dari kamar Seungyoun, sebelum

“Seok, makasih,” Youn menarik ujung lengannya.

“Santai.”

Seungyoun menunggu Wooseok menyiapkan bubur. Bahkan Wooseok menyuapinya. Dan apa? Seungyoun diomel olehnya habis habisan.

Seungyoun bercerita bahwa ia ingin sekali makan jjampong super pedas dan ia nekat menuruti keinginannya. Berakhir ia terkena diare juga muntah tak berkesudahan.

Wooseok menyuapinya sembari menyukurkannya ditiap suapan. Youn manyun, mulutnya seperti bebek, kalau kata Wooseok.

“Youn,” Wooseok memangilnya ketika selesai berbenah.

“Ya?”

Wooseok mengusap ujung kepalanya, mengusak surainya. Seungyoun mengerjab bingung.

“Kenapa, Seok.”

“Mau tanya, tolong jangan kabur lagi.”

Seungyoun, sedikit banyak meraba apa yang akan ditanyakan.

“Papanya Esa, ya?”

Wooseok mengangguk. Meremas jemari mungil Youn dalam genggamannya.

“Dia udah mau pinter ngomong, gue ga mau lu nanggung beban lu sendiri.”

Youn mengangguk, mengambil satu polaroid dari dalam nakas samping ranjangnya.

-Ia menemukannya saat bebersih unit minggu lalu, sekarang ia memilih untuk kembali menempati unit apartemennya.

Memang menyimpan banyak kenangan, biarkan saja. Youn masih ingin merasakan kehadiran Seungwoo seperti tahun-tahun yang lalu. -

“Tetangga gue, gue ga tau lu kenal apa engga.”

Youn menyodorkan satu potret-Han Seungwoo, pada Wooseok.

Wooseok menerimanya, menelisik.

“Dia awalnya pindah kerja ke sini, gantiin orang katanya sih. Dia ngasih gue kue beras di hari pertama dia pindah. Ternyata kita cocok dan ya banyak kejadian, Seok.”

Wooseok diam, menunggu Seungyoun meneruskan ceritanya.

“Ternyata dia udah ada tunangan. Gue tau setelah gue periksa dan udah ada Esa di gue. Dan lagi dia bilang pernikahannya bentar lagi.”

Youn mengambil napas sejenak, “Awalnya gue mau ngasih tau tentang Esa, Seok. Tapi ya masa dia bilang nikahnya udah deket, gue kasih tau gitu aja. No, Seok, gue ga mau ngerusak planning kak Woo.”

Seungyoun menerawang jauh.

“Gue waktu itu di apartemen dia dan gue ga sanggup, gue pamit pulang. Setelah itu, gue lumayan jaga jarak, gue ga mau ngasih harapan ke gue sendiri. Ada kadang, kepikiran pengen biar Esa pergi aja. Biar Esa ga usah ada di hidup gue. Tapi Jinhyuk ngeyakinin gue buat pertahanin Esa sampe akhir.”

Wooseok mengusap air mata yang mengalir di pipi pualam Seungyoun.

“Esa ngasih gue kekuatan sampe sekarang ini, ada waktu gue nangis kangen, Esa pertama kali nendang di perut gue. Kaya, jangan nangis Pipi, Esa di sini. Ada juga waktu gue ga berani bilang ke mama, tapi kaya ada dorongan biar gue berani.”

Jemari Wooseok beralih pada surai Seungyoun, mengusaknya sayang. Membiarkannya melanjutkan kembali.

“Tambahan lagi kaya sekarang, kerjaan gue malah makin naik. Gue ga tau keajaiban apa lagi yang bakal Esa tunjukkin. Jinhyuk sering bilang makasih ke gue, makasih pertahanin Esa sampe sekarang, makasih mau sayangin Esa. Gue bersyukur banget ada Esa.”

Seungyoun merebah, Wooseok menepuk-nepuknya.

“Dan tentang papa Esa, dia belum tahu, dia ga tau. Gue ga tau bakal ketemu lagi sama dia ato engga. Gue cuma selalu berharap dia sehat dan bahagia. Gue sayang dia, Seok. Sayang banget, tapi gue siapa ya kan?”

Wooseok ingin Youn berhenti, menepuknya agar tertidur.

“Gue sayang banget sama kak Woo, gue boleh ketemu dia kan? Buat sekali aja, ga papa, dia ga perlu tau tentang Esa. Gue cuma pengen bilang gue sayang dia. Gue pengen dia selalu baik baik aja. Seok, tetep jadi sahabat gue ya, bantuin gue sayangin Esa, sampe Esa lupa kalo gue pincang karena ga ada papanya. Seok....”

Air matanya meluruh semakin deras. Membenamkan diri pada bantal yang menjadi sandaran kepalanya. Wooseok membiarkannya, membungkusnya dengan selimut agar Seungyoun semakin hangat.

“Maafin gue buka luka lama lu, Youn. Gue juga selalu berharap lu baik-baik aja. Gue sama Jinhyuk berharap sebisa mungkin ada di samping lu.”

Wooseok mengecup pelipis Seungyoun pelan, membiarkannya terjatuh menuju alam mimpinya, “mimpi yang indah indah aja ya.”

.

.

“Hyuk, ntar kita nginep tempat Youn aja ya, sekalian bawain obat buat Youn. Oh! Jangan lupa beli makan malem, sama camilan atau biskuit buat Esa.”

Wooseok berbicara pada ponselnya.

“Iya, ini udah pada bobo. Ntar hati-hati di jalan ke sininya.”

Wooseok menutup ponselnya, memilih berbenah. Ia berhenti sejenak, itu potret Han Seungwoo, teman kerja Wooseok di luar kota.

Wooseok mengenalnya, sangat.

“Youn, dunia sempit banget emang. Dia punya pandangan kosong sekarang. Dia sering ngelamun waktu kerja. Bahkan setelah dia nikah sama orang pilihannya. Youn... kak Woo lu juga kayanya kangen lu.”

.

.

©coffielicious

Nasi Campur-

Pukul 03.15 dini hari. Terbangun kembali, sebelum ia nyenyak merebahkan diri. Menengok malaikat mungilnya yang masih terlelap damai.

Duduk sejenak untuk mengambil minuman di atas nakas. Meminumnya seteguk dan kembali berbaring.

Ia bersenandung pelan ketika sejenak putra mungilnya terusik di sampingnya. Menepukkan tangannya pelan pada punggung sempit malaikatnya. Agar ia kembali pada alam mimpinya.

.

.

Bulan-bulan awal Youn memiliki buah hati adalah hal yang campur aduk, sangat.

Bulan pertama, masih dibantu oleh Mama Cho untuk mengurusnya, apapun itu. Ada suster memang, tetapi kan tidak selalu.

Youn juga terkadang terkena baby blues.

Jinhyuk menolongnya, Youn bisa sedikit demi sedikit lebih baik.

Bulan ke-dua, kerlingan netra milik putranya membuatnya tersenyum sumringah. Mendengarkannya berceloteh tanpa silaba adalah melodi yang ingin Youn dengar setiap hari.

Bulan ke-tiga ia mampu mulai berteriak gaduh ketika Youn selesai memandikannya, tak mau sama sekali diangkat dari air. Youn gemas, menggenggam jemari mungil milik putranya. Mengecupinya.

Bulan ke-empat, Youn kaget ketika putranya memilih tengkurap dengan sendirinya. Youn bertepuk tangan ceria. Meloncat tanpa ampun.

Oh! Dua-duanya menggemaskan.

Bulan ke-lima, putranya belajar duduk sendiri. Pernah satu kali, Youn lumayan ceroboh. Eunsang duduk tanpa sandaran dan ia menyusrukkan diri. Tetapi untunglah Mama Cho memberikan bantal di sekitar Eunsang.

Bulan ke-enam, ia benar-benar bisa duduk sendiri. Oh, Tuhan, keajaiban apa lagi.

Bulan ke-tujuh, ia mulai merangkak, mengambil barang dari satu tempat ke tempat lain. Makin memiliki silaba untuk berceloteh, mencari atensi Youn untuk memperhatikannya.

Bulan ke-delapan, Youn menangis. Eunsang mampu mengucap kata pertamanya.

Awalnya Youn tidak memperhatikan. Tetapi saat Youn mendengarkannya dengan baik. Ia mengusap telinganya hingga memerah, memastikan apa yang di dengar itu benar.

“Pi.”

Youn masih denial.

“Pipi.”

Youn terlonjak, ia menatap putranya bungah. Mengerjab tak percaya.

“Ulangi, Sayang.”

“Pipi.”

Youn mengangkat putranya tinggi-tinggi. Mengecupi pipinya tanpa ampun.

“Esa memanggilku Pipi. Mama! Lihat!”

Youn menggendong Eunsang sambil berlari riang.

Ah, manisnya.

Bulan ke-sembilan, satu gigi muncul di gusi eunsang. Menyembul malu-malu. Youn pernah sekali digigitnya, ketika ia iseng memasukkan telunjuk ke mulut putranya. Ia menjerit heboh, ditertawakan oleh mama Cho kemudian.

“Ulangi saja, Pi. Biar telunjukmu makin pendek.”

Pipi- panggilan untuk Youn sekarang.

Bulan ke-sepuluh, pertama kali Youn membawa Eunsang ke tempat kerja. Dikerubungi oleh teman teman sekantornya. Eunsang tertawa riang.

Ngomong-ngomong ia mulai berjalan, satu dua langkah.

Youn menangis haru. Melihat Ensang meraihnya langkah dengan kaki mungilnya. Terseok namun tak pantang menyerah. Tertawa menunjukkan dua gigi kelinci yang menyembul.

Merentangkan kedua tangannya untuk Eunsang raih, dalam dekapan ia memutarnya riang.

.

Teman-teman sekantornya iseng sekali, tetapi Youn senang. Melihat Eunsang yang lebih aktif daripada biasanya.

Ada yang hampir memasukan biskuit nextar. Ada yang ingin menculiknya.

Bahkan saking isengnya, Eunsang dibawa ke atas mesin fotokopi. Hampir saja Eunsang terkena sinar fotokopi, untung Youn lihat, huft.

Tetapi, mereka terlihat senang dengan kedatangan Eunsang. Atasannya pun menyambut baik, sempat menggendong sebentar malah.

Youn bersyukur, Eunsang memiliki orang orang yang menyelubunginya dengan kasih sayang.

.

.

Sekali waktu, Jinhyuk mengajaknya makan siang. Eunsang dibawanya, menggelendot tak mau lepas.

“Lu manjain Esa banget, Hyuk.”

“Lucu dia ini.”

“Ntar Wooseok cemburu, gue ogah ya.”

Jinhyuk tersenyum, mengambil tisu untuk mengelap sudut bibir Eunsang yang belepotan puding.

“Wooseok ngerti. Nanti mau kemana?”

“Mau belanja aja sih, mau beli makanan sama belanja bulanan.”

Jinhyuk mengangguk mengerti, “ntar gue anter.”

“Ga usah ih, biasa sendirian juga.”

“Gue maksa.”

“Serah lu dah.”

Youn menyuap makanan di depannya. Bergantian dengan Jinhyuk menjaga Eunsang yang masih suka berceloteh.

Mereka awalnya adalah teman satu organisasi. Kebetulan bertemu kembali di rumah sakit tempat Jinhyuk praktek. Dan sekarang sering sekali mengajak Youn keluar. Untuk sekadar makan ataupun jalan jalan.

Youn tidak keberatan, toh Eunsang senang bermain dengan Jinhyuk.

Yang membuat Youn tidak terlalu nyaman, Jinhyuk sudah punya Wooseok. Dan Jinhyuk selalu bilang bahwa Wooseok akan mengerti.

Jinhyuk tidak pernah tanya siapa papa Eunsang. Jinhyuk hanya menjaga Eunsang setulus yang ia mampu.

Youn diam, menelisik Eunsang yang memiliki beberapa bagian seperti papanya.

“Youn, mau belanja di mana?”

Jinhyuk mengambil tas berisi pakaian Eunsang dari tangan Youn. Mengalihkan pada lengannya. Sementara Youn menggendong Eunsang yang hampir lelap di lengannya.

“Di tempat biasa aja, Hyuk.”

Jinhyuk mengangguk, membukakan pintu penumpang untuk Youn masuk. Youn mengerling, “thanks.”

Jinhyuk mengangkat bahunya acuh.

“Jemput Wooseok bentar ya, biar lu nya ga risih.”

Jinhyuk berucap ketika sudah mendudukan diri di belakang kemudi, menelisik Youn melewati kaca atas.

“Nha, gitu. Kan enak juga kalo ada Wooseok, bisa minta pendapat.”

“Lha, emang gue ga bisa dimintain pendapat? Wah wah wah.”

“Kaga, sesat lu mah. Udah ah, ayo jalan.”

Eunsang terlelap, manis sekali. Youn mengecup pipinya pelan, gembil.

“Youn.”

“Hm?”

“Ga mau ngasih tau papanya Esa?”

Youn terdiam, seakan tidak siap dengan topik yang Jinhyuk bangun.

“Belum tau, belum ngobrol juga sama mama.”

Jinhyuk mengangguk mengerti.

“Lu bisa dateng ke gue kapan aja, gue usahain selalu ada waktu buat lu.”

“Vanilla bat, jir. Santai.”

“Youn?”

“Hm?”

“Makasih mau pertahanin Esa ya.”

Youn tidak menjawab, ia menelisik Eunsang yang semakin nyenyak.

Pikirannya melayang pada seseorang yang masih sering melintasi mimpi di malam lelahnya. Dengan kabur dan kurang ajar menghiasi bunga tidurnya.

“Kak Woo, apa kabar?” Bergumam dan mengecup pelan ubun-ubun malaikat mungilnya, “Kami rindu.”

.

.

.

©coffielicious

Odeng-

Masih terlalu pagi, aku meraba seberang ranjangku, hangat. Kemudian menemukannya menghadap ke luar jendela. Bahunya tegap, lengannya bersilang di dada bidangnya.

Suamiku, Han Seungwoo.

“Mikir apa?”

Aku menghampirinya perlahan, melingkarkan lenganku di perutnya. Memeluknya dari belakang, mengistirahatkan salah satu pipiku di punggungnya.

“Lho, udah bangun?”

Ia menangkup kedua tanganku yang melingkar, bermain dengan jemariku.

“Iya, udah. Mikir apa? Kayanya serius banget.”

Ia membalikkan tubuhnya, memilih memelukku dalam dekapnya, bibirnya menyentuh ubun-ubunku, lembut sekali.

“Masa depan?”

Ia menjawab ragu. Memilih menangkup kedua pipiku dan kali ini mengecup ujung hidungku.

Aku mengerjab, mencari jawaban di matanya, namun nihil.

“Aku mau masak dulu.”

Ia melepaskan pelukannya, tak lupa cubitan mungil ia mampirkan.

.

Aku tidak tahu, sungguh. Kami menikah satu setengah tahun yang lalu. Tetapi sama sekali, aku malah merasa kosong?

Kami berpacaran sekitar 2 tahun yang kemudian ia menginggalkanku cincin sebelum ia mendapat panggilan kerja. Yang membuatku menunggunya sama 8 bulan.

Ia selalu mengabariku, tentang apapun. Tetapi mengapa aku merasa ada yang mengganjal?

Apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak mampu merabanya sama sekali.

Tetapi, jika boleh berprasangka. Apakah suamiku memiliki orang lain di sana? Memikirkannya membuatku ingin sekali menangis.

.

Aku menuang sup ikan yang baru saja matang. Memanggil suamiku untuk sarapan bersama.

“Seungwoo.”

“Hm?”

“Aku dapet tawaran job deh, tapi di kota besar.”

“Ambil aja, Sayang.”

“Maksud aku, aku harus pindah ke sana beberapa tahun. Menetap, Woo.”

“Oh, ya udah aku ngikut.”

“Woo... aku galau dari kemarin pengen ngomong dan jawaban kamu begini?”

“Begini? Kamu kecewa sama jawaban aku?”

Seungwoo menyesap air hangat yang kupersiapkan. Meletakkan sendok dan garpu miliknya. Menatapku dengan netra jernihnya.

“Bukan kecewa, haha. Kaya sia sia banget aku galau lama lama.”

Seungwoo tersenyum teduh. Mengusap suraiku pelan.

“Terus, kerjaan kamu gimana?”

Seungwoo beranjak untuk meletakkan piring kosongnya di wastafel. Berbalik untuk kembali menghadapku.

“Inget kan, aku pernah di sana 8 bulan lebih. Jadi, kayanya aku juga perlu ngurus pindahan. Mungkin aku bisa ngajuin diri buat kerja di sana lagi. Masa ngebiarin istri aku sendirian.”

Ia mengatakannya, menatapku, tersenyum. Aku menirunya, memberikan senyumku untuknya. Menghalau segala prasangka buruk yang seharusnya sama sekali tidak kulakukan.

.

.

Tidak segampang itu, kami mengurus kepindahan hampir 5 bulan. Awalnya orangtua kami masih melarang, tapi Seungwoo mampu meyakinkan. Mengatakan bahwa kami harus baik-baik saja.

.

.

Seungwoo adalah lelaki terbaik yang pernah aku kenal, aku mengenalnya di tahun terakhir kuliahku.

Aku memilih mengatakan padanya lebih dulu, bahwa aku mencintainya. Dan ya, kami berpacaran. Aku adalah orang paling bahagia yang bisa dipinang Seungwoo setelah lika-liku jalan yang kami lalui.

Kali ini, aku boleh berharap kepindahan kami ke kota besar akan baik baik saja, bukan?

.

.

©coffielicious