Rainbow Cake ─
.
Part of Kue Beras AU
.
.
Part of Kue Beras AU
.
.
Kim Woosung x Cho Seungyoun Canon Compliant
.
.
Soonwoo drabble
.
.
Part of Kue Beras AU
.
.
Part of Kue Beras AU
.
Pagi ─
Pukul 9 pagi, mereka masih betah merebah. Berbaring miring bersisian, beradu punggung dengan dada.
Salju turun semalaman, mereka menyaksikannya berdua dari jendela kamar.
Bercerita sepanjang malam hingga salah satu diantara mereka terlelap.
.
Seungwoo melarikan tangannya yang menganggur pada pinggang di depannya, melingkari perut yang terbentuk sempurna, mengecup bahu yang terekspos bebas di depan pandangannya.
“Jam 9, Youn,” suaranya serak, embusan napas tepat di tengkuk Seungyoun.
“Pagi,” sapanya tepat di ujung telinga Seungyoun.
“Hm, pagi. Masih ngantuk, Kak. Mana dingin banget,” memundurkan diri, mencari kehangatan dari yang lainnya.
Seungwoo mengambil ponsel di nakas, memainkannya dengan tangan kanan yang lengannya masih betah dibuat bantalan oleh lelakinya.
“Mau ngapain?” Kepala Seungyoun menoleh, mendapatkan kecup kecil di ujung bibirnya.
“Pesen makan,” tangannya terangkat memasaikan surai Seungyoun.
“Pengen bubur ayam aja, biar cepet ketelen,” Seungyoun merubah posisinya menjadi menghadap Seungwoo.
Meletakkan kepalanya di leher Seungwoo, mengendus bau paginya.
“Oke, ga pake kacang, kan? Mau nambah sate ngga?” Merapatkan pelukan mereka, kulit bertemu dengan kulit.
“Mau, sama sambelnya rada banyakin.”
Seungwoo merasakan tangan Seungyoun yang berada di atas dadanya. Jemarinya masih sibuk memesan makanan untuk mereka berdua.
“Kak, kok aku pake celana?”
“Kakak pakein semalem.”
“Oh.”
“Kenapa? Mau lagi?”
“Ngga! Cape dih, bukannya diajak jalan-jalan malah digempur abis-abisan.”
Seungwoo terkekeh, “kapan lagi coba, Youn? Bentar lagi pasti kita sibuk, kan. Makanya manfaatkan waktu sebaik mungkin buat bikin bayi.”
Seungyoun memukul bahu Seungwoo main-main, “Bangsat.”
“Lucu banget pagi pagi udah misuh begini.”
Meraup bibir di depannya kedalam kulumannya hingga Seungyoun kelabakan.
“Udah ih, belum sikat gigi juga.”
“Tetep aja manis.”
“Au ah. Udah jadi pesen?”
“Udah. Mau bikin coklat panas, ngga?”
“Ntar aja kalo udah makan. Ini anak-anak diajak kemana lagi sama Hangyul?”
“Paling ke mall atau ke jalan-jalan biarin aja.”
Seungwoo beralih memeluk Seungyoun erat, mengelus punggung telanjangnya dengan jemari lentiknya.
“Kak?”
“Hm?”
“Ga jadi,” Seungyoun semakin menenggelamkan diri dalam kungkungan Seungwoo.
“Ga usah mikir macem-macem. Aku masih di sini, meluk kamu malah,” Seungwoo membelai surainya sayang.
Seungyoun mendongak, mencuri satu kecup kemudian beranjak, menyambar satu kaos milik Seungwoo yang tergeletak di lantai kamar.
“Mau ambil makan, kayanya udah dateng,” menjawab kerutan yang ada di dahi Seungwoo.
.
Sisa hari itu mereka habiskan untuk menonton serial, cuddling, dan memasak.
Untuk senam lantai, oh ya jelas mereka lakukan. Tenang saja, mereka melakukannya di daerah teritorial mereka.
Mereka masih menyayangi anak-anak mereka dan diri mereka sendiri.
Menyayangi diri mereka dari amukan yang mulia Kim Wooseok jika mereka mengotori daerah lain.
“Gantian, Kak. Masih sakit.”
“Boleh, sambil mandi aja ayo.”
Berakhir menggempur badan mereka bergantian.
.
.
©coffielicious
Waffle ─
Bunyi ketel menandakan air yang telah mendidih mengalihkan perhatian Seungyoun dari menyiapkan sarapan untuknya dan Eunsang.
Meninggalkan bubur sum-sum yang sedari tadi ia buat, untuk mematikan kompor.
Eunsang masih lelap. Semalam bermain hingga larut dengannya. Tak henti bercanda hingga lelah.
Menyusul ke dalam kamar mereka.
“Hallo, jagoan pippi belum mau bangun?”
Tangannya ia letakkan di punggung mungil putranya yang berbaring miring. Ini sudah pukul 9, tumben saja belum bangun.
Bibirnya ia bawa untuk mengecupi seluruh wajah Eunsang. Dari jidat polosnya, kelopak yang masih tertutup, hidung bangir nan mungilnya, dagu yang menggembul dan pipi yang menggembil.
“Sayang, ayo bangun.”
Belum ada tanggapan, Seungyoun memilih berbaring di samping putranya. Memandang langit-langit kamar mereka yang penuh dengan bintang glow in the dark.
Menerawang.
Setelah ia mengajukan surat permohonan undur diri dari jabatan juga pekerjaan. Seungyoun memilih untuk di rumah terlebih dahulu. Menghabiskan seluruh waktu yang ia miliki bersama Eunsang.
Kalau bosan, ia akan berjalan-jalan.
Banyak yang menentang keputusannya, sebenarnya. Apalagi ditambah masih hitungan bulan ia diangkat menjadi manager. Tapi, keputusan Seungyoun sudah bulat.
Ingin menghabiskan banyak waktu bersama Eunsang, lebih fokus dengan pertumbuhan Eunsang, dan juga menikmati hidupnya tanpa deadline.
.
“Ppi.”
Suara itu mampu membawa Seungyoun kembali dari kelananya.
“Oh! Hey! Jagoan sudah bangun?”
Mengusak hidung mungil putranya dengan miliknya. Menggelitiki pelan perut Eunsang. Disambut tawa bahagia dari malaikatnya.
Mengurusi Eunsang untuk bebersih.
Kali ini mereka mandi terlebih dahulu.
Bermain bebek berwarna kuning di bathub mereka. Bermain busa hingga Eunsang enggan berhenti.
Membujuknya agar Eunsang makan setelah selesai mandi. Ia iming-imingi bubur sum-sum yang selalu Eunsang sukai.
.
“Ppi, bul sum sum.”
“Huum, Esa suka?” Seungyoun menyuapinya dengan telaten. Membersihkan noda dari bibir Eunsang yang belepotan.
Anggukan diterima Seungyoun sebagai jawaban.
“Esa mau ketemu eyang ga, hari ini?”
“Eyang?” Kepala Eunsang meneleng. Imut sekali ya Tuhan...
“Iya, ketemu eyang.”
“Oom Woo?”
“Lho, kok oom Woo, sih?”
Seungyoun bertanya penasaran.
“Men, oom Woo.”
“Esa mau permen dari oom Woo?”
Surainya bergoyang seiring Eunsang menganggukan kepala mungilnya.
“Oke, nanti kita ketemu oom Woo di cafe eyang, ya...”
Anggukan semangat lagi.
“Dipelet permen doank padahal sama oom Woo-mu itu, nak.”
.
Selepas pukul 1 siang, Seungyoun mengeluarkan mobilnya dari basement. Menuju cafe milik mamanya yang tidak begitu jauh dari unit tempat tinggalnya.
.
Cafe mamanya terhitung sudah lama berdiri. Memiliki berbagai cabang di banyak kota.
Seungyoun sedang berdiskusi pada mamanya, bagaimana jika ia mengurus cafe milik mamanya saja? Apakah boleh?
Dan hasilnya menggembirakan, mama Cho mendukung penuh ide Seungyoun. Tetapi Seungyoun masih ingin mempertimbangkannya masak masak.
Kalau mama Cho sendiri memang sangat mendukung, tetapi di sisi lain beliau juga ingin Seungyoun di rumah saja, mengurus Eunsang.
Maka dari itu masih dalam tahap diskusi.
.
Seungyoun menarik tuas rem setelah sukses parkir di depan cafe. Membawa Eunsang dalam gendongan beserta barang-barang milik bocah mungil itu.
Bunyi bel di atas pintu cafe membuat sapaan selamat datang spontan terdengar.
Seungyoun memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela juga tempat bermain untuk Eunsang.
Cafe mamanya sangat cozy, memiliki spot bermain untuk balita, spot membaca di lantai atas, dan juga spot pendukung untuk sekadar nongki nongki asik juga menghiasi feed instagram dengan apik.
Untuk menu, tentu saja kopi yang utama. Tambahan jus dan beberapa minuman lainnya. Camilan juga makan berat disediakan pula.
Seungyoun memilih green tea latte mint dan sepotong waffle untuk menemani duduknya. Membiarkan Eunsang bermain sejenak sebelum putranya itu mengambil jatah tidur siangnya.
“Hey.”
Seungyoun mendongak, menemukan lelaki tampan yang memanggilnya.
“Udah lama?” Lanjutnya, menyeret kursi di depan Seungyoun untuk kemudian duduk di atasnya.
“Baru aja. Tumben udah di sini jam segini?”
Lelaki tadi melepas ransel yang menjadi beban di pundaknya, ia letakkan pada salah satu kursi yang menganggur.
“Kebetulan abis ada acara sekitar sini sih, daripada bolak-balik ya mending langsung.”
Seungyoun mengangguk mengerti, “udah pesen?”
“Udah, sekalian mau makan siang. Anak gue mana?”
“Anak apaan anjir. Tuh, mainan,” dagunya menunjuk Eunsang yang masih asik dengan perosotannya.
“Makin lucu dia tuh, nanti biar gue culik lah. Bawa pulang.”
“Sembarangan.”
Pesanan Seungyoun datang saat Eunsang menghampirinya.
“Oom Woo!” Teriaknya girang, hampir berlari, menerjang lelaki yang sudah siap dengan rentangan tangan, menenggelamkan Eunsang dalam pelukan.
“Halo, Jagoan!”
“Oom Woo, men.”
“Permen? Esa mau permen?”
Eunsang mengangguk antusias dalam gendongan lelaki yang kini kembali mendudukan diri di atas kursinya.
“Nih, buat Esa. Sun dulu tapi, sini,” telunjuk lelaki itu ada di atas salah satu pipi miliknya.
Eunsang mengecup pipi oom nya dalam-dalam. Berhadiah tiga permen yang kini dalam genggaman.
“Jangan sering-sering kasih permen napa, Kak. Ga liat apa itu gigi Esa pada griwing.”
“Kaya sering aja, Youn. Engga ya, seminggu sekali.”
“Au dah ah, mau makan dulu.”
“Iya iya, duluan aja.”
Seungyoun larut dalam makanannya. Sesekali memperhatikan Eunsang dalam gendongan lelaki di depannya.
Meninabobokan dengan telaten. Perlahan kelopak mata Eunsang meredup. Melewati alam mimpi untuk beberapa waktu di siang ini.
“Ngantuk banget dia, Youn.”
“Cape kayanya sih. Semalem begadang, minta bercanda mulu. Mana tadi bangun jam 9 an dia tuh.”
“Kok lucu banget.”
“Lucu dari mana sih? Gue juga ikut cape.”
“Lucu, anak kecil ngajak begadang.”
“Aktif banget, heran,” bersungut memasukkan potongan waffle ke dalam kunyahannya.
“Makan yang banyak.”
“Hm, nanti manggung jam berapa?”
“Agak sorean sih, lagian di sini sekalian mau ngerjain penelitian.”
Seungyoun mengangguk.
“Sini, Esa biar aku pindah ke kantor mama, biar Kakak bisa ngerjain tugas.”
“Nanti dulu, abisin dulu makannya.”
“Kak.”
“Hm?”
“Makasih.”
“Buat?”
“Buat nerima tawaran nyanyi di sini, hehe.”
“Lho, gue juga makasih, Youn. Bisa nyalurin hobi.”
“Suara Kak Woo bagus banget lagian, Youn kan meleleh.”
“Perlu dipanggilin kak Elsa, ga? Biar membeku lagi.”
Derai tawa merdu melewati gendang telinga Seungyoun, menyenangkan.
“Ya ga gitu juga sih, Kak,” sungutnya.
“Makasih, Youn. Tapi suara Youn juga bagus banget padahal. Kapan kapan karaoke aja kita.”
Seungyoun menggaungkan tawa dalam kesetujuan. Sudah lama sekali ia tidak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Sekadar karaoke misalnya.
Pesanan milik lelaki di depan Seungyoun datang dan Esa sudah beralih ke pangkuannya.
“Mau jadi ambil alih cafe?”
“Masih diskusi sih, Kak. Tapi masih pengen sama Esa dulu.”
“Ya dibawa santai aja, Youn. Jangan jadi beban.”
Seungyoun mengangguk, membiarkannya menikmati makan siang miliknya.
“Youn ada mau request lagu? Biar nanti gue bawain? Masih di sini sampe entar, kan?”
“Masih, Kak. Uhm, yang judulnya 'Sorry' aja. Lagunya Kakak.”
Lelaki itu mengangguk.
.
Kalau kalian penasaran, dia Kim Woosung. Kakak tingkat Seungyoun yang kini menjadi dosen dan melanjutkan studi S3 nya.
Memiliki suara yang sangat unik, hingga Seungyoun meminta Woosung sesekali bernyanyi di cafe mamanya. Awalnya Seungyoun pesimis, karena bisa di pastikan Woosung memiliki segudang aktifitas lain.
Tetapi Woosung mengiyakan, meminta satu sore setiap minggu untuk mengambil alih mic menjadi pengeras suaranya.
Kalau kalian bertanya dari mana mereka dekat. Mereka dekat dari musik. Sama-sama bersuara bagus juga kepintaran mereka dalam mengkomposisikan lagu.
Mereka dekat di kegiatan luar kampus dan masih menjaga komunikasi hingga saat ini.
Tentang kedekatannya dengan Eunsang. Salahkan Woosung yang terlalu supel dan terlalu menyenangkan untuk putranya.
Ia tak pernah bertanya tentang Eunsang. Tetapi menyayangi Eunsang dengan tulus.
Woosung juga terkadang meluangkan waktunya untuk mengajak Seungyoun dan Eunsang menghabiskan hari.
Seungyoun bersyukur mengenalnya. Mengenal Woosung dalam hidupnya.
.
“Kak, gue ke ruangan mama dulu ya.”
“Iya, gih sana pindahin dulu Esa, sekalian Youn istirahat juga.”
Seungyoun mengangguk, pamit undur diri. Membiarkan Woosung berkutat dengan berkas penelitian miliknya.
Seungyoun mengangkat bahu, sempat terlintas dalam benak. Mungkin ia juga bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi jika sesuatu tidak terjadi... Mungkin. Ah sudahlah.
.
Seungyoun keluar dari ruangan mamanya ketika menjelang sore.
Senjanya temaram, memantulkan matahari oranye dalam tahtanya.
Ia memilih duduk di lantai dua, bisa memandang lembayung yang bersiap bergantian dengan kerlip bintang. Bisa juga dengan leluasa menikmati alunan suara merdu dari Woosung.
Seungyoun bertepuk tangan ketika Woosung menyelesaikan bait terakhir lagunya. Menemukan manik yang lainnya. Bertukar senyum menenangkan.
.
“Gimana tadi penampilan gue?”
“Breathtakingly beautiful. As always.”
“Bisa aja, Youn.”
“Lho beneran.”
Selesai Woosung melengkapi jam manggungnya, Seungyoun menyusulnya dengan Eunsang dalam genggaman. Masih ingin berjalan-jalan anak mungil ini.
“Udah mau pulang?”
Woosung mengambil tas perlengkapan Eunsang dari salah satu pundak Seungyoun.
“Gue aja, Kak.”
“Gendong aja itu, Esa nya.”
Seungyoun menurut, membawa Eunsang dalam gendongan. Berpamitan pada mamanya dan berjalan keluar.
“Bawa mobil?”
“Bawa, Kakak?”
“Ada, tuh tadi bawa motor.”
“Kok ga pake jaket?”
“Ada di jok. Ini kalo Esa masih bangun, di dudukin di mana?”
“Di belakang, kan ada tempat duduk khusus Esa. Lagian gue juga udah minta tolong supirnya mama sih, hehe.”
“Oh, okay.”
Meletakkan tas yang sedari tadi di lengannya ke dalam mobil Seungyoun.
“Makasih, Kak.”
“Sama-sama, Youn. Hati-hati di jalan pulang.”
Meraih Eunsang untuk ia kecup pipinya dan jemarinya ia larikan ke surai Seungyoun. Mengusaknya hingga masai.
“Berantakan, Kak.”
Sungutnya, berhadiah cubitan mungil di hidung bangirnya.
“Udah jadi pippi padahal, masih aja lucu.”
“Yang lucu Esa, bukan Youn.”
“Iya iya, astagaa gemes. Udah sana naik. Tuh sopirnya nungguin.”
Woosung tersenyum, eum... tampan sekali.
Melambaikan tangannya ketika mobil Seungyoun berjalan menjauh.
“Hati-hati di jalan, Kak Woosung. Sampai bertemu esok lagi.”
Suara Seungyoun masih terlalu kentara. Membawanya dalam dekik benaknya, menyimpannya.
Cho Seungyoun dengan segala pesonanya. Yang selalu Woosung damba dan juga ia sebut dalam doanya.
.
.
©coffielicious
Corobikan ─
Seungyoun memapah Seungwoo yang lemas, ia baru saja muntah pagi ini. Morning sick katanya.
Tapi, morning sick, what? Padahal Seungyoun yang mengandung. Kalau kata Jinhyuk sih, itu tandanya Seungwoo terlalu mencintainya.
Seungyoun hanya menggeleng jenaka.
Yang Seungyoun tidak habis pikir, Seungwoo menjadi lebih manja, menjadi sangat manja. Seungyoun pening.
Di weekend mereka, biasanya berjalan-jalan ke taman. Kali ini mereka habiskan di rumah dengan Seungyoun yang diinvasi Seungwoo sepenuhnya. Menggelendot ke manapun Seungyoun beranjak.
.
Ini masih trimester pertama, dan Seungwoo bahkan lebih sering bekerja di rumah karena muntah-muntahnya yang ternyata tidak cuma pagi hari.
Ada pula satu hari, Seungwoo ingin sekali makan corobikan.
“Dek, Mas mau corobikan deh.”
“Mas, padahal biasanya ga suka,” Seungyoun memotong buah naga untuk ia cemil. Ia beri satu tusuk untuk Seungwoo.
“Ga tau ih Dek, Mas pengen banget soalnya. Yang di depan toko laris itu.”
“Mas, jauh banget. Harus hari ini?”
“Ya ga harus sih, cuman pengen banget.”
Seungyoun perlahan memaklumi keadaan Seungwoo.
Seungyoun yang mengandung, tapi Seungwoo yang mengidam.
Sorenya, Seungwoo menyetirkan mobilnya ke kota. Mencari corobikan di depan toko laris.
“Hadu, maaf Den baru saja habis,” bapak penjual merasa tidak enak.
“Ya udah, Pak. Biar besok ke sini lagi aja. Lagi ngidam soalnya.”
“Oalah, ya besok biar saya stok buat njenengan kalo gitu. Maaf ya, Den.”
“Makasih, Pak. Mari~.”
Seungyoun menggandeng Seungwoo, “besok ke sini lagi aja ya?”
Seungwoo mengangguk, memilih berbelok untuk membeli sekotak susu.
.
Di trimester ke dua, Seungwoo mengidam buah. Tidak tanggung tanggung, buah alpukat. Yang padahal Seungwoo sangat tidak suka.
Seungyoun mengambil gelas jus alpukat ke 3 hari ini yang ada di depan Seungwoo.
“Makan nasi dulu, kamu dari pagi minum jus mulu, Mas.”
Seungwoo memeluk Seungyoun dari kursi makannya. Mengecup perutnya yang kian membuncit.
“Sayang, lagi pengen jus alpukat ya? Nanti lagi, okay? Papa makan nasi dulu.”
Seungyoun mengelus surai milik suaminya. Mengecup ubun-ubunnya kemudian.
.
Di trimester ke tiga, Seungwoo mulai susah tidur. Terkadang ia akan terlentang dengan kaki yang naik ke dinding. Terkadang tidur di sofa. Bahkan terkadang harus seperti orang bersujud.
Seungyoun berakhir membuatkannya susu setiap malam dan itu lumayan manjur untuk pola tidur Seungwoo.
Untuk makanan, Seungwoo sekarang hanya bisa makan kentang, atau karbohidrat lain. Selain nasi.
Untuk alpukat, Seungwoo sudah tidak mau lagi.
Tentang corobikan, Seungwoo menghabiskan 10 biji, sendirian. Wew, Seungyoun hanya mengelus belakang leher Seungwoo. Tidak habis pikir saja.
.
Seungwoo sedang menemani Seungyoun berolahraga pagi, hanya berjalan jalan.
“HPL nya kapan ya, Dek?”
“Bulan ini sih Mas, kayanya.”
Memilih mampir membeli bubur ayam untuk sarapan pagi mereka. Untunglah Seungwoo mau.
.
Seungyoun masih mengurusi tanamannya di teras rumah.
Ia sudah mengambil cuti sedari tiga hari yang lalu. Itu pun atas paksaan Seungwoo.
Seungyoun mendongak ketika deru mobil Seungwoo dalam pendengarannya.
“Lho, kok pulang, Mas?”
“Tas persiapan kelahiran kamu di mana, Dek?” Seungwoo berucap gusar.
“Di kamar, Mas,” Seungyoun meletakkan alat tanamannya bingung.
“Sini, kamu cuci tangan dulu, kita ke rumah sakit.”
Seungyoun menurut ketika suaminya menyeretnya untuk mencuci tangannya.
“Mau ngapain emang?”
“Ya, pokoknya ikut dulu.”
Setelah selesai bebersih, Seungwoo menyambar tas persiapan kelahiran. Membawa Seungyoun di kursi penumpang.
“Perut kamu sakit, ngga? Tadi ngapain aja? Udah makan, belum? Tadi sempet jalan jalan?”
“Mas, tanyanya satu-satu,” Seungyoun mengelus lengan atas Seungwoo.
“Perut aku baik-baik aja, udah makan, tadi abis jalan-jalan aku makan nasi sama buah anggur, abis itu main sama tanaman.”
Seungwoo mengangguk.
“Kita mau ngapain ke rumah sakit, Mas?”
“Kamu mau lahiran kayanya, Dek?”
“HAH?!”
.
Bayi mungil dalam gendongan Seungwoo masih terbungkus handuk dengan sempurna. Membawa si kecil dalam kecupnya.
“Terima kasih telah hadir ke dunia.”
.
.
©coffielicious
Telur Mata Sapi ─
Malam yang mereka lewati terlalu sendu.
Minseo memiringkan tubuhnya, meringkuk seperti bayi. Kelopaknya bengkak, suaranya hilang, lelah yang begitu kentara.
Seungwoo membenarkan letak selimut yang menutupi istrinya. Mengusap pelipisnya. Menggumamkan maaf sebelum beranjak.
“Seungwoo,” Minseo memanggilnya lirih.
Tangannya yang menggantung di gagang pintu, Seungwoo urungkan.
“Tolong tutup pintunya dari luar.”
Seungwoo menurut. Menutup pelan pintu kamar mereka dari luar. Mendudukan diri di sofa dengan cahaya lampu yang temaram.
Mencoba merebah diantara gelisah, raga yang mengeluh lelah, juga jiwa yang melanglang buana.
Ponselnya menyala, menampilkan satu foto, berisikan gantungan kunci rubah dua biji dan taman sebagai latar belakang.
Perlahan, kesadarannya beralih pada mimpi yang tak pernah mampu ia raih.
.
.
Minseo membalikkan telur mata sapi untuk sarapan. Badannya terbungkus apron, anggun untuk seukurannya.
Meletakkan dua telur di atas piring. Menyajikannya bersama kopi juga air putih.
Seungwoo memperhatikannya. Tak mampu mengucap satu kata.
Duduk manis di depan meja, sama sekali tak menyentuh apa yang istrinya sediakan.
“Dimakan, tidak baik jika tidak sarapan.”
Baru saja Minseo akan beranjak, Seungwoo menahannya.
“Maaf.”
Minseo diam, tak menyahut, memilih pergi ke ruang depan. Membawa satu gelas teh untuk temannya menonton kartun hari Minggu.
Seungwoo memakan makanannya dengan diam. Menyesap kopi manis yang terasa hambar.
.
Menyusul Minseo, mendudukan dirinya agak jauh.
“Kau masih mencintainya?”
Seungwoo menoleh, ragu akan menjawab.
“Jawab jujur,” Minseo berkata lirih.
“Ya, masih sangat mencintainya.”
Jantung Minseo seakan terpelintir keras. Suaminya mengatakannya tepat di depannya, kali ini tanpa ragu. Dengan cahaya maniknya yang memantul menyilaukan.
“Maafkan aku, Minseo. Maaf.”
“Kenapa ga bilang dari awal?”
Seungwoo menerawang, tersenyum secuil untuk kemudian memundurkan diri. Menumpukan punggung pada sandaran sofa.
“Orang tua dan balas budi,” mengambil satu bantal, ia tumpukan pada pangkuan.
Minseo masih memperhatikannya, tak ingin setengah-setengah.
“Banyak yang harus aku pertimbangkan. Awalnya, aku mau bilang kalau aku mau cari pendampingku sendiri. Dengan mencoba berbicara pada orang tua. Mengharap semua mulus, tanpa cela.”
Seungwoo memutar bantalnya.
“Tapi bukan seperti itu semesta bekerja, iya kan?”
Senyumnya masih terpatri, kali ini tak mencapai bulir pupil beningnya.
“Aku yang salah, Minseo. Seharusnya aku jujur dari awal.”
“Seungwoo.”
“Hm?”
“Maaf.”
Seungwoo kaget, ia menegakkan badannya cepat.
“No, ga seharusnya kamu minta maaf.”
“Kita semua salah, Woo. Aku, salah dengan keserakahanku. Kamu, dengan ketidakjujuranmu. Dan Seungyoun, yang menyembunyikan Esa dari kamu.”
Minseo meluruskan tungkainya, mengusap lengan yang memeluk bantal di depan dadanya.
“Coba, kalo dari awal kamu juga ngasih tau Youn tentang pertunangan kita, mungkin dia bakal hati-hati. Mungkin dia akan nganggep kalo kamu temennya, tetangganya.”
Minseo menerawang jauh.
“Coba kalo dari awal aku ga maksa papa buat ngenalin kamu ke aku, maksa kamu tunangin aku, juga maksa kamu nikahin aku padahal aku punya kanker serviks. Yang jelas-jelas ga bisa ngasih kamu keturunan. Aku egois banget, ya kan?”
Minseo tersenyum lemah, “mungkin kalo aku ga egois, kamu bisa nentuin masa depan pilihan kamu sendiri.”
Minseo menyesap teh manis yang sedari tadi menemaninya.
“Coba kalo dari awal Youn ngasih tau tentang Esa. Mungkin kamu bakal lebih tegas buat nolak pernikahan kita.”
Minseo menjatuhkan tatapannya pada Seungwoo yang juga memandangnya.
“Kita semua salah, Woo. Kita semua pincang di sini.”
Minseo mengusapkan jemari pada pipinya yang basah.
“Maaf, karena egois. Maafin aku, Woo.”
Seungwoo mendekat, mencoba mendekap Minseo untuk ia tenangkan.
“Maaf, Minseo. Maaf.”
Uraian peluk mereka basah. Menyesali banyak hal yang tak seharusnya ada.
Minseo mendorongnya pelan.
“Aku tanya sekali lagi. Kamu masih cinta Youn?”
Dalam tatap sekian jengkal. Minseo merasakan anggukan.
“Ya, aku masih cinta Youn.”
“Makasih udah jujur.”
Minseo mengusak surai suaminya hingga berantakan. Merasakan hatinya porak poranda dengan badai yang ia buat sendiri.
“Kita semua pincang, Woo. Tapi aku pengen kalo kamu kembali berjalan tegak.”
Minseo menggenggam tangan suaminya, menyulurkan jemari pada jari manis milik yang lainnya. Ia lepas cincin yang dua tahun lebih ini bertengger manis menghiasinya.
“Ayo bercerai.”
Suaranya bergetar menyakitkan, Seungwoo tak meresponnya. Otaknya chaos, memproses dua kata yang diucapkan istrinya barusan.
“Aku ga mau jadi penghalang jalan cinta kalian. Aku pengen kamu lengkap. Jadi, ayo kita bercerai.”
Minseo menangis, bersamaan dengan Seungwoo yang masih menatapnya dengan netra yang berkaca.
Seungwoo bersimpuh, “maaf, Minseo. Maaf.”
Hari Minggu itu, kelabu, menjadi saksi bisu untuk waktu yang membeku.
.
.
©coffielicious
Engga ─
Mereka duduk di ruang tamu rumah Seungyoun. Seungwoo bilang pengen main ke rumah.
“Diminum, Kak,” Seungyoun ikut duduk di depan Seungwoo.
Seungwoo minum teh mint yang dibikinin Seungyoun, diem, canggung, sumpah.
“Ada apa, Kak?”
Seungwoo ga jawab, masih nyeruput teh nya canggung, mana gemeteran.
“Kakak, katanya mau ngomong?”
Seungwoo malah cerita tentang banyak hal, banyak banget sampe Seungyoun lupa, apa aja yang diceritain sama Seungwoo.
Seungyoun masih ngeraba, Kak Woo ini, sebenernya mau ngomong apa.
“Gue ga tau lu dari tadi muter muter cerita ini itu, Kak. Gue belom dapet poinnya, lu mo ngomong apa.”
“Gini, Youn,” Seungwoo narik napas, lumayan panjang,
“kita kan udah sama sama di umur yang mateng, gue juga udah punya kerjaan mapan, dan gue di posisi ga mau cari cari lagi. Poin gue, lu mau ga ngabisin sisa idup lu sama gue?”
Seungyoun diem donk, jelas. nge-blank dia, what the maksud gitu, kan..?
“Engga.”
TWO FUCKINF minutes Seungwoo nunggu dan dijawab 'ENGGA?'
Air muka Seungwoo jelek banget udah, dia tarik napas pelan terus embusin lagi, pelan dia mulai ngomong lagi pelan pelan.
“Kita udah sama sama di umur yang mateng, Youn. Kerjaan gue, insyaallah mapan, buat lu belanja ini itu masih bisa gue kabulin, dan lagi gue di posisi ga mau cari cari lagi. Lu bener bener ga mau ngabisin sisa idup lu sama gue?”
Desperate banget udah Seungwoo ini. T_T
“Gue tanya sekali lagi, Youn... lu mau ngabisin sisa idup lu sama gue, ngga?”
“Ya engga, Kak, engga nolak.”
Seungwoo mangap, litereli mangap, pupilnya melebar, seneng banget anjir. Dadanya penuh sama bunga, perutnya penuh kupu kupu.
Kepalan tangannya hampir aja nonjok meja tamu depan dia, tapi ga jadi, dia lampiasin buat berdiri, pengen teriak tapi ga keluar suara.
“Ah anjir, gila lu”
Seungyoun dia tarik, buat dia peluk, dia usep kepalanya, diciumin ubun-ubunnya. Bahagia banget dia malem ini. Monanges
Seungyoun bales peluk Seungwoo erat, jemari mungilnya dia kaitin bareng-bareng di fabrik yang baunya Seungwoo banget.
“Seneng banget ya?”
Suara Seungyoun keredam sama bahu bidang Seungwoo, yang, ah, pokoknya kesayangan aja.
“Seneng banget lah, gila, lu hampir bikin gue mo gantung diri di pohon toge, tau ga?”
“Kapan matinya kalo gitu?”
“Youn, ngerusak momen banget?”
“Kan lu yang mulai, Kak.”
“Kamu, Youn, kamu.”
“Iyadah, iya. Pulang ya, udah malem.”
“Ah bangsyul. Ya udah, pamit dulu sama bunda.”
Seungwoo hampir mau masuk.
“Bunda lagi pergi ke luar kota sih, besok aja main lagi.”
Masih peluk, belom lepasin juga.
“Katanya mau pulang?”
“Kamu ngusir?”
“Engga gitu, udah malem, besok kamu kerja”
Dada Seungwoo penuh lagi, penuh banget.
'KAMU' katanya? Seungwoo mau menyublim aja.
“Iyadeh, pulang.” tapi masih pelukan T_T
“Ayo, Youn anter ke depan.”
Akhirnya pelukannya lepas deh.
Di depan gerbang rumah Seungyoun, Seungwoo bilang.
“Boleh kecup dahi ga?”
Seungyoun diem, majuin badannya, nutup matanya, terus dia ngerasain lembut di dahinya. Rasanya kaya semua cape dia hari ini ilang, rasanya ga tau pokoknya Seungyoun pengen nangis, tapi senyum lebar banget.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
“Anjink! jangan gitu Youn, astaga, iya Dek, Mas pulang ya.”
Kuluman senyum mereka makin menjadi aja.
“Iya Mas, hati hati.”
Seungyoum gigit pipi dalemnya sambil dadah sampe motor Seungwoo ga keliatan di tikungan.
Nyatanya, setelah Seungwoo sampe rumah, mereka facetime sampe salah satu dari mereka jatuh bobo.
.
.
©coffielicious